Oleh Benny Arnas (Lampung
Post, Minggu, 28 Juli 2013)
gramedia.tumblr.com |
SAYA merampungkan novel Jurai (GPU, Maret 2013) dalam sekali
pembacaan. Guntur Alam berkisah dengan lancar. Gaya dan bahasa penceritaannya,
walaupun tidak sekuat pada cerpen-cerpennya, masih berkarakter. Tanpa
mengurangi kebahagiaan yang mengerubungi saya usai membacanya, saya merasa
dejavu dengan motif ceritanya.
Entah bagaimana, bakda kesuksesan
tetralogi Laskar Pelangi yang
(katanya?) merupakan novelisasi kisah hidup penulisnya, saya selalu khawatir
membaca novel-novel laris. Saya khawatir akan menemukan Laskar Pelangi dalam
bahasa dan karakter yang berbeda. Kekhawatiran saya cukup beralasan. Saya kerap
(untuk tidak mengatakan ?selalu?) menemukan motif cerita yang sama?kemiskinan,
kesulitan mengakses pendidikan, kisah cinta sebagai plot sekunder, dan berakhir
dengan kesuksesan?dalam beberapa novel laris setelah Laskar Pelangi.
Saya yakin, Laskar Pelangi bukan novel pertama yang mengolah/menjual
motif/produk yang sama, tapi kesuksesannya di pasaran, mau tidak mau, diakui
atau tidak, telah "menyulut" penulis lain untuk mengolah/menjual hal
serupa. Baik dengan menovelisasi kisah hidup si penulis, tokoh terkenal, maupun
karakter rekaan. Kecenderungan inilah yang ditemukan?sekadar menyebut beberapa
judul -- pada trilogi Negeri 5 Menara
(Ahmad Fuadi), 9 Summer 10 Autumn dan
Ibuk (Iwan Setiawan), trilogi Sepatu Dahlan (Khrisna Pabichara), dan Anak Sejuta Bintang (Akmal Nasery
Basral).
Pada novel-novel yang tampaknya
bernasib baik di pasaran tersebut, kekhawatiran saya selalu terbukti.
Kekhawatiran yang tidak semestinya terjadi (tentu saja karena ia sangat
subjektif). Saya selalu gagal menutup telinga dari gelombang persuasif yang
meneriakkan kelebihan novel-novel yang membuat perasaan kecewa, cemburu, dan
bangga bersitabrak dalam pikiran: kecewa karena lagi-lagi saya menemukan motif
ala Laskar Pelangi di sana, cemburu
dengan keberhasilan karya-karya itu menggaet hati pembaca, dan bangga karena
masih banyak orang yang membeli buku.
Adalah terlalu naif apabila saya
tidak mampu mencungkil hikmah dari kenyataan itu: bahwa sebagian (besar) para
pembaca (pembeli) buku Indonesia saat ini menyukai cerita yang seperti itu.
Salah? Tentu saja tidak. Namun, saya bukan bagian mainstream pembaca seperti
itu. Celakanya lagi, saya yakin selera bacaan saya tidak buruk.
Singkat risalah, saya ingin membaca
buku (novel) yang menyuguhkan tema utama yang lain, yang tidak mainstream, yang
tidak stereotipikal Laskar Pelangi
tapi mendongak secara kualitas. Memang, novel-novel semacam itu masih bisa saya
temui walaupun tidak banyak dan biasanya kurang laris, tapi yang selalu
berhasil menggoda saya justru novel-novel mainstream. Ah, ini memang salah
(selera) saya!
Ketika hendak membaca Jurai, saya berdoa semoga novel setebal
298 halaman itu mampu menyuguhkan sesuatu yang lain dari "para
pendahulunya?. Tentu keinginan ini bukan semata karena saya dan Guntur Alam
sama-sama lahir di Sumatera Selatan, melainkan karena cerpen-cerpennya di
pelbagai surat kabar menyuguhkan kecerlangannya dalam menggarap tema yang tidak
mainstream dengan bahasa yang berkarakter.
Jurai
menjadikan tokoh Emak, seorang janda empat anak, sebagai pusara cerita. Mata
dan perasaan Catuk, anak lelaki yang tengah duduk di kelas lima SD yang
merupakan anak bungsu Emak, menjadi penceritanya. Emak berjuang menyekolahkan
anak-anaknya agar mereka tidak meradang sepertinya; dikelabui sang suami sebab
ia tak bisa membaca. Ini bukan perkara mudah karena Emak adalah seorang janda
yang bekerja seorang diri sebagai tukang sadap karet sebelum kemudian menjadi
penjual sayur antarkampung, memiliki penghasilan pas-pasan. Belum lagi adat
(Muara Enim, Sumsel) kala itu yang menabukan anak perempuan sekolah tinggi (Dan
Emak memiliki tiga anak perempuan!).
Lalu tiba-tiba déjà vu itu menghampiri saya:
(Selain Emak) Catuk adalah tokoh
utama novel yang hidup berkekurangan, bersekolah dengan sepatu butut, menjalin
cinta monyet dengan siswi dari SD lain yang bernama Dewi, hingga akhirnya Emak
mampu ?memenangkan? pertarungan demi harga diri dan martabat keluarganya. O ya,
Catuk memiliki beberapa teman dekat di sekolah, Catuk juga tumbuh dalam kultur
Melayu yang kuat, dan ? o o, tiba-tiba saya kembali membuka halaman awal: Jurai
dipersembahkan Guntur Alam untuk tiga kakak perempuannya yang ternyata memiliki
kesamaan nama dengan ketiga kakak perempuan Catuk. Saya tidak suka dengan
kebetulan. Oleh karena itu, saya pun memaknai kesamaan nama-nama itu bukan
sebagai kebetulan. Implikasinya: saya meyakini bahwa, sebagian besar kisah
dalam Jurai adalah novelisasi kisah hidup penulisnya. Catuk adalah Guntur Alam!
Gunung es kebahagiaan saya perlahan
mencair. Tiba-tiba saya teringat Andrea Hirata. Teringat Laskar Pelangi.
Judul : Jurai, Kisah Anak-Anak Emak di
Setapak Impian
Penulis : Guntur Alam
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Maret 2013
Jml. Hlm. : 306 halaman
ISBN : 978-979-22-9338-8
Stereotipikal Laskar Pelangi
4/
5
Oleh
Denny Prabowo