Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Selasa, 05 Januari 2016

Sepotong Diam

Genre: Novel
Penulis: Bang Syaiha
Penerbit: AG Publishing
Tebal: 336 Halaman

ISBN: 978-602-7692-76-3
 

Sejak awal, perjuangan ini kunamai tangga, tinggi menjulang dan terjal. Tapi kamu tahu, setapak demi setapak sudah kita lewati, berat memang, tapi sadarlah satu hal, puncak itu sekarang semakin dekat!

Belajarlah pada malam, semakin jauh ia, maka akan semakin gelap dan pekat. Tapi justru ketika semakin gelap dan pekat itulah cahaya pagi yang benderang sebentar lagi datang. Sama seperti masalah kehidupan, semakin berat masalah itu, makin dekatlah ia pada jalan keluar. Percayalah!

Bagi para pecinta, mereka punya bahasa sendiri, tidak perlu berkata-kata. Cukup dengan senyuman, anggukan, dan lirikan mata saja mereka mengerti apa yang hendak mereka katakan. Seumpama telepati.

“Perjuangan Khalid yang pantang menyerah dan tekad kuat Dhisya membuat saya tergugah untuk terus maju.”
– Esvandiari, Penyunting Novel

Senin, 04 Januari 2016

Amplop Kosong

Cerpen Daud Insyirah 
Dimuat di Republika 05/18/2014

(dok. republika)

Syawal 1429 H

IA masih menatap undangan yang bergerak perlahan mengikuti angin. Kemudian ia menyandarkan diri di tembok dan sesekali melihat undangan yang sempat ia buka beberapa hari yang lalu. Wajahnya kusut dan memelas seperti tak ada lembaran penyambung hidup di kantongnya.

Andai ia diterima kerja di pabrik bulan ini, mungkin ia bisa memperoleh pemasukan. Jika tak ada pemasukan, apa layak menghadiri pesta pernikahan? Biasanya, orang menyebut resepsi pernikahan dengan sebutan bowo.

Di acara tersebut ada semacam kotak infak yang dihias sedemikian rupa hingga jauh dari kesan kotak infak itu sendiri. Malahan ada juga bentuknya seperti pot bunga yang besar sekali. Namun, fungsinya sama saja. Untuk mengisi amplop.

Tapi masalahnya, mau diisi apa? Uang pun tak ada. Jika ada paling buat beli pulsa dengan nominal terendah. Apa tidak perlu datang? Ah, bukankah menghadiri undangan itu wajib?

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumussalam.” Bejo akhirnya datang juga. Rambutnya klimis dan mengenakan baju kotak-kotak sekaligus memamerkan motor keluaran terbaru miliknya. Bahkan, plat nomornya saja belum ada. Maklum, ia sudah bekerja di pabrik dengan gaji lumayan.

“Lho, belum mandi Man?”

“Ya, sudahlah.” Meski wajahnya kumus- kumus, ia sudah mandi tiga jam yang lalu. Tapi tetap saja, wajahnya memang sedemikian rupa.

“Jadi, datang ke nikahannya Adi, kan?”

“Tentu saja.” jawabnya pelan sambil berdiri.

“Ndang cepat, ganti baju sana!” dengan langkah yang berat, Rochman pergi ke dalam untuk ganti baju. Tidak sampai lima menit, ia sudah siap dan tak lupa mengambil helm yang biasa digunakan ayahnya bekerja.

Helm itu tidak SNI meski bagian belakang helm tersebut ada tulisan SNI cukup besar. Orang-orang biasa menyebutnya helm cebok atau helm gayung. Karena sejarahnya, helm itu bisa dibuat gayung juga. Tapi yang mengkhawatirkan, jika lewat jalan protokol, sudah dipastikan ia akan ditilang polisi.

“Nggak ada helm lain?”

“Nggak ada. Ayo berangkat.” Rochman tak mempermasalahan helm itu. Tapi, Bejo waswas. Jika polisi menilang, otomatis ia yang bayar.

“Kamu sakit, Man?” Bejo menghidupkan mesin motornya.

“Enggak.”

“Laper?”

“Ya.” Candanya membuat Bejo terpingkal. Padahal, tidak lucu-lucu amat. Akhirnya, motor pun melaju dengan gesit. Jarak antara rumah Rochman menuju lokasi tujuan sebenarnya tidak terlalu jauh. Sekitar empat kilometerlah.

Sedangkan Bejo rumahnya malah tak sampai 10 meter dari rumah Adi yang menikah hari ini. Bila saja Rochman tidak SMS dirinya, mungkin ia bisa jalan kaki menuju resepsi pernikahannya Adi dan lima menit kemudian, mereka berdua melewati daerah pasar tradisional.

“Sebentar… berhenti dulu, Jo.”

“Hah?”

“Aku mau beli amplop dulu.”

“Halah, Ndang cepet!”

“Oke.”

***

“Kok lama, Man?”

“Aku ke counter hape dulu.” Perjalanan dilanjutkan kembali. Tidak sampai 10 menit, sampai juga di daerah perkampungan Ndelesep Jaya. Namanya sesuai dengan lokasinya. Ndelesep alias terpencil. Dan, nama di belakangnya ada kata “jaya” itu artinya banyak orang kaya di sana. Dan memang benar, di sana memang banyak orang berduit.

Tidak sulit untuk menemui lokasi pernikahan. Suara pengeras suara yang nyaring menjadi pertanda alamat resepsi pernikahan. Suara itu semakin keras ketika langkah Bejo dan Rochman mendekat. Kalau berada di radius empat sampai lima meter, telinga akan bermasalah untuk sementara waktu.

Suara sound system juga tidak hanya menggetarkan area sekitar. Namun, juga menggetarkan hati Rochman. Dan, yang pertama ia cari bukanlah kedua mempelai, melainkan semacam kotak infak yang di hias. Setelah matanya menerawang segala penjuru, ia pun segera menuju ke sana diiringi salam- salaman dengan pihak ke luarga. Dan, amplop itu masuk dengan sukses. Malu lah jika ia berikan langsung ke Adi.

“Wah pasti mahal nih biaya resepsinya. Makanannya enak-enak. Ada orkes Melayu, bahkan malam harinya ada wayang juga.” Kata Bejo yang ada di belakangnya.

***

Seperti biasa, keluarga yang memiliki hajatan menghitung uang yang di kotak saat pagi hari. Sesuai tradisi, uang yang ada di kotak itu bukanlah hadiah. Akan tetapi, semacam utang yang harus dibayar jika esok-esok sang pemberi amplop ada hajatan. Entah itu nikahan atau khitanan.

“Lho kok iki kosong?” Seorang wanita berusia 40 tahunan yang memiliki tahi lalat di bawah hidung itu langsung mengomel. Suaranya membuat Adi yang ada di ruang tamu terkejut dan menuju ke kamar ibunya.

“Ada apa toh, Bu?”

“Ini ada amplop kosong. Hanya ada tulisan. Enak betul nih orang,” Adi mengambil kertas itu dan membacanya, “Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.”

Begitulah kira-kira isinya.

“Apa itu temanmu?” tanya Ibunya.

“Mungkin.” Ia sebenarnya menduga pemilik tulisan itu. Tulisan yang tidak rapih bahkan setara dengan tulisan anak kelas 2 SD namun masih dapat dibaca dengan jelas. Adi agak marah dengan amplop kosong itu. Tidak ada namanya juga.

Padahal, selain amplop itu ada juga amplop yang tidak ada identitas pengirim. Tapi, isinya Rp 325 ribu dan ibunya Adi tidak mungkin mengomel kalau tak ada nama pengirim. Tentu ia bersyukur ada uang tanpa identitas. Itu artinya, uang itu rezeki dan tidak perlu dikembalikan.

“Enak betul temanmu itu. Dengan amplop kosong, ia dapatkan makanan gratis, suvenir dan lain-lain.” Ibunya terus mengomel. Namun, Adi tak mempermasalahkannya, sesuai tradisi, kalau ia dapat hadiah semacam itu, ia kembalikan saja saat pemilik amplop kosong itu menikah.

***

3 Muharram 1432 H

“Kenapa nikahnya pada bulan Suro seperti ini, Man?” Orang Jawa biasa menyebut Muharam dengan sebutan Suro.

“Iya. Memang kenapa?” Mereka berdua asyik mencatat undangan yang akan disebar hari ini.

“Bulan Suro itu bulan Muharam.”

“Iya, aku tahu.”

“Muharam Man..Muharam. Banyak larangan di bulan itu.”

“Kata siapa memangnya? Kalau peperangan, memang diharamkan di bulan Muharram. Apa kau berpikiran kalau nikah juga diharamkan? Ah, kau ini mengada-ada.”

“Kata masku sih kalau nikah bulan Suro seperti ini, nanti banyak kesialan, musibah bahkan nantinya keluarga tidak harmonis.”

“Terserah kaulah. Nabi Muhammad saja nggak ngelarang. Memang masmu peramal?”

“Ya nggak lah. Kau tahu sendirikan masku tukang tambal ban.”

“Lha iya, kau lebih percaya masmu atau Nabi Muhammad?”

“Tentu saja Nabi Muhammad Man, tapi ini bulan Suro, Man ..bulan Suro…”

Rochman hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang yakin kalau bulan Suro itu bukan bulan yang tidak baik. Padahal, tidak ada bulan baik ataupun bulan jelek untuk menikah.

***

9 Muharram 1432 H

Adi masih menyimpan kertas itu. Ia memasukan ke amplop dan mengelemnya. Ia sama sekali tidak merasa aneh karena itu sudah tradisi. Seribu dibayar seribu. Kertas dibalas kertas.

Kemudian di depan rumahnya ada orang yang memanggil. Seorang pemuda yang bertubuh besar dan berambut klimis. Orang biasanya memanggilnya Bejo.

“Di, nggak bareng ta?”

“Aku sibuk Jo… titip amplop ini saja ya.” Padahal, tidak juga. Ia hanya sungkan saja. Masa memberi amplop kosong, bisa makan gratis di sana.

“Oke.” Bejo pun turun dari motor dan menerima amplop itu, tapi Bejo merasa aneh. Ia sangat peka sekali dengan uang. Seolah matanya mampu menerawang isi amplop. Bahkan, tebakannya 80 persen tepat ketika menebak jumlah uang yang ada di amplop, hanya dengan memegangnya. Entah dari mana keahlian itu ia dapatkan.

“Eh, Di. Apa nggak salah? Ini bukan uang kan?”

Adi kaget. Kenapa Bejo bisa tahu?

“Ya, memang itu Jo. Memang berapa, hah? Kasihkan saja. Toh dulu Rochman memberikan itu.” Tidak salah jika saat sekolah dulu, Adi dikenal pelit. Tapi, tak seharusnya ia marah-marah begitu. Bejo langsung meninggalkan Adi. Ia sudah terbiasa dengan ucapan Adi. Bejo meremas amplop dan memasukannya ke sakunya. Kemudian Bejo menoleh kebelakang,

“Jika kau ingin membalas dengan adil, harusnya kau berikan dua amplop. Amplop pertama isinya ucapan dan yang kedua isinya uang. Apa kau tahu Rochman menjual hape satu-satunya demi datang dan memberikan infak sebesar Rp 325 ribu ke pernikahanmu?”







*Pemilik nama asli Taufiq ini, lahir di Sidoarjo 6 November 1990. Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena Sidoarjo

Tanjung Luka

Genre: Novel
Penulis: Benny Arnas
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 298 hlm.
ISBN 978-602-03-1894-3

dok. gramedia

Kematian seorang mucikari di kediaman Barkumkum, membuat orang-orang Ulakkungkung, sebuah kampung di utara Lubuklinggau, dengan riang-gembira menabalkan sebuah kutukan yang mengerikan bergeliat dalam kehidupan laki-laki itu.

Tanjungluka, sang anak, mati-matian mencari upaya untuk membebaskan diri dari kutukan, termasuk melepaskan ayahnya dari tuduhan sebagai pembunuh.

Pencarian itu membawanya ke Palembang dan Musi Rawas, sekaligus mempertemukannya dengan pengacara tampan, gadis perawat di RSJ yang menaruh hati padanya, bekas kepala puak yang terlalu gampang percaya pada orang asing, seorang perempuan renta yang hidup dalam trauma tanpa ujung, dan bekas narapidana yang membenci pengidap disorientasi-seksual setengah mati!—mereka semua takluk di tangannya dalam drama yang menegangkan—Hingga… perjalanan berkelok itu menjerembapkan Tanjungluka ke dalam kegeraman dan kehampaan yang brutal dan membunuh orang-orang tak bersalah.

Tanjungluka baru menyadari kalau ia sudah diseret arus kesia-siaan terlampau jauh dan harus bangkit lalu memulai segalanya dari awal, justru ketika kebrutalan itu menghendaki nyawanya.

Setia Bersamamu

Genre: Novel
Penulis: Qonita Musa
Penerbit: Gramedia
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 224 halaman
ISBN: 978-602-03-2398-5



Pria bermata hazel itu pernah menjadi dunia dan seisinya bagi Diyuna. Melimpahinya dengan cinta, kemewahan, dan segala yang ia dambakan.

Tidak ada yang tahu Diyuna menyimpan ribuan pertanyaan dan kegelisahan di balik kehidupan bebas yang ia jalani. Tentang takdir dan cinta yang memberikan ketenangan jiwa. Diyuna berlari dan mencari. Dari Jakarta, sampai ke negeri Amman, Yordania. Hingga ia bertemu Hamzah, pria sederhana yang mengulurkan tangan dan mengajak Diyuna menciptakan takdirnya sendiri.

Ketika Diyuna merasa telah menemukan apa yang ia cari, pertemuan kembali dengan pria bermata hazel itu menyadarkan Diyuna akan satu hal: ruang kosong di dalam hatinya yang tak henti merindukan kehadiran pria itu. Dan pertanyaan besar kembali bergema. Haruskah Diyuna memilih setia atau berjuang meraih cinta yang sudah di depan mata?

Anak, Perempuan, Tetangga Sebelah

Cerpen Koko Nata
Dimuat di Sriwijaya Post 03/02/2003

(kinja-img.com)

ANAK itu lucu. Lebih lucu daripada teddy bear atau boneka mana pun yang dipajang pada toko etalase mainan. Pipinya montok seperti bakpao panas. Matanya hitam berkilau bagai mutiara dari lautan. Dan bibirnya, merah jambu bercahaya. Bila ia tersenyum, sempurna sudah karunia Tuhan yang dianugrahkan kepadanya. Aku suka anak itu.

Usianya tak lebih dari tengah tahun pertama. Aku sering melihatnya ditimang-timang tiap petang dijalan depan rumah. Demi melihat tawanya, bertingkahlah orang-orang dengan ekspresi kanak-kanak. Jika menarik merekalah bibirnya yang selalu basah. Kata-kata kerap mengajak bayi itu berbicara. Padahal semua orang tahu, satu kalimatpun ia tak punya tapi orang tetap senang mengajaknya bicara, sebab ia lucu, lugu, segar bagai embun pagi.

Sebenarnya aku ingin mendekatinya, menggendongnya serta memberikan satu kecupan. Aku ingin menimang dan menyanyikan lagu sayang. Biar sumbang, ia tak akan menentang. Ia hanya akan menangis atau tertawa sebagai tanda suka tidaknya.

Sayangnya aku tak bisa. Aku tak bisa menghampiri atau bahkan memeluknya. Ia bagai bintang yang tak dapat dijangkau. Ia seperti sinar suci yang pecah saat kujamah. Ia...ah...mengapa jauh jarak terbentang kalau aku merindukannya. Inikah dera yang harus kuterima akibat perilaku masa lalu?

Aku terpenjara oleh jeruji yang aku dirikan sendiri. Aku tenggelam dalam lautan penyesalan. Aku...Aku harus puas hanya dengan menikmatinya dari sela-sela jendela. Aku telah tersihir oleh kerling lembut pesonanya tapi tak berdaya.

***

Beberapa bulan yang lalu aku tak acuh dengan percakapan itu

“Stt... anaknya Nuning sudah lahir”

“Anak haram itu”

“Iya...”

“Bakalan ngetop lagi kampung kita”

“Betul. Kelahiran anaknya ini pasti lebih ramai dibanding peristiwa perkosaannya.”

“Lagian, mau-maunya dia mengandung benih lelaki yang tak jelas asal muasalnya”

“Ya namanya juga musibah, Bu, siapa, sih yang mau”

“Tapi, kan, dia bisa saja menggugurkan kandungannya”

“Ibu nggak tahu sama si Nuning, sih. Nyamuk saja enggan dia bunuh apalagi janin dalam rahimnya. Dia memang sempat bilang, anak itu tidak dikehendakinya. Tapi setelah perutnya membesar dia malah jadi sayang. Dia menganggap musibah sebagai takdir, cobaan, cara yang di atas mengasihinya. Siapa tahu anak itu malah membawa berkah”

“Ce...ile...masih sempat ceramah juga dia rupanya.”

“Biarlah, Bu. Selama tidak merugikan kita. Ya nggak massya... lah”

“Betul...betul... Ngapain kita pusing mikiran dia. Dianya sendiri tenang-tenang saja”

“Iya”

“Lebih baik kita mempersiapkan diri. Sekarang kan banyak wartawan yang ingin meliput kejadian ini. Nah kita sebagai tetangganya pasti ikut dimintai keterangan. Kita jadi masuk koran deh. Ikutan ngetop. Siapa tahu ada yang tertarik untuk mengorbitkan kita jadi model”

“Hi...hi...hi...ibu ini ada-ada saja”

***

Dengan mata kulumat habis sosok perempuan itu. Ia tak bisa dikatakan cantik tapi salah jika menilainya tak menarik. Ia punya pesona yang tak bisa diraba dengan indra. Apa namanya, aku tak tahu.Ia perempuan yang hebat menurutku. Ia tak menyesal dengan segala sial yang menghampiri. Ia tak menganggap Tuhan tak berlaku adil padanya. Tabah dan sabar adalah teman yang membuatnya tegar menghadapi bisik-bisik pedas gunjingan. Semua ia jalani dalam syukur baik suka maupun duka. Dia yakin dibalik cobaan maupun musibah pasti tersirat hikmah.

“Aduh lagi mamam, ya? Mamam apa, cayang?“ seorang perempuan tambun setengah baya menegur anaknya.

Dia tersenyum seraya menyodorkan sesendok bubur untuk buah hatinya. Aku ingin bertanya bubur apa yang engkau suapkan? Makanan penuh gizi atau sekedar beras yang direbus dengan air berlebih? Susu yang bagaimana pula kau regukkan untuk melepas dahaga bayimu? ASI kaya sempurna atau sekedar air putih encer tiada guna. Aku yakin jawabannya pasti mengecewakan. Kau hanya seorang yatim yang kini bukan janda dan bukan seorang istri pula. Rumah kayu yang berdiri di samping kediamanku sudah cukup menggambarkan keseharian.

Bila mengingatnya aku jadi benci sebenci bencinya pada lelaki yang tega menghinakannya. Mengapa ia dan harus ia. Bukankah masih banyak gadis kaya bergaya foya-foya dan hura-hura. Kenapa tidak mereka saja yang jelas hidup tanpa punya arah. Kenapa harus Dia ?

Semakin memikirkannya semakin gila saja otakku dijejali tanya dan terka. Penyesalan bereaksi hebat dengan kagum yang datang. Hari kemarin senantiasa menjadi senjata yang meneteskan nestapa. Dan aku semakin benci dengan laki-laki itu.

***

“Kau jadi milikku malam ini!”

“Tidak..tidak...jangan... !!”

“Telah lama kau bercokol dalam alam maya. Sudah lelah dahaga menunggu rengkuh cinta. Mari kita puaskan mari kita tuntaskan sekarang juga.”

“Jangan...kau hanya akan menikmati neraka lebih segera. Aku bukan kembang kau bukan kumbang. Hentikan...”

“Tidak...aku tak bisa berhenti.”

“Tolong jangan buat Tuhan dan pengikutnya mengutuk perbuatanmu!”

“Hehehe... Mari kita mulai saja.”

“Jangan... Pergi!”

“Ayolah!”

“Tidak!”

“Ayo!”

“Tidak!!!”

Breeet...

“Aaaa...”

Aku terjaga. Aku melihatnya. Lelaki yang kubenci dengan perempuan itu.

***

Pelangi melengkung di langit biru. Harum semerbak bunga menebar bau. Alam di mata berwarna-warna indah mempesona.

“Bimbii...Bimbi...ayo sini ikut papa...”

Tawa renyah bocah tak berdosa. Riang jenaka anak manusia memulai perjalanannya.

“Sudah lama papa ingin menggendongmu Bimbi. Ayo...kemarilah, Sayang!”

Anak manis merentangkan tangan. Dekap bahagia akan segera diberikan.

“Duh, manisnya. Kua benar-benar anugerah terindah meski tak pernah sengaja terencana.”

Wajah polos lebarkan bibirnya. Liur menetes basah berpola peta.

“Senangnya bisa menggendongmu...”

Tanpa diduga si bocah berubah. Badan menghitam tumbuhkan bulu serigala. Taring runcing mencuat siap mengoyak mangsa bersama dengus panas moncong mencari udara. Anak manis menjelma monster buruk rupa. Ia siap menerkam. Menghisap darah. Mencabik tubuh hingga patah tulang jadinya.

“Mengapa...mengapa kau jadi begini...”

“Grrr..Graw...”

Tiada jawaban. Hanya kengerian yang disajikan.Kuku tajam mencakar sasaran. Kulit tersayat. Darah membasah. Anak buruk lepas dari pegangan.

“Bimbi...Bimbi... ini papa... ini papa...”

“Graw..Graw...”

Luka mengaga. Jerit membahana. Malam pecah porak poranda

“Tidak...”

Aku berteriak. Mimpi ternyata.

Napasku turun naik memasok udara. Keringat bergulir bergilir-gilir. Aku sudah tak dapat menghitung lagi sudah berapa kali kengerian itu menghantuiku. Bayang-bayang menakutkan seolah tiada lelah bergentayangan. Aku ketakutan. Aku tertekan.

***

Untuk kesekian kalinya aku kembali mengamati anak dan ibu tetanggaku. Wajah mereka masih sama. Masih ceria tertawa renyah. Hidup dibiarkan berjalan apa adanya. Yang terjadi terjadilah. Mereka tak peduli dengan suara-suara usil yang melingkupi.

Sedang aku, lihatlah aku. Makin ringkih menapaki hari makin tersiksa oleh nyeri tersembunyi. Panah-panah maya terus melesat ke arahku. Sebuah kekuatan memaksa dan terus memaksa agar aku mengaku bahwa akulah ayah bayi itu.

***



Palembang, 6 September 2002

Minggu, 03 Januari 2016

Bangku Belakang

Cerpen Sofie Dewayani
Dimuat di Koran Tempo 17/05/2009

(deviantart.net)

PADA hariku yang lelah, warnet adalah tempat istirah. Di dunia maya aku bisa menyapa teman-teman lama. Ceria, tertawa, seperti dulu waktu SMA. Cerita nostalgia, kabar bahagia, terpampang bergantian seperti pajangan. Mataku menelan lembar demi lembar layar, menyusuri kota demi kota. Teknologi memang gila. Ruang dan waktu dirangkumnya dalam satu sentuhan jemari saja.

Tak heran orang menyebutnya dunia maya. Jejaring pertemanan ini meleburkan peristiwa dan masa. Aku bisa tergelak oleh kisah lama, tersenyum memandangi potret kelabu masa remaja. Aku menyeletuk sekadarnya, tapi lebih sering menyaksikannya saja. Aku tak ingin beranjak dari bangku belakang. Seperti dulu, waktu SMA.

Sayang Tino tak tahu bagaimana nikmatnya. Katanya, bernostalgia seperti itu membuang waktu saja. Padahal aku tahu diam-diam dia ingin tahu kabar teman-teman lama.

"Semua menanyakan kamu," aku meyakinkannya. "Harno kirim salam. Dia kerja di perusahaan penerbangan. Bambi sudah jadi bos sekarang. Kardiman sudah lama tinggal di Jerman. Vina, Karina, Mira, sudah punya anak remaja. Kamu pasti nggak percaya, Bian jadi kandidat pilkada."

"Hebat," celetuknya. Namun matanya tak lepas dari roda sepeda di tangannya.

"Memangnya kamu tahu semua itu dari mana?" Tino membetulkan letak kacamatanya dengan punggung tangannya. Jemarinya berlumur gemuk. Sebuah rangka sepeda terburai di depannya, tak berbentuk. Aku membungkukkan tubuh, agar suaraku mengalahkan deru bajaj yang terbatuk-batuk.

"Dari internet tentu. Ayo, kapan kita ke warnet sama-sama? Aku yang bayar. Nanti kutunjukkan foto-foto mereka. Kamu bisa bikin akun Facebook, lalu ngobrol dengan mereka."

"Buat apa? Aku akan memamerkan apa?" Dia tertawa. Aku diam saja.

"Aku bukan lagi komandan upacara, Sam." Tino berdiri lalu melempar lap yang bergemuk seperti jemarinya. Tak ada yang akan mengira bahwa bibirnya yang kehitaman itu pernah berteriak lantang memimpin upacara bendera. "Aku bukan siapa-siapa," ujarnya.

"Aku juga bukan, No." Tawaku terdengar mengambang.

"Aku malas. Kalau aku menang undian, boleh deh aku kontak mereka." Dia tertawa.

"Apa kamu pernah cerita tentang aku?" Tino tak mengangkat kepalanya. Tangannya sibuk mengusap jeruji sepeda.

Aku menggeleng. Bengkel ini terlalu kusam dan temaram, tak seperti pendar dunia maya yang menentramkan. Di sana, semuanya harus sempurna, tampak bahagia. Foto keluarga terpajang. Anak-anak berpose lucu menggemaskan. Keluarga berpelukan mengumbar tawa, berlatar eksotika tempat wisata. Semuanya harus indah untuk dikenang, seperti masa-masa SMA.

"Lagipula, apa iya mereka akan ingat aku?" gumamnya.

"Dibandingkan teman-teman kita, kamu nggak berubah sejak SMA," jawabku.

Tino mengerlingku. Senyumnya masam. Aku memalingkan mataku ke arah kali yang kehitaman di bawah jembatan. Siapapun akan mengakui bahwa Tino tak banyak berubah. Dia tidak botak, tidak gendut. Rambutnya pun tak memutih. Dia hanya terlihat sedikit tua, dan kusam. Juga letih, ringkih. Legam, mengisut oleh garang debu jalanan.

Dulu, bangkuku dan bangku Tino bersebelahan. Karenanya, kutahu pasti Tino tak pernah mencatat pelajaran. Buku catatannya penuh berisi gambar-gambar. Dia hanya belajar dari fotokopian catatan teman-teman perempuan. Dia juga setia kawan, rajin membagi contekan. Tak seperti aku yang suka menyendiri di sudut bangku belakang, Tino punya banyak teman. Meskipun bukan yang paling pintar, kutahu otak Tino lumayan. Karenanya banyak yang heran ketika dia tak lolos ujian masuk universitas idamannya. Sejak itu, dia berpindah dari kota ke kota. Konon, mencari peruntungan.

Saat melihatnya di sini tiga tahun lalu, aku segera mengenalinya. Dia masih Tino yang sama: Tino yang teguh pendirian, juga makin keras kepala. Memikirkan itu, aku urung memberitahunya tentang rencana reuni SMA minggu depan. Tak mungkin dia mau datang. Kurahasiakan keputusan yang barusan kuniatkan: aku akan datang. Aku bosan tak terlihat. Aku bosan duduk di bangku belakang.

UNTUNG pamanku meminjamiku Kijangnya. Tak mungkin aku menyambangi kafe hotel bintang lima ini dengan menumpang kopaja. Tak akan kubiarkan bajuku tercemari peluh dan aroma debu jalanan. Semuanya harus tampak sempurna, seperti foto-foto yang kupajang di Facebook sana.

Di kafe itu, aku segera mengenali teman-temanku. Harno tampak menyolok dengan tubuhnya yang tambun dan rambut keperakan. Vina, Karina, datang dengan suami dan anak-anak mereka. Kardiman yang baru dua hari tiba dari Jerman membagi-bagi gantungan kunci dan cokelat. Tersipu-sipu, aku menyembunyikan senyum ketika mereka bertanya mengapa badanku tak memuai seperti mereka. "Rajin berolahraga saja," ucapku sambil menjejalkan sekeping keripik ke mulutku. Aku melirik Kardiman. Fasih sekali lidahnya mengeja nama-nama makanan asing ini kepada pelayan. Pad thai, tom yam, ah, entah apa lagi.

"Sama seperti dia," kataku kepada pelayan yang menanyakan pesanan, sambil menunjuk Kardiman. Semua tertawa.

"Mana istri dan anakmu, Sam?" Kardiman menatapku sambil menyeruput jus berwarna merah muda.

"Oh, istriku sedang ada urusan kantor ke Singapura. Anakku ada di rumah sama neneknya."

"Bisnis kamu sukses ya?"

"Begitu sajalah, Man. Lumayan."

"Ada yang tahu kabar Tino, ketua kelas kita?" Bian tiba-tiba berseru dari ujung meja, memecah silang cerita tentang guru-guru SMA. Kardiman mengangkat bahunya. Entah mengapa, aku merasa jadi pusat perhatian semua mata.

"Kabarnya dia sekarang berwiraswasta. Aku juga sudah lama nggak ketemu dia," sahutku. Kureguk teh hangat cepat-cepat. Untung saja, pelayan datang mengedarkan beberapa pinggan makanan.

"Jadi, gosip tentang dia punya bengkel sepeda itu bener, nggak?" Karina berseru di tengah kesibukan piring-piring makanan diedarkan. Aku mengangkat bahu. Yang lain membisu, sibuk memulai suapan pertama.

"Tanpa bantuan Tino pasti aku nggak lulus," Kardiman menggumam, "Ingat nggak, dia menyalin jawaban ujian matematika di atas tisu, lalu kita edarkan dari bangku ke bangku?"

Harno, Bian, Vina, tergelak hingga bahu mereka terguncang. Aku mengunyah mie bertabur udang bernama pad thai itu pelan-pelan. Bian menyambung ceritanya tentang sukses contekan yang terus berulang hampir di setiap ujian. Entah mengapa, makanan ini terasa aneh di lidah. Aku meletakkan sendokku dengan diam. Lidahku yang ingin mengucapkan sesuatu seperti teriris tajam.

Aku ingat sesuatu yang seperti sengaja terlupa. Kisah sukses contekan itu bumbu yang berlebihan. Tino sempat kepergok membagi contekan, namun dia tak mengaku kepada siapa contekan itu diberikan. Tino dihukum menghormat tiang bendera di tengah lapangan upacara selama dua jam. Sendiri saja.

Aku ingat semuanya. Aku, si penghuni bangku belakang. Pad thai ini terlalu manis rasanya. Sup ikan bernama tom yam itu terlalu asam. Tak ada rasa yang akurat. Namun, hidangan ini lumat dengan lahap. Yang terlihat harus tampak sempurna, meskipun menyembunyikan borok atau luka. Menentramkan, seperti kenangan lama.

KULETAKKAN dua bungkus pad thai itu di meja makan. Memang aku tak suka, tapi biarlah Yanti dan Restu mencicipi menu restoran hotel bintang lima. Aku akan tidur nyenyak malam ini, setelah mengukir prestasi merasai pad thai. Tersenyum geli, aku mengenang tawaranku untuk membayar semua tagihan di restoran tadi. Basa-basi basi. Tentu saja Bian memenangkan perdebatan soal pembayaran tagihan. Aku tahu dia tak akan membiarkan dirinya ditraktir teman. Pelan-pelan, kulepas sepatu kulit pinjaman dari paman yang sesungguhnya sangat kesempitan. Seandainya Tino hadir di reuni ini, semua lakon ini tak akan sesempurna ini.

Kubuka tirai yang menjadi pintu kamar, menguarkan aroma obat nyamuk bakar. Yanti tertidur dengan mulut terbuka, pasti kelelahan menjahit baju pelanggan. Dia tak tahu aku menghadiri reuni malam ini. Dia tak tahu suaminya telah mengobral cerita tentang seorang istri yang sedang dinas ke Singapura, di sebuah hotel bintang lima. Dia hanya tahu bahwa sewa rumah petak ini belum terbayar hingga dua bulan.

Mungkin aku akan memberanikan diri berbicara kepada Tino besok pagi. Siapa tahu dia punya sedikit uang yang bisa kupinjam. Kutahu dia selalu setia kawan, seperti tiga tahun lalu, saat dibantunya aku membuka kios majalah di depan bengkel sepedanya. Diajarinya aku mereparasi sepeda, seperti dulu saat diajarinya aku matematika. Selama aku mengenalnya, tak pernah dibiarkannya aku sendirian. Tak pernah dibiarkannya aku terpuruk di bangku belakang.***

Urbana, 11 Januari 2009

Senin, 28 Desember 2015

Ulat-ulat pada Kematianku

Cerpen M. Irfan Hidayatullah (Republika, 07 Oktober 2005)

(youtube.com)

Lalu pagi itu terlewati. Lalu siang itu terlewati. Lalu malam itu terlewati. Lalu pagi lagi. Aku hanya bisa termanggu menunggui tubuhku. Dan aku tak seperti biasanya lagi. Aku tak dirundung lapar dan haus. Aku telah bebas. Aku bahkan tidak merasakan lagi nuansa mewah kamarku. Karpet tebal penutup lantai. Ranjang kayu jati. Spring bed keluaran terbaru. Bed cover bermotif bendera Juventus. AC pintar plus mutakhir. Poster-poster pemusik hip-hop metal. Komputer dengan segudang game. TV platron 25 inc. Lampu tidur yang bercaping. Dan kamar mandi yang harum terawat.

Perasaanku telah lain. Aku seperti hampa. Aku mungkin telah berpindah wujud dari segumpal darah, sejumput daging dan sebongkah tulang menjadi udara. Dan, aku tak merasakan sejuknya udara karena aku udara, tepatnya mewujud udara. AC di kamarku telah hanya sekadar benda yang tak punya arti apa-apa. Kehampaan ini bagai sebuah wilayah yang tanpa batas, seperti tanpa sekat, seperti suasana tengah laut, atau seperti di tengah gurun, atau bahkan seperti di langit yang setelah kusampai di sana ditinggalkan biru, lazuardi.

Namun, aku tak bisa bergerak. Aku hanya termangu melihat tubuhku tak bergerak. Namun, aku juga tidak tahu pada apa kini berada. Aku seolah menyatu dengan ruang, tak bertubuh. Dan, aku tak membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, sepertinya memoriku hilang. Aku tak punya sejarah lagi. Satu yang kutahu adalah bahwa yang tergolek itu adalah tubuhku. Dan, tubuh di sampingnya adalah tubuh entah.

Kadang aku merasa ada pada tubuh asalku, kadang pada ranjang itu, kadang pada lampu tidur itu, kadang pada AC itu, atau kadang aku tak di mana-mana. Ini rumit, pikirku.

Telah ruhkah aku? Telah mayatkah tubuhku? Lalu kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tak beranjak perpindah alam, ke dunia lain? Atau inikah dunia lain itu? Tak mungkin. Aku masih merasakan wujud dunia walau aku tak bisa menyetubuhinya. Aku tertegun, tepatnya merasa tertegun. Aku tak mempunyai gestur lagi saat ini. Yang kupunya hanyalah entah apa. Mungkin hakikat segala sesuatu.

Tiba-tiba tubuhku bergerak. Namun, gerakannya aneh sekali seperti gerakan mundur. Memutar ulang. Begitu cepat. Sepertinya ada wujud lain yang menekan tombol replay. Sampai pada satu titik peristiwa. Saat tubuhku baru masuk ke kamar itu.

“Naah. Inilah kamarku, Sayang.”
“Oh, ya? Bagus juga.”
“Kita santai saja. Semuaku sedang ngak ada.”
“Semuamu?”
“Ya, ibuku, ayahku, adikku, bahkan pembantuku.”
“Oh, lalu yang tadi?”
“Ya, itu memang pembantuku, tapi kuanggap tak ada. Dia takkan bicara apa-apa. Dia saksi bisu.”
“Tapi kamu harus hati-hati, Sayang.”
“Tenang saja. Ia telah kubungkam dengan uang. Dia manusia juga. Butuh segalanya.”
“Seperti kita?”
“Ya, seperti kita yang butuh kamar ini. Butuh kebebasan. Tempat saat hanya kita yang ada. Tak ada keluarga, teman, dan masyarakat yang selalu menghakimi dengan alasan dogma-dogma.”

“Kalau begitu, ayo….”
“Nanti dulu, Sayang. Kita akan lakukan semuanya dengan sempurna. Jangan tergesa-gesa. Kita nikmati semuanya dengan sebuah rasa yang terjaga. Detik-detik kita jangan sampai terbuang karena nafsu yang menggelora. Kita harus menikmatinya seperti aliran air di sebuah muara, tenang, tapi menuju sungai yang deras menuju lembah-lembah, bahkan jurang. Kita bukan sungai yang airnya tergesa.”

Aku tercekat melihat tubuhku yang segar-bugar itu tengah berbincang dengan seorang perempuan atau wanita atau, ah…. Aku betul-betul tak mampu mengingatnya. Atau putar ulang ini adalah proses ingatanku? Aku sepertinya disetting untuk objektif. Menjadi saksi atas diriku sendiri yang dengan penglihatanku yang tanpa mata ini menyaksikan tubuhku berbuat sesuatu. Aku subjek yang melihat aku objek.

Pemutaran ulang itu kemudian seperti dipercepat. Perbincanganpun berubah menjadi menggelikan. Nada menjadi lebih tinggi dan sambung menyambung. Aku tak mampu melihat setiap adegan dengan jelas. Tapi aku bisa simpulkan bahwa aku tubuh dan perempuan itu tengah melakukan sesuatu. Sesuatu yang menurut aku tubuh tadi ingin teralami dengan sangat lambat dengan detik-detiknya tak terlewat.

Namun, aku melihat justru pada sebuah proses yang sangat cepat. Pemercepatan itu telah membuatnya sangat cepat. Sesuatu pun terlakukan sudah. Sangat cepat dan cepat. Bahkan, seperti hanya sekejap. Aku bengong, betapa cepat peristiwa itu terjadi.
“Terima kasih, Sayang. Kau telah memberikan sesuatu yang berharga buatku. Aku takkan menyia-nyiakan itu. Aku janji.”

“Betulkah, kau berjanji?”
“Kau sepertinya diliputi ragu, Sayang?”
“Karena banyak kejadian–”
“A…a, kau terpengaruh senetron-sinetron itu rupanya, atau novel-novel itu?”
“Aku hanya takut kehilanganmu setelah aku menghilangkan diriku sendiri.” “Kita memang telah menyatu. Karena itu, kita tak bisa lagi saling berpisah.”
“Kamu romantis sekali, Sayang.”
“Itulah aku. Semua yang kumiliki hanya untukmu. Termasuk sifatku yang satu itu. Hanya untukmu. Apa, sih di dunia ini yang takkan kuberikan padamu setelah semuanya terjadi. Kita bahkan harus saling memberikan nyawa kita.”
“Ah, sudah, Sayang. Kau mulai berlebihan.”
“Sudah, kalau begitu. Kau nampak lelah. Kita tidur saja.”
“Aku pulang saja.”
“Tidak. Kau tidur saja di sini. Malam ini milik kita sepenuhnya.”
“Kadang sesuatu yang tak terduga bisa terjadi.”
“Aku sudah antisipasi. Aku sudah perhitungkan matang-matang.”
“Lalu bila tiba-tiba mereka datang?”
“Percayalah padaku semua telah kuatur.”
“Tapi Dia pun mengatur.”
“Kau….”
“Ada apa, Sayang?”
“Kau menakut-nakutiku.”
“Aku hanya menyebut Dia. Kau takut pada-Nya?”
“Ya, aku takut. Karena itu, kau jangan pergi. Temani aku agar aku tidak takut lagi pada-Nya. Kita berdua bisa menghadapi-Nya bersama, hmm…. Bagaimana?”

Tiba-tiba kejadian di kamar itu dipercepat lagi. Gerakan gerakan aku tubuh dan wanita itu jadi semacam bayangan yang berkelebat, cepat. Peristiwa-peristiwanya pun tidak hanya terjadi di atas ranjang itu, bahkan di bawah shower. Sekejap. Di bath tub. Sekejap. Di tolilet. Sekejap. Lalu terakhir kembali di (ke) ranjang. Sekejap. Setelah itu tak bergerak lagi tubuh-tubuh itu. Diselimuti atau bahkan ditutupi oleh bad cover dan selimut bermotif bendera Juventus itu. Tubuh mereka seperti dibenamkan pada ranjang itu atau disemayamkan.

Memoriku telah penuh. Aku jadi tahu masa laluku. Sehari semalam yang lalu. Namun, hanya itu yang kutahu. Sisanya hitam. Mungkin harus ada yang memutar ulangnya lagi. Dan, aku hanya saksi bagi diriku. Aku ternyata hanya mengenal nama, tidak peristiwa.

Entah ketukan yang keberapa kali, sejak malam tadi. Terdengar. Tergesa. Panggilan-panggilan berbisik, setengah teriak, lalu penuh teriak. Ketukan menjadi gedoran. Gedoran menjadi dorongan. Dorongan menjadi pembongkaran. Lalu jeritan. Histeris.

Mereka berempat. Ibuku, ayahku, adikku, dan pembantu kami itu. Mereka masuk sambil menutupi hidung mereka dengan baju-baju mereka. Bahkan adikku muntah di kamar mandi. Sedangkan aku heran. Ada bau apa gerangan? Mereka menghampiri aku tubuh, tubuhku yang terbenam sempurna di ranjang itu. Mereka membangunkanku. Tak berhasil. Mereka menggoyang-goyang tubuhku. Namun, keheranan terpancar pada mereka. Bukan tubuh yang mereka goyang, tapi benda lunak yang seperti terkelupas karena gesekan. Mereka saling pandang lalu seperti sepakat membuka selimut itu.

“Aaaaaaaa, Bagus anakku!”
“Ooooooh, Bagus anakku!”
“Haa? Kak Bagus? Ya, Allah!”
“Iiiiiii, Den Bagus?”

Histeris, heran, tak percaya, dan mual bercampur baur. Dan, aku hanya hening. Udara yang mungkin dingin. Tercekat oleh apa yang kulihat. Tiba-tiba aku berubah. Mulai bisa merasakan. Aku seperti membeku. Aku tak bertiup lagi. Raga gaibku yang entah apa wujudnya terpaku dan entah menancap di mana. Tubuhku tinggal wajahku, juga tubuhnya tinggal wajahnya. Wajah tercekat, tercekik, tersiksa, tak kuat, menjerit. Wajah tragedi. Sementara badanku dan badannya hampir tinggal tulang. Ulat-ulat yang gemuk dan penuh lendir kemerah-merahan tercampur darah memagut-magut setiap inci badan itu. Menuju wajah. Aku tak mampu mengekspresikan perasaanku, sementara mereka pingsan kecuali pembantuku. Ia terduduk sambil meraba saku celananya.

Gue Bukan OB Lagi

Genre: Novel
Penulis: Boim Lebon
Penerbit: Indiva Media Kreasi
terbitan: 2015


Cerita ini berkisah tentang perjuangan seorang OB alias office boy yang pengen berubah nasibnya! Wajar sih ada orang pengen beruvah nasibnya. Yang nggak wajar tuk kalo ada yang mau berubah anunya, eh maksudnya berubah wajahnya, masak dari wajag ndeso pengin jadi punya wajah kayak Aliando?

Tapi cerita OB bernama Najib ini luar biasa karena sosok pemuda nanggung yang dikenal seduhan kopinya, mampu mengalami perubahan signifikan. yang awalnya sebagai office boy, lalu mendirikan sebuah band, dan akhirnya menjadi seorang musisi sekaligus production assistant! Beneran, ini benar-benar harus dikasih dua jempol, kalo perlu ditambah lagi ama dua jempol kaki--jadi empat jempol sekaligus haha....

Nah, biar nggak penasaran lagi, buruan baca deh! ijamin ngakak maksimal!

Minggu, 27 Desember 2015

Lelaki yang Menyisir Rindu

Cerpen Asma Nadia (Republika 30/01/2005) 

(http://www.meh.ro)

Ibu tua dalam kebaya, menangis tanpa suara. Matanya nanap menatap laut lepas. Pada ombak-ombak kecil berkejaran. Dulu sekali, dia dan tiga anaknya sering menghabiskan waktu di sana. Mereka berempat saja. Sebab suami, yang telah membawanya ke tanah serambi itu, telah berpulang ketika Din, anaknya yang paling kecil baru belajar jalan.

Berempat saja. Berlari di antara kaki-kaki ombak yang lincah menggulung. Bermain pasir, dan berlomba mengejar perahu nelayan yang menepi. Dari pinggir laut, mereka biasa menikmati rumah-rumah bagus yang terletak tak jauh dari tempat tinggal mereka. Rumah-rumah orang kaya, katanya. Sambil berkhayal, seperti apa rasanya tinggal di sana. "Kaki harus bersih," kata Yanti, anaknya yang paling tua dan terkenal rapi. "Pasti makan enak terus!" timpal Azhar, anaknya nomor dua yang berbadan besar.

Sementara Din, yang bungsu diam saja. Hanya matanya memandang lekat. Barangkali membandingkan bangunan kokoh itu dengan rumah mereka yang semi permanen. Ruangan satu kamar, yang sebagian besar masih berupa bilik. Sebagai ibu, telah dia beri segala yang bisa. Bekerja apa saja untuk menyekolahkan anak-anak, meski napasnya tak cukup membawa mereka ke perguruan tinggi. Hanya si bungsu saja yang kini bekerja di Banda, sempat menamatkan kuliahnya. Sementara anak-anak yang lain hanya tamatan SMA.

Begitu cepatnya waktu. Kedua matanya yang cekung masih merayapi senja yang turun diantara barisan pohon-pohon kelapa. Rasanya belum lama dia dan anak-anak bermain di sana. Melihat orang-orang memanjat batang kelapa, dan memetik buahnya yang bergerombol di pucuk. Ibu tua dalam kebaya mengapus air matanya. Ia tak mengerti kenapa kesedihan itu semakin kental dari tahun ke tahun. Mungkin usia, pikirnya. Mungkin juga kesendirian. Sejak anak-anak lulus SMA, dia mulai merasa kesepian. Seolah berlomba-lomba mereka meninggalkannya, meski dengan alasan yang bisa dimengerti, bekerja. Dan waktu yang berkelebat cepat, tiba-tiba sudah membawa mereka pada tahapan lain dalam kehidupan, menikah dan punya anak.

Harusnya dia bisa mengerti, dan bukan meratapi diri. Mungkin mereka sibuk. Perempuan itu masih menangis sesenggukan tanpa suara. Pipinya yang keriput, basah. Sudah dua hari raya, keluarga besar mereka tak berkumpul.

Anak-anak sudah tak mengingatnya lagi. Padahal hari ini, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan merapikan rumah, lalu masak ala kadarnya. Ini hari jadinya. Dulu dia dan anak-anak selalu membuat syukuran sederhana untuk mengingat bertambahnya usia. Bukan upaya membawa gaya hidup Barat dalam kehidupan mereka. Tapi mereka jarang makan enak, dan makan enak itu jadi lebih berarti ketika disesuaikan dengan tanggal kelahiran anggota keluarga. Dengan cermat pula, perempuan berkebaya itu menyimpan uang sedikit demi sedikit, agar anak-anak bisa makan istimewa, beberapa kali dalam setahun. Dan hari ini hari jadinya. Perempuan tua dalam kebaya menutup jendela kayu. Berhenti berharap. Satu dua air mata masih menitik. Anak-anak sudah tak mengingatnya lagi!

Laki-laki itu menginjak pedal gas dalam-dalam, hingga mobilnya terasa terbang. Dia sudah terlambat. Seharusnya kemarin. Sesekali diliriknya jam di pergelangan tangan. Tak sabar ingin segera sampai. Dia ingin segera menemui Mak, meminta maaf atas keterlambatannya. Perasaan rindunya berbaur dengan rasa bersalah yang kental, membayangkan perempuan yang melahirkannya menunggu sia-sia. "Kakak tak bisa datang, Din. Abang pun masih repot dengan kerjaannya. Tak bisa ditinggalkan," suara Yanti di telepon kemarin, "sampaikan salam pada Mak."

Din hanya mengangguk. Sambil dalam hati menghitung, ini sudah dua tahun, Yanti yang tinggal di Medan tak pulang. Sementara Azhar beralasan panjang meski tak jelas, namun intinya sama. "Tak bisa, aku Din. Kau saja, ya?" Padahal Yanti dan Azhar pula yang memintanya menunda kunjungan itu. "Cuma sehari, Din. Kakak masih cari waktu bicara sama si Abang." "Kalau hari ini tak bisa. Besok pagi-pagi sekali kita jalanlah." Din mengembuskan napas kesal. Kalau tahu begitu, lebih baik kemarin dia berangkat sendiri. Apalagi semuanya sudah siap. Dia memang tak pintar bicara seperti kedua kakaknya. Tapi mimpi itu didekapnya sejak lama. Sejak dia sadar keinginan yang disimpan kuat-kuat di bilik hati Mak, meski perempuan berkebaya itu tak pernah mengucapkan.

Itu pula alasan Din belum mau menikah. Dia bisa melihat bagaimana kedua saudaranya serta merta terampas oleh rutinitas berkeluarga, dan pelan-pelan berkurang perhatian pada Mak.

"Anakku sakit, kalau dipaksa mana bisa istirahat di rumah Mak!" "Aduh, lagi tanggung bulan nih, Din."

Padahal tanggung bulan atau tidak, Mak mereka nyaris tak pernah meminta apa-pun. Cukup kedatangan tiga permata hatinya. Mata tuanya akan segera bercahaya.

"Istriku tak enak badan, kepalanya pening-pening terus. Sampaikan maafku pada Mak."

"Si Abang tak memberi izin, Din. Soalnya ada acara di gubernuran. Tak mungkin dia ke sana sendiri tanpa kakak, kan?"

Kasihan Mak, pasti rindu.

Din, laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun itu, menekan pedal gas lebih dalam. Tekadnya kuat. Dia sudah harus melihat wajah Mak, saat matahari pertama terbit nanti.

Suara orang mengaji di surau baru berakhir ketika kijang tuanya berhenti. Lelaki itu menengok ke arah laut yang bergejolak tenang. Laut yang menyimpan sejarah masa kecil mereka. Laut yang membuktikan, betapa tegarnya Mak membesarkan ketiga anaknya. Tangan Din mengetuk pintu, bersama salam yang dibisikkannya. Suara sandal diseret dari dalam terdengar mendekat. Tak lama pintu terbuka, sesosok perempuan tua dalam balutan kebaya yang lusuh menatapnya beberapa kejap. Lalu memeluknya tanpa kata-kata.

"Mau kau ajak kemana Mak?"

Din tersenyum saja. Hati-hati dia menuntun langkah Mak ke mobil.

"Tak jauh. Mak tenang saja."

Perempuan berkebaya itu tak bertanya lagi. Wajahnya lurus menghadap ke depan. Tak ada yang tahu betapa hatinya melonjak karena kebanggaan yang terselip. Anaknya si Din, sudah jadi orang tampaknya. Sudah bisa pula membawa Mak-nya berkeliling naik mobil.

"Jangan cepat-cepat, Din."

Din tersenyum, disorongkannya wajah ke arah Mak. Dikecupnya lembut dahi yang penuh guratan usia itu.

"Tenang saja, Mak."

Din, anaknya yang paling muda memang berbeda. Mungkin karena dia belum berkeluarga. Dibandingkan yang lain, si Bungsu itu lebih perhatian. Malah sejak dua tahun ini, hanya Din saja yang setia mengunjunginya. "Kemarin kemana kau, Din? Mak menunggu sampai maghrib." Din memutar setirnya. Kendaraan bergerak pelan. Di sepanjang sisi jalan, laut berayun lembut. Dia sudah di sini sekarang, dekat dengan Mak. Tapi perasaan bersalah karena membiarkan Mak menunggu kemarin, masih mengganjal di hatinya. Rasanya seperti menjadi Amad Rhang Manyang, anak durhaka serupa Malin Kundang dalam mitos Aceh, yang sering diprotesnya. Ibu mengutuk anak rasanya kejam sekali. Sulit untuk membayangkan ibu-ibu Aceh setega itu. Tak mungkin.

"Kemarin tu Kak Yanti dan Bang Azhar...," Din memulai penjelasannya. Mak mengangguk-angguk mendengarkan. Mata Din beberapa kali beralih dari jalan di hadapannya. Mak-nya tak berubah. Perempuan Jawa yang telah lama hidup di tanah sebrang ini, masih tetap saja berkebaya. Ketika dia tanyakan kepada Mak, kenapa tetap mengenakan kain dan kebaya, padahal pakaian itu membuatnya tak leluasa bergerak. Perempuan tua itu hanya menjawab singkat.

"Beginilah ayahmu melihat Mak pertama kali, Din."

Din mengagumi Mak. Jerih payah dan kegigihan perempuan itu luar biasa dalam membesarkan ketiga anaknya. Bagi lelaki itu, keputusan Mak untuk tidak menikah lagi, seolah menjadi bukti totalitas pengabdian yang telah dipilihnya. Totalitas untuk bersama anak-anak. Sungguh menjadi ironi karena ketika anak-anaknya mampu membalas budi, totalitas serupa tak bisa mereka berikan.

Din melenguh dalam hati. Seharusnya dia bisa lebih sering bersama Mak. Harusnya. Tapi tenggat-tenggat dari kantor, lalu tugas-tugas keluar kota, menyisakan hanya sedikit waktu. Itupun terkadang sudah dibalut lelah dan pening. Padahal Mak semakin tua.

Tak berapa lama mobil berhenti. Mak turun dengan pandangan penuh tanya.

"Eh, kemana kau ajak Mak, Din?"

Rumah bercat putih itu berdiri di antara rumah-rumah lain yang lebih besar. Dulu mereka sering memandang rumah-rumah di kawasan elit ini, dengan kaki terendam air.

"Kau tak mengajak Mak melamar perempuan secara mendadak, kan?" Din menggeleng. Dituntunnya langkah Mak hingga berada tepat di depan pintu.

"Ini rumah Mak," bisiknya ke telinga perempuan itu.

Mak menatapnya dengan pandangan tak percaya. Lalu tersedu-sedu di dadanya.

Tidak. Mak tak boleh menangis. Sebab rumah ini dibelinya untuk membahagiakan wanita itu. Mak tak boleh lagi tinggal sendirian dalam rumah bilik satu kamar. Perempuan itu sudah melewati begitu banyak bilangan tahun di sana. Mak butuh tempat yang lebih sehat, tempat yang lebih nyaman, di mana dia bisa menunggu kedatangan mereka dengan lebih tenang.

"Din...."

Lelaki itu mengangguk. Mengajak perempuan itu berkeliling di dalamnya. Rumah bercat putih itu memiliki tiga kamar tidur.

"Supaya Yanti bisa membawa anak-anaknya menginap di sini, Mak."

"Ya... ya...." Mak mengangguk. Lidahnya kelu. Tak disangkanya Din yang selama ini tak banyak bicara membelikannya sebuah rumah.

"Nah, kamar yang satunya lagi buat Bang Azhar dan istrinya kalau datang."

Mak mengangguk lagi. Di wajahnya terselip rasa khawatir.

"Kau benar-benar punya uang untuk membeli ini, Din?" tanya Mak, setelah beberapa lama mereka hanya diam mengagumi rumah baru itu.

Din mengusap-usap punggung ibunya.

"Jangan sampai kau pakai uang orang," kata Mak lagi. "Mak tak perlu khawatir."

Dan dengan satu kalimat itu, Din kembali ke mobilnya.

Matahari mulai menyibak langit, saat Din menstarter kijangnya.

Mak memandangnya dari mulut rumah, melambaikan tangan. Din membalasnya dengan senyum lepas dan rindu yang belum selesai. Dia ingin semua tuntas hari ini, dan Mak bisa segera menempati rumah barunya.

Dia tak berencana meninggalkan Mak lama. Hanya beberapa jam ke kota untuk membeli perabot baru bagi Mak.

Penduduk asli desa nelayan itu, jika masih ada mungkin mengenal sosok laki-laki berumur tiga puluhan yang wajah kerasnya tampak keruh. Sementara kedua matanya menyimpan kabut. Dua hari sejak musibah itu, sosoknya muncul dari arah berlawanan dengan pengungsi. Dan lelaki itu tak beranjak meski lima hari telah berlalu, dan gempa-gempa lain masih kerap menggoyang bumi.

Tanpa alas kaki, sosoknya berjalan di wilayah nelayan yang telah rata dengan tanah. Rumah-rumah dan perahu tak tampak lagi. Begitupun deretan rumah-rumah bagus yang dulu dibangun beberapa kilometer dari pantai. Semuanya runtuh. Sekarang hanya batang-batang pohon kelapa yang menjulang, diantara serpihan tubuh-tubuh manusia yang mengambang di laut tenang, dan sebagian terserak di pantai. Kedua mata lelaki itu awas mencari-cari sesuatu. Ketika menemukan yang dicarinya, lelaki itu akan mulai bekerja. Setelah selesai dia akan bersimpuh, dengan kepala tertunduk khidmat, berdoa di atas pusara yang digalinya.

Setiap hari, tanpa bicara lelaki itu bekerja. Menguburkan setiap jenazah yang dilihatnya langsung dengan tangannya. Tidak seperti relawan lain yang mengangkut semua dengan kendaraan dan menguburkan secara massal. Uniknya lagi, lelaki itu hanya mencari jenazah perempuan. Tak peduli wajah-wajah itu kini tampak mirip karena kembung oleh gelombang dan mulai rusak karena waktu. Pun tak berhenti, meski matanya selalu saja gagal mengenali penggal kain yang dikenakan, sebab tak banyak yang masih melekat di badan jenazah.

Dia hanya tahu, dia tidak boleh berhenti. Sebab, satu dari mereka, mungkin saja perempuan berkebaya yang melepasnya di pintu rumah. Sungguh, dia tak berencana meninggalkan Mak lama. Hanya beberapa jam ke kota untuk membeli perabot baru. Tapi sesuatu menghalanginya untuk segera kembali. Gelombang besar yang tiba-tiba saja datang.***

Laila Majenun

Hamzah Puadi Ilyas (Majalah Ta’dib, Edisi 45/Th.IX/November 2011)

Layla Majnun (http://www.harvardartmuseums.org)

Laila - yang hampir setahun murung, melamun, dan mengurung diri - tiba-tiba berubah serta menjadi perbincangan orang banyak. Menurut cerita dari mulut ke mulut, ia sembuh lantaran meminum air zam-zam yang dibawa pulang oleh pamannya setelah menunaikan ibadah haji. Katanya lagi, entah benar atau tidak, air itu telah diberi bacaan oleh seorang syaikh di Arab Saudi. 

Laila yang dulu tak tampak lagi. Sinar matanya yang semula sayu, kini musnah. Bola matanya memancarkan rona keemasan. Tajam dan tegar. Dengan pakaian warna putih yang selalu melekat di badan, ia menjelma sosok agung serta mampu mengkhilafkan banyak orang.

Perubahan pada diri Laila tidak berhenti sampai disitu. Ia juga meninggalkan pekerjaannya sebagai seniman patung. Karya-karyanya memang telah bertebaran hingga ke manca negara dan dikoleksi jutaan umat. Tak heran, Laila adalah alumni institut kesenian ternama. Satu persatu patung yang telah ia buat dan menempati ruang pamer di rumahnya berubah menjadi abu. Bahkan sebuah patung besar yang telah ditawar jutaan oleh penggemar seni pun tak luput dari kehancuran. Banyak sekali yang menyayangkan tindakan Laila.

Orang tuanya sendiri bingung, apalagi orang-orang yang selama ini memuja karyanya dan menganggap karya Laila sebagai seni tinggi. Sehingga bermunculanlah orang-orang dari seluruh media menanyakan kenapa ia menghancurkan sendiri karyanya. “Alangkah sayangnya. Beberapa karya agung harus musnah. Bukankah mengundurkan diri dari dunia seni tidak harus diikuti dengan menghancurkan karya sediri?” Begitu kata kebanyakan pengamat seni yang dimuat di berbagai media massa.

Laila menjawab, “saya tidak ingin orang-orang menjadi musyrik. Memuja patung adalah perbuatan syirik walaupun kita tidak bersujud dihadapannya. Dengan ini juga saya memerintahkan kepada kolektor di seluruh dunia yang masih menyimpan patung karya saya untuk memusnahkannya. Patung tidak akan memberikan kedamaian dan keselamatan pada umat manusia. Selamanya mereka bisu. Saya tidak ingin seperti itu. Kini saatnya saya akan membuka suara untuk menyampaikan suatu kebenaran.”

Setelah itu Laila menjadi sangat terkenal. Apalagi setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai utusan Tuhan. Juru Selamat baru. Seluruh media cetak dan elektronik tak henti-henti memuat berita tentang dirinya. Berbagai respon bermunculan. Ada yang mengakui kebenaran kata-katanya, namun tidak sedikit yang menghujatnya. Di antara orang-orang yang menolak pengakuan itu menganggap Laila sudah gila. Sehingga dirinya kini lebih dikenal dengan sebutan Laila Majenun.

Sebenarnya cerita awalnya sederhana. Laila yang menikmati hidup sebagai seniman kaya raya dan terkenal tiba-tiba merasakan kehampaan. Apa yang dia ciptakan adalah sebuah salinan dari karyaNya. Ia hanya meniru. Kejenuhan serta kelelahan menyeruak. Batinnya bergolak. Tak pernah reda, hingga proses kreatifnya seketika mandek.

Lalu muncul pertanyaan untuk apa sebenarnya hidup ini? Ia mulai mencari jawaban. Akibat pencariannya selama beberapa tahun, lambat laun Laila memandang dunia hanya sebagai tempat mampir saja, dan hidup manusia dirasakan sebagai senda gurau belaka. Ia sama sekali tak tertarik lagi dengan pekerjaannya. Ia ingin mencari sesuatu dibalik yang kasat mata. Suatu kebenaran yang dianggapnya masih tersembunyi. Sebuah ‘Diri’, yang tak hanya menciptakan materi untuk patung-patungnya, tapi Pencipta yang telah menciptakan dirinya.

Dalam pencarian itu ia mengalami berbagai peristiwa yang akhirnya membuat fisiknya lemah. Badannya tidak mampu menopang jiwanya yang haus akan ‘kebenaran yang sesungguhnya’. Pertanyaan dalam dirinya belum terjawab. Perlahan-lahan tubuh itu semakin lemah, sedangkan pikirannya melayang-layang mencari pijakan. Hingga akhirnya air zam-zam itu yang kabarnya mampu menyembuhkannya. Banyak yang menyebutnya mukjizat. Cuma sayangnya ia bersikap sangat aneh, begitu kata kebanyakan orang. Namun tak sedikit yang kagum pada Laila.

Sebagian besar orang yang kagum pada Laila mulai menyebar berita yang bermacam-macam. Ia dikatakan memiliki kesaktian. Beritanya cepat menyebar ketika ia mampu menyembuhkan penyakit. Mereka juga percaya bahwa ia adalah utusan Tuhan atau juru selamat atas kebobrokan moral yang sedang melanda negeri ini dan mengakibatkan munculnya bencana dimana-mana. Pengikutnya sangat yakin bahwa Laila mampu memberikan jalan keluar dari setiap masalah. Ia telah dianggap seperti wali atau orang suci.

Kabar makin cepat menjalar. Secepat angin dan kedipan mata. Maka datanglah orang-orang yang putus asa dalam menghadapi hidup, terutama orang-orang yang merasa hatinya gersang dan mereka yang tidak sembuh-sembuh didera penyakit. Setiap ada kesembuhan akan menjadi berita yang berpindah bak kilat. Makin lama makin banyak orang yang menemui Laila, sehingga ia mengubah ruang pamernya yang sekarang kosong menjadi tempat pengobatan.

Bukan cuma itu, setiap malam Jum’at ia mengundang orang-orang untuk berkumpul dan mendengarkan wejangannya. Mereka harus berpakaian serba putih dan selama 24 jam sebelumnya hanya boleh makan nasi putih serta minum air putih. Laila berkata, “hati kita harus putih dan bersih, maka dari itu semua yang melekat di tubuh kita harus berwarna putih, dan yang masuk ke tubuh kita juga harus makanan yang putih serta murni. Kemurnian adalah sumber dari segala pencerahan.”

Dengan ajarannya, Laila semakin terkenal. Tapi ia makin menunjukkan berbagai keanehan. Salah satu keanehan adalah setahun kemudian perut Laila kelihatan membesar. Para jemaat di perkumpulannya mulai bertanya-tanya: Apakah Laila hamil? Satu dua orang mulai tidak percaya dengan ajaran Laila. Mereka mulai meninggalkannya karena menganggap guru mereka telah hamil di luar nikah, dan itu adalah perbuatan dosa yang tidak boleh dilakukan oleh orang suci yang telah tercerahkan.

Menyadari itu, Laila dengan cepat menceritakan kisah Maryam yang mengandung Nabi Isa. Dengan daya pikat bicaranya yang luar biasa ia berkata, “manusia kini sudah semakin keluar dari jalur kodratnya. Mereka tak lagi menyembah Sang Pencipta, tetapi benda-benda fana. Maka itu Tuhan akan kembali membimbing manusia dengan mendatangkan juru selamat yang akan lahir dari rahim saya. Karena saya memiliki jiwa yang murni dengan hati suci. Tidakkah kalian lihat Nabi Isa yang lahir dari seorang perawan suci? Tuhan, dengan kuasanya, telah menjadikan saya seperti Maryam. Saya jelas sekali mendengar bisikan-Nya setiap malam yang disampaikan oleh malaikat Jibril, Sang Ruhul Kudus.”

Banyak yang kemudian masih tetap mengikuti Laila walau kini jumlahnya berkurang. Bagi mereka yang percaya, Laila benar-benar akan melahirkan seorang juru selamat baru. Anggapan ini datang dari mereka yang telah sangat muak akan perilaku manusia yang telah berubah bagai hewan. Malah kata mereka hewan kini lebih berharga dari manusia. Lihatlah anjing-anjing yang tinggal di rumah mewah. Mereka lebih disayang dari pada gelandangan dan orang-orang miskin. Bau anjing-anjing itu bahkan jauh lebih wangi. Derajat manusia telah jatuh di bawah anjing.

Laila kemudian melahirkan bayi perempuan.

“Mengapa bayi guru perempuan?” Tanya salah seorang pengikut saat mereka berkumpul. Kini jumlahnya tinggal puluhan.

“Seorang juru selamat tidak harus laki-laki. Bahwa yang menjadi pemimpin haruslah laki-laki adalah gagasan yang selalu didengungkan oleh jiwa-jiwa kerdil yang haus akan kekuasaan. Sebenarnya mereka hanya takut tersingkir. Mereka tidak mampu bersaing.”

“Tapi selama ini yang dikirim Tuhan selalu laki-laki. Lihatlah orang-orang suci yang berada di seluruh kitab-kitab?”

Laila diam. Warna keemasan matanya mengarah ke seluruh pengikutnya. Mereka semua tertunduk. Sebentar lagi guru mereka akan mengeluarkan untaian mutiara dari mulutnya.

“Lihatlah diri saya. Bukankah saya juga adalah perempuan, dan saya selama ini telah memurnikan hati kalian. Sehingga kalian tidak hidup dalam kesengsaraan duniawi. Hidup kalian menjadi tenteram bukan. Coba seandainya kalian masih memikirkan harta dunia? Pasti hidup kalian semakin gersang dan mata batin kalian semakin tertutup. Lagi pula, orang-orang suci yang namanya tercantum dalam kitab-kitab itu juga lahir dari rahim perempuan.”

Para pengikutnya mengangguk. Mereka menyadari alangkah indahnya berada di dekat Laila. Mereka tak lagi gelisah dengan segala harta dunia yang selama ini mereka cari dengan susah payah, lalu ditumpuk, diiringi ketakutan akan kehilangan. Sebelumnya mereka merasa bagai budak yang selalu dipaksa untuk memenuhi kebutuhan nafsu perut, bawah dan atas perut.

Laila melanjutkan kata-katanya, “jika kalian meneliti seluruh kitab-kitab suci yang ada di dunia, kalian akan mengetahui bahwa ada simbol-simbol tersembunyi yang mengatakan akan datang seorang juru selamat yang berjenis kelamin sama dengan ibunya.” Orang-orang yang berada di ruangan itu kembali mengangguk. Bahkan ada beberapa yang menitikkan air mata, lalu mengangkat tangan mereka dan bersujud di depan Laila.

Dengan gencar media kembali meliput kegiatan Laila dan pengikutnya. Beberapa orang merasa penasaran. Mereka menyusup ke dalam jemaat itu selama beberapa minggu, kemudian melaporkan kepada atasan mereka semua kegiatan yang dilakukan dengan membawa buku-buku yang sudah ditulis oleh Laila. Buku-buku tulisan Laila memang sudah diedarkan dan sangat laris. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja telah dicetak ulang beberapa kali.

Beberapa minggu kemudian ada pengumuman resmi yang mengatakan bahwa ajaran Laila sesat. Laila yang selama ini mengaku dibimbing oleh Jibril ditolak oleh orang-orang itu. Mereka mengatakan iblislah yang telah membimbing Laila dan membutakan mata serta hatinya. Ia hanya diberi ilusi dan seolah-olah ia adalah juru selamat utusan Tuhan. Kembali kata-kata ‘Laila Majenun’ menjadi sangat terkenal. Dan ia diminta segera bertobat, kembali ke jalan lurus sesuai dengan ajaran murni yang penafsirannya telah disepakati bersama.

Reaksi orang-orang bermacam-macam. Ada yang mendukung dengan alasan hak asasi manusia, ada juga yang menolak. Seorang intelektual bahkan ada yang membelanya dengan mengatakan bahwa banyak pengikut Laila yang berubah menjadi baik. “Bukankah itu tidak melanggar prinsip-prinsip agama manapun?” Kata intelektual itu. Ia lalu melanjutkan kata-katanya, “biarkan mereka menyembah Sang Pencipta dengan cara mereka sendiri, selama itu tidak merugikan siapa pun. Semua manusia yang baik dan menyembah Tuhan pasti akan masuk surga. Terserah bagaimana mereka melakukannya.”

Namun, jumlah orang yang mencelanya jauh lebih banyak. Bahkan akhirnya ada sekelompok orang yang tidak sabaran mendatangi Laila dan pengikutnya saat mereka sedang berkumpul. Orang-orang yang tidak setuju itu membakar rumah Laila sambil meneriakkan ucapan Tuhan Maha Besar, seolah-olah Tuhan merestui tindakan mereka. Untung kedua orang tua Laila telah lebih dahulu mengungsi ke kampung halaman. Mereka juga takut dan bingung dengan perubahan pada diri anaknya dan reaksi orang-orang.

Tapi Laila tidak pernah patah semangat. Ia selalu menghibur pengikutnya dengan menceritakan kisah nabi-nabi dan orang-orang suci yang selalu mendapat halangan dan rintangan saat menyebarkan kebenaran di muka bumi.

“Kita harus maklum.” Kata Laila. “Mereka adalah orang-orang bodoh. Orang-orang yang tak mampu melihat kebenaran karena hati mereka tertutup oleh debu-debu duniawi. Kalau saja mereka mau melihat dengan mata batin? Sayang, mereka hanya mampu melihat wujud kasar.”

Laila berkata sambil menggendong anaknya yang tertidur. Kini kemana-mana ia membawa anak itu yang katanya akan dipersiapkan untuk menjadi juru selamat baru. Selanjutnya ia mengatakan bahwa anak itu akan dibimbing oleh Jibril untuk membawa generasi berikutnya menuju kekekalan yang indah nan abadi.

Melihat kemarahan dari banyak orang dan selalu dikejar-kejar, pelan-pelan Laila mulai ditinggalkan oleh pengikutnya. Bahkan salah seorang bersaksi di televisi bahwa ia seperti tersihir oleh kharisma Laila. Sehingga ia menganggap Laila benar-benar sebagai penyelamat manusia dan utusan Tuhan yang hadir di akhir zaman.

Dari ratusan akhirnya kini pengikut Laila hanya tinggal puluhan.

“Inilah saatnya.” Kata Laila.

“Saatnya untuk apa guru?”

“Saatnya untuk menemui Dia.”

“Sang Pencipta?”

“Ya.” Kata Laila. Suaranya sangat tenang. “Kalianlah orang-orang yang terpilih. Kalian akan bahagia selama-lamanya. Nanti akan datang lagi generasi baru yang akan dipimpin oleh anak saya. Lalu anak saya akan melahirkan seorang anak lagi. Begitu seterusnya. Karena di setiap generasi akan muncul juru selamat dan pembimbing baru. Merekalah yang akan menjaga rambu-rambu, tapi sayangnya kebanyakan manusia tidak mengerti. Padahal tanda-tandanya bertebaran dimana-mana. Seluruh kitab suci mencatatnya.”

Laila lalu meninggalkan anaknya yang tertidur di sebuah pondok kecil beberapa ratus meter dari pondok mereka yang terpencil. Di pondok itu ia dan belasan pengikutnya telah membungkus diri dengan pakaian serba putih. Lelaki dan perempuan telah mencukur seluruh rambut yang tumbuh di tubuh mereka.

“Jangan lupa minum air putih.” Perintah Laila. “Air itu akan membersihkan sisa-sisa kotoran yang masih ada di tubuh kalian.” Mereka mengikuti apa pun perintah Laila.

Laila dan pengikutnya membentuk lingkaran. Tangan mereka saling mengapit. Lalu terdengar suara-suara senada. Tak lama kemudian mereka kelihatan berada di ambang ketidaksadaran. Mereka terus bergerak. Sampai akhirnya lingkaran itu berputar bagai sebuah roda.

Tiba-tiba muncul titik-titik api yang lambat laun melahap pondok itu. Mereka tak peduli. Mereka terus saja berputar sambil melantunkan syair-syair yang menyayat. Syair-syair penjemputan guna menyongsong keabadian yang tenteram di dunia lain. Dunia kekal yang bebas dari hujatan dan belitan nafsu.

Kini mereka telah terkepung api. Suara-suara itu terus melengking, lalu perlahan melemah, sampai akhirnya tidak terdengar sama sekali. Kini yang tinggal hanya batang-batang kayu dan sisa-sisa tubuh berwarna hitam dan beraroma sate.

Tempat yang jauh dari pemukiman itu kini tak lagi menyuarakan apa-apa, tidak juga nyanyian binatang. Beberapa jam lagi matahari akan muncul. Tapi di sebuah pondok kecil ada cahaya keemasan. Seorang anak kecil telah membuka matanya. Ia tidak menangis. Mata itu bersinar keemasan. Mirip sekali dengan mata Laila.