Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Kamis, 19 Juli 2012

Kuncup Terakhir

Oleh Senja Tria (Radar Tegal 19 Juli 2012)

julielomoe.wordpress.com

Semua berawal dari hilangnya kesempatan emas terakhirku.  Disaat aku tak dapat mengungkapkan itu.

Aku gundah.
Aku terikat yang di sergap paksa amat kuat sekali.
Ketika telah cukup ku berupaya.
Ketika telah cukup ku mengingat setiap bahasa, kata, kalimat.
Ketika telah cukup ku membuka mata lebar-lebar.

Ketika telah cukup aku membentengi diriku untuk tetap berdiri di atas kakiku berberpijak. Sekarang kala pengorbananku diperhitungkan, memberi seluruh jawabanpun tak akan pernah terbayar lunas.
Ujian essay lulus. Ujian pilihan ganda juga lulus.
Ujian kelulusan SMP telah pada akhirnya hasil itu diumumkan. Satu per satu teman-teman ku membuka isi setiap amplop masing-masing. Hanya tinggal beberapa siswa yang enggan membukanya. Karena memang tak ingin. Sampai akhirnya giliranku tiba untuk membuka amplop bertuliskan “TIDAK LULUS”.
Leny, Iin, dan semuanya berlaku yang sama. Mengintip dari polesan tinta hitam di balik lipatan warna putih bergaris tipis. Terbungkus dengan amplop putih yang berstempel tanda sahnya perolehan terakhir ketuk palu di umumkan dengan terpahat amat sangat jelas.
Dunia terasa gelap mendekap dingin, guntur dan kilat petirnya tak juga menitikkan guratan sendu di mataku. Teman-teman yang dari awal menatapku terdiam. Terlihat seperti tahu segalanya. Tapi kelu hingga di tenggorokan, hanya bisa menelan ludah. Ada yang ikut sedih. Ada juga yang senangnya bukan kepalang. Mereka yang memang dari awal menjalani permusuhan denganku.
 Seakan kekalahan melirik hina di balik kepayahanku memendam resah yang mendesah.
“Apa kubilang. Pinter kepinteren ya salah. Sok pinter yaa begitu, biar tahu rasa, kalah telak 1:0. Sayangnya kurang beruntung Han. Ck ck ck ...”, sela Iin begitu angkuhnya.
Sejak aku belajar untuk berpura-pura tak peduli seperti sekarang. Aku lupa bagaimana merengkuh bibir tersenyum ini, tapi hati menangis. Aku bisa apa?
“Han.. kamu itu pintar, ko bisa?”, mata Leny terbeliak kaget.
“Aku sedih. Dimana kegagalanku? Dimana letak ketidaksempurnaannya?”, batinku lirih sambil mengelus keharuan yang menyentak-nyentak di dada.
“Entahlah ..”, jawabku menggeleng lemah.
“Ayo Han cepat lah sedikit, lelet banget nih anak.”, protes Iin sewot
“Yaelah tunggu bentaran kenapa sih, sebentar lagi juga kelar. Pinjem tipe-x nya, gara-gara kesenggol dikit jadi salah melenceng.”,
“Nulis sih nulis, hobimu memang nulis, tapi tinggal copas kan juga lebih cepet. Buang-buang waktu aja.”, gerutu Iin dengan sangat kesal.
“Udah ahhh, ku mau balik sekarang. Capek juga punya temen kayak kamu, ihhh nyebelin ko tiap hari. Pinter kepinteran ya salah. Bodoh kebodohan ya menyusahkan.”, sindirnya keras sekali.
Aku sudah berjalan cepat. Tapi mereka bilang lariku lambat. Mereka tak perduli meski ini lubang dimana aku terjatuh.

Pecah...
Pecah hatiku di timpuk teman pendusta
Dan kau hanya tertawa, “Sialan ...!”
Lihatlah keping-keping hatiku berserakan disana
Lihatlah di telapak kakimu
Persahabatan itu! Kau injak di sana

Aku hanya kecewa, itu saja. Aku mencari diriku dengan kesendirian, berharap menjadi kuat tanpa bantuan orang lain. Aku hanya bisa membual dan berharap banyak. Aku si pemberani di kala sendiri ataukah aku yang terpojok malu ?
Memalukan!
Kesempatanku untuk ujian ulang pun terlaksana. Dimana teman-teman hanya mendapat nilai ujian yang pas-pas saja. Kini aku disini untuk mengejar ketertinggalan yang ku paksa berlari mengejar langkah mereka. Dengan cara apa saja. Merobek-robek kertas sekalipun! Menangisi masa lalu yang buatku tersungkur dibalik teman yang mencakarku dengan arak-arakan duri yang tak akan pernah tumpul.
Tiba-tiba sosok bayanganku mengapung. Ampasnya mengendap berwarna hitam pekat. Bagian atasnya yang paling jernih, di tengah kekacauan yang mereka buat. Pikiranku berbalik arah dengan menerkam kuat, dan dengan sisa genggaman yang masih mengepal. Ku bacakan dengan lantang suaraku. Menyingkirkan bangkai-bangkai sisa pembantaian dan kulempar keatas.
Cara ini yang membuat ku memahami waktu dan isinya. Aku belajar kembali sedari awal. Belajar lagi untuk kembali meraih ilmu yang memang sempat tertunda. Sisa kertas yang kurobek tak ayal menjadi bulan-bulanan korban keganasanku. Membalik-balikkan halaman buku, kertas-kertas yang berantakan. Kamar yang hanya semalam, dibanjiri kertas-kertas berhamburan.
Tapi toh itu berhasil. Aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Sehingga di terima di salah satu SMA unggulan di kota. Ketika teman yang lain hanya bisa di terima di sekolah yang bisa ku bilang kurang mendapat realisasi yang positif. Tapi untuk mereka ku bilang.
“Terima kasih telah mengajarkanku pahit getirnya permusuhan antara kalian dan aku. Terimakasih berkat kalian aku juga berjalan menuju keberhasilan yang berawal dari sebuah lubang berlembar duri kalian, lubang yang jeram dan menakutkanku. Dan terimakasih lemparan batu yang kalian genggam itu, menjadikanku membiru-biru di wajah, pipi, tangan dan kaki”.
Aku  tak paham betul mengapa seseorang yang sukses terus menilik di masa lalunya. Akhirnya aku mengerti. Karena memang mereka selalu melihat di lubang mana ia terjatuh. Untuk tidak terjatuh di lubang itu lagi. Memang tak ada yang ingin menoleh ke belakang. Saat diam, sendiri, takut, sepi, putus asa, tanpa teman, masalah yang tanpa ada solusi.
Sesekali, aku juga ingin menoleh kebelakang. Meski tak ada orang lain di belakangku. Karena banyak sekali orang yang tepat di depanku. Dengan tali kekangnya sendiri. Aku berhadap ke arah mana saja. Dengan sedih ataupun kecewa. Aku hanya menunduk dan diam bertemankan jiwa yang ada di pelupuk hatiku yang penuh energi hikmah. Dengan caraku sendiri menghadapi apa yang ada di ujung jalan sana, dengan aku sendiri yang berjalan di atasnya.
“Di depan kawan lama. Di depan wanita yang baru ku kenal. Ataupun di depan lelaki yang ku kenal. Dimataku semua sama saja. Baiknya memang tak perlu di kawatirkan”, seperti ngilu aku menambahkan demikian. Tak ada bedanya.
Sepanjang tak terjebak pada perangkap pendusta dan golongan munafik. Golongan orang yang seenaknya sendiri. Mengelupas paksa kulit yang melekat.
“Tapi biarpun begitu. Kemanisan seorang wanita memang sukar sekali dilupakan”, ungkap teman lelaki lama yang mengenalku.
“Sakura No Hana ”, itu nama yang biasa ku pakai di komunitas cyber.
“Teman-teman sebayaku dulu mungkin baik-baik saja. Banyak diantara mereka yang sedang kasmaran”, pengakuannya sih begitu. Esok ataukah nanti, bersama malam ku melupakan semuanya, hingga yang terserak sekalipun. Keadaankku yang beringsut membaik, bagai papan hitam tulisan, ku melupakan semuanya.
“Ya, sedang musim kasmaran rupanya. Ada yang masih mencari keberuntungan, ada juga yang memang sudah terjalin Romansa Cyber di komunitas Blogging, Facebook, Twitter atau yang lain. Aku tak pernah tahu. Ketika romansa SMP ku berakhir sangat mendera menderu di siang kelabu dan sumpeknya kelas dan cukup berakhir memuaskan. Hidup terus berlanjut seperti kataku di awal. Apa yang ada di depan, samping, dan di belakang itu membuatku bersyukur pada Sang Pemilik Hati, pada Sang Membolak balikkan Hati. Alhamdulillah”
Mataku yang memang tak bisa di ajak untuk berakrobat jingkrak sana, jingkrak sini. Pipiku merona oleh karena sang adam yang memuji. Jejak romantika ku berawal disini.
Aku mengeluh...,  oleh karena menghempasnya organ hatiku di pulas warna merah pelangi yang melayang menutupi surya hingga awan mendungnya pun tak lagi menampakkan kelabu di wajah ku yang semula sendu. Hempasannya sungguh mendebur.  Tak mau terpejam. Tak mau beranjak dari tempat semula ia berdiri. Dan tak mau beranjak. Itu saja. Titik.
Tapi aku senang, mekar di saat yang lain sedang kuncup. Meski sendirian di dedaunan pohon yang sama, tapi merekahnya begitu indah dan mempesonakan mata setiap orang yang memandang. Menjadikanku bunga terindah satu-satunya.
Itulah aku...
Ini klise memang. The show must go on. Segalanya sudah berakhir dengan baik.
“Happily ever after”


Di Pojok Sekolah

Related Posts

Kuncup Terakhir
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.