Oleh Fitrawan Umar (makassarnolkm.com)
Sebagai seorang guru,
penulis “Lontara Rindu” memang tepat menjadikan novelnya sebagai bahan
pembelajaran, novel penggugah hati, pembentuk karakter, dan pengasah jiwa.
Namun, dalam kritik kesusasteraan, perlu aspek lain dalam menilai karya S.
Gegge Mappangewa, putra kelahiran Sidrap, Sulawesi Selatan ini.
Dalam kerangka
mengangkat setting dan warna lokal, “Lontara Rindu” memang patut diapresiasi.
Apresiasi dalam kerangka demikian menjadi penting. Sebab, dalam mengarungi arus
kehidupan yang penuh paradoks serupa sekarang ini, peneguhan eksistensi begitu
terasa dibutuhkan. Kebanggaan terhadap identitas diri dalam pembicaraan positif
memang perlu mendapat tempat. Ihwal ini mengingat mental inferior telah
menyebar, bersitegang dengan derasnya rasa kagum menjadi identitas lain di luar
dari diri seseorang. Tabiatnya memang seperti demikian, ‘kacung’ kebudayaan
akan tercocok-hidung bila berhadapan dengan identitas superior.
S. Gegge Mappangewa,
sebagai penulis “Lontara Rindu”, memilih untuk tidak menjadi ‘kacung
kebudayaan’ dengan mencoba untuk melangitkan sekaligus membumikan sesuatu yang
tak lepas dari jati dirinya. Gegge hendak memperkenankan dan memperkenalkan
identitas bugis, identitas kampung kelahirannya Sidrap, dan pula eksistensi
Tolotang. Meski secara bersamaan, ia pula memberi tafsiran-tafsiran baru
tentang rindu.
Nah, dua kalimat
terakhir di atas yang hendak saya ketengahkan dalam tulisan ini. Untuk
memudahkan, anggap saja identitas yang kita bicarakan mewakili ‘lokalitas’ dan
tafsiran-tafsiran rindu mewakili ‘cerita’. Untuk sementara, kita kesampingkan
pendapat para kritikus sastra bahwa lokalitas sesungguhnya tidak hanya
berbicara tentang setting dan warna-warna kedaerahan.
Antara ‘lokalitas’
dan ‘cerita’ dalam novel “Lontara Rindu” saling bersitegang, kedua-duanya
tarik-menarik untuk menentukan di mana “Lontara Rindu” akan mendapat tempat.
Meski terdapat anggapan ‘lokalitas’ dan ‘cerita’ tidak dapat dipisahkan, hemat
saya, ada perbedaan di sana. Gegge hendak ‘menjual’ yang mana? Pertanyaan ini
juga bisa menjawab mengapa “Lontara Rindu” telah menjadi Buku Best Seller di
pasaran.
Tentang ‘lokalitas’,
boleh jadi memang Gegge tidak ingin terjerumus dalam ‘kacung’ kebudayaan.
Namun, sepertinya Gegge sedikit ragu untuk lepas dari ‘kacung’ pasar. Sekarang
ini, sudah menjadi tren pasar, penulis-penulis novel kebut-kebutan untuk
mengangkat hal-hal berbau kedaerahan. Novel serupa demikian cukup menjual
–mungkin karena mengandung keunikan dan rasa penasaran para konsumen novel.
Apatah lagi jika novel lahir dari sebuah sayembara bertingkat nasional, maka
mengusung nuansa, warna, dan cita rasa lokal adalah sesuatu yang amat seksi.
Ini masih sebatas kecurigaan.
Akan tetapi,
kenarsisan dan kegenitan novel “Lontara Rindu” dalam menghamparkan unsur lokal
juga sangat terasa. Hal ini ingin membantah dugaan awal dan kecurigaan di atas.
Meski sekaligus di sinilah kelemahan dalam novel “Lontara Rindu”.
Kegenitan itu bisa
diraba melalui teks-teks yang dipaksakan keberadaannya. Gegge dalam beberapa
kasus amat kental berusaha ‘membugiskan’ sesuatu dalam novel ini. Misalkan,
“Nisan-nisan di pekuburan kampung Bugis menggunakan ukiran batu gunung
berbentuk lonjong jika jenazahnya laki-laki dan bentuk pipih jika jenazahnya
perempuan” (hal: 163). Pernyataan ini bermaksud untuk menegaskan bahwa pemilik
sah tradisi nisan tersebut adalah orang Bugis. Padahal, bukankah tradisi itu
juga lumrah di kalangan suku lain selain Bugis? Pada halaman 221 juga terdapat
pernyataan demikian, “Menurut kepercayaan orang Bugis, minyak tokek jika
disentuhkan ke baju atau ke kulit lawan jenis, maka lawan jenis itu akan
tergila-gila….” Padahal, bukankah kepercayaan itu juga ada di kalangan suku
lain selain Bugis? Di sinilah kenarsisan dan kegenitan yang dimaksud dalam
novel “Lontara Rindu”.
Tentang ‘cerita’,
Gegge memang dalam banyak tulisannya selain “Lontara Rindu” terlihat amat lihai
berimajinasi. Maka, wajarlah dari sisi penceritaan, “Lontara Rindu” sukses
membuat pembaca terpana. Pencarian Vito akan ayah dan Vino terasa sangat mengalir,
menarik, dan memaksa pembaca untuk tidak beranjak sebelum mengetahui akhir dari
pencarian itu. Gegge berhasil menghadirkan suasana kerinduan Vito yang mampu
merambat ke hati pembaca, dan turut berduka atas kerinduan itu. Pun, Gegge
meramu sebuah pertemuan Vito dengan ayah dan Vino secara apik dan tak terduga.
Akhir cerita yang amat dramatis.
Akan tetapi, sayang
sekali beberapa logika penceritaan sedikit mengganggu pembaca. Perubahan
karakter Vito yang amat drastis sepertinya sulit diterima. Vito yang pada
awal-awal bab digambarkan periang, pandai mengarang cerita (cerewet), humoris,
pemalas, secara tiba-tiba berubah total sejak menghukumi dirinya sendiri, dan
termasuk berubah sebab kerinduan. Karakter Vito, pada awal-awal bab, amat
sangat tidak mempengaruhi keutuhan cerita, melainkan hanya berupaya untuk
menghadirkan kelucuan dalam novel ini. Tentu saja alasan itu mengorbankan
banyak hal.
Penampilan-penampilan
dialog “Lontara Rindu” juga seolah terpisah dari setting yang digambarkan dan
karakter tokoh yang diceritakan. Dalam banyak hal, sulit rasanya dibayangkan
mengapa ada perkataan-perkataan yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh yang mendiami
setting di Pakka Salo, desa pebukitan, yang belum tersentuh listrik. Begitu
pula, sulit rasanya dibayangkan mengapa ada perkataan-perkataan yang
dikeluarkan oleh anak-anak SMP yang pengetahuannya masih sangat terbatas.
Kembali ke pertanyaan
semula, Gegge hendak ‘menjual’ yang mana? ‘Lokalitas’ ataukah ‘cerita’? Untuk
menjawab itu, sisi genuitas perlu dicermati. Benny Arnas, secara sederhana,
menyebut genuitas adalah sesuatu yang tidak dimiliki orang lain, di tempat
lain. Hemat saya, Gegge berhasil mengeksplorasi eksistensiTolotang sehingga
‘lokalitas’ dan ‘cerita’ menjadi satu kesatuan yang unik.Tolotang adalah genuitas
dari novel Gegge.
Meski (sekali lagi)
kegenitan novel “Lontara Rindu” yang berkeringat untuk ‘membugiskan’ sesuatu
cukup membuat novel ini terasa kurang sempurna. Meski (sekali lagi) terdapat
logika cerita yang kurang bisa diterima. Meski demikian, novel ini amat
mencerahkan, membuka wawasan dan kewaspadaan.
Yogyakarta, 2012
Judul: Lontara Rindu
Penulis: S. Gegge
Mappangewa
Penerbit: Republika
Halaman: viii + 342 Halaman
Cetakan: Pertama,
2012
Kegenitan Novel "Lontara Rindu"
4/
5
Oleh
galerikaryaflp