Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 19 Otober 2014)
Pukul sepuluh malam Jumat kemarin, dering ponselku adalah alarm yang kuatur waktu menyalanya. Aku tahu bahwa kau tidak pernah peduli dengan nada dering yang kupakai sebab mengurus dua anak kita yang masih balita jauh lebih menyita perhatianmu. Ketika kukatakan bahwa aku akan menemui seorang kawan lama di utara kota, kau sedikit keberatan.
Kau sempat membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada pembunuhan korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar keberatanmu. Aku pun menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin perampok atau penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang yang layak dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan berseloroh, kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan lengang yang bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku karena kau ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah mengantarku menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang kalau hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan bahagianya aku memilikimu.
Entah kau menyimak kata-kataku atau tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua botol-dot berisi susu formula cair.
Ah, kau pasti lelah sekali, istriku.
Aku tahu, mengurus dua anak bukanlah perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa mengarangsangat melelahkan ketika ide takkunjung berhasil kutangkap, namun tentu sajaitu belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kaujabani. Ya, aku sempat beberapa kali berniat membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu hari aku mencoba mengambil alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat kota cukup lama, dan hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.
Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu ketika aku selalu memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan apalagi istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek, kesal, ataumarah. Tidak!
Kau sempat membisu hampir tiga hari sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual mobil pemberian orangtuaku demi membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu, Sayang: memilikimobil adalah prestise tersendiri bagi pengarang kondang sepertiku—terlepas apakah kita hanya makan nasi telur-kecap setiap harinya dan telah mengganti susu formula anak kita dengan merk yang paling murah harganya.
Ah, ekspresimu ketika tak bersetuju memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.
Seperti itu pula yang terjadi malam itu.
Termasuk ketika kutanyakan perihal makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui Ilyas, begitu aku biasa menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk kedua kalinya, seperti merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau sebaiknya aku tidak pulang kalau tidak membawa rumah baru.
Aku tahu kalau kau muak dengan sikap empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan rumah yang dihadiahkan suami mereka,atau bisa-bisa saja kau bercanda … tapi jangan begitu, Sayang. Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku juga sedang berusaha keras untuk menyumpal mulut mereka dengan rumah kita sendiri. Ah,harusnya aku memaklumi sikapmu sebab mungkin saja kau merasa muak dengan alasan-alasanku karena saban keluar malam—terutama dua pekan belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas, waktu ketika kau sudah terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan botol dot susu formula yang isi nyatak lagi penuh.
Pagi ini, kau mengutarakan pertanyaan yang hampir saja mencabut jantungku dari tempatnya berdetak. Aku pun bercerita dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan lengkap bahwa “aku bercerita dengan jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau aku memangs uamimu yang baik, bukan laki-laki brengsek yang suka main perempuan seperti ketakutan yang tak pernah kauutarakan itu.
Kau menyimak ceritaku dengan saksama. Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang membesarkan bolamata. Kadang mengangguk-angguk. Kadang hanya menatap tajam. Semua bahasa tubuh itu kautunjukkan tanpa suara.
Usai menyambut telepon dari Ilyas, kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang tak lama setelah menemuinya. Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja karena aku hapal bahasa tubuhmu kalau tak merestui tindakanku—bukan karena kerepotanmu mengurus dua anak kita yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil kunci mobil dan melangkah keluar, menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya, kau masih sempat mencangking Si Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan mesin mobil sebelum memutar setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama komplek.
Di kampus, aku dan Ilyas sangat dekat karena kami sama-sama tergabung di dalam tim nasyid, semacam grup vokal lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak berpisah sebelas tahun yang lalu, terlebih setelah kami menikah lima tahun yang lalu—bukan berarti kami naik pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak pernah saling kontak. Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat tanggal lahirnya, Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya kami bisa berbagi kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di Facebook, namun entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga benar-benar—bukan hanya menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau mengasyikan atau melenakan. Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama mereka acap membuatku ‘lupa diri’.
O ya istriku, aku akhirnya menemui Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari rumah. Sebagai teman dekat yang lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami berpelukan erat untuk beberapa saat. Di mata kami, ada kerinduan dan kehangatan yang membara. Aku mengajak Ilyas naik ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus yang ditumpanginya sedang mogok dan si sopir sudah memberitahu penumpangnya bahwa perbaikan akan memakan waktu paling cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafef avoritku yang buka sampai larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak hal.
Tentang keluarga, pekerjaan, pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat bersemangat hingga membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk mengurangi volume suara dan tawa yang meledak semaunya.
O ya Sayang, sebenarnya aku menawari Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia menolak. Aku baru tahu kalau dia baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu. Dengan air muka sedih Ilyas mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun memakluminya.Ya, dapat kupahami bagaimana perasaan seorang melankolik seperti Ilyas bila melihat kau yang begitu menyayangiku dan dua anak kita yang lucu-lucu. Ah Sayangku, kalau istri Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan mengaruniai mereka seorang bayi pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita yang bersabar menimang buah hati di tahun kedua pernikahan.
Ah sudahlah, aku harap kau bisa mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.
O ya, kau tahu bukan, kalau malam itu aku pulang pukul setengah dua belas. Busnya baru selesai diperbaiki pukul sebelas. Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba di rumah setengah jam berikutnya, melainkan karena aku berkelahi dengan seorang penjambret yang hendak merampas tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya selamat, tapi tangan kananku terluka karena menangkis pisau yang diarahkannya kepadaku. Ah,untung saja banyak orang yang datang hingga perampok itu keburu kabur.
Usai mengantar Ilyas ke bangku bus, aku langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku nyetirngebut, Sayang.
Sesampainya di rumah, setelah membuka pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung dompetkunci mobil, sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau dan dua anak kita sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di atasperutmu dan botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut ujung kompeng dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau,ya, kau masih terlelap dengan mulut yang setengah menganga.
Kau masih ingat, bukan, kalau aku mematikan lampu beberapa saat sebelum memelukmu dan membisikkan sesuatu yang meremangkan bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah kekamar sebelah. Di sana, kita bertarung hebat dengan bersenjatakan gairah. Kitamengakhiri permainan satu jam berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggilkita. Ia pasti merengek karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.
Kau tersenyum manis sekali malam itu. Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena pertarungan sengit yang memberi kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena aku mengatakan bahwa esok kita akan membeli rumah baru di perumahan elit di dekat gerbang kota. Kau langsung memelukku dan kita bertarung lagi.
Istriku … jangan tersipu malu seperti itu.
Maafkanlah kalau ceritaku jadi ngelantur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalaukita berbuat baik pada orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar kita memiliki rumah sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor yang sukses di Jakarta, dan perumahan elit yang hangat diberitakan di koran-koran lokal itu ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar ceritaku sebagai seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumahtangga, entah dia sedang berulangtahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah ingat tanggal lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa persahabatannya yang begitu tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau juga nyawa (sepertinya ini yang paling mungkin), ia memberi kita salah saturumah di Blok D.
Nah, kau sudah tahu cerita yang sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau bertanya tentang tangan kananku yang terluka.
Kau tersipu malu.
Ya, bagaimana mungkin malam tadi kau tak melihat perban di salah satu tangan suamimu. Kau benar-benar bersemangat kalau lampu sudah dipadamkan, Sayang.
Kau tersipu malu,lagi. Kau tentu sangat bangga memiliki suami sepertiku, bukan?
HAMPIR empat bulan kita menempati rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir kitatinggal di kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel, Ilyas, penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu ….Maafkan aku telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.
Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek, menyelinap di antara rumpun irish yangrimbun, sepuluh meter dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota. Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam itu juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untungsaja ini bukanlah kota yang ramai sehingga perkelahian kami tak menyedotperhatian. Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang melaju kencang.
Itu adalah operasiku yang terakhir setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu rumah mewah itusudah lebih dari cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam keadaan tenang,nyaman, dan damai—dan aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli dengan caracuci tangan dari tiga kali pembunuhan yang kulakukan!
Sebentar lagi,setelah anak-anak terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu meninggalkantempat tidur dan berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktuyang mustajab. Dan keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan terakhirku dilakukan pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang lalu. Aku sudah berniat untuk jujur kepadamu,Istriku, Aku tak tahu, apakah aku akan mampu atau justru mengarang kebohongan yang baru. Ah persetan! Yang penting aku sudah meniatkan pengakuan ini, demi ketenanganku, juga ketenangan keluargaku!
Kuhela napasbeberapa kali. Sudah terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah pengakuanku ini, Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau sudah berdiri di tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing teratasnya—sengaja kau—lepas dari lubang pengaitnya.
Kau memberi kode agar aku mematikan lampu. Kita bertarung lagi. Bukan satu jam, tapi sampai pagi. Sepanjang pertarungan, aku tak berhenti berharap kalau-kalau pada salah satu halaman di dalam kitab suci—agama mana pun itu—tertera: membahagiakan istri di malam Jumat, bukan hanya menuai pahala karena mengamalkan sunah rasul, tapi juga kuasa membasuh dosa besar.
Dosa pembunuhan.(*)
(southfront.org) |
Kau sempat membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada pembunuhan korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar keberatanmu. Aku pun menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin perampok atau penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang yang layak dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan berseloroh, kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan lengang yang bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku karena kau ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah mengantarku menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang kalau hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan bahagianya aku memilikimu.
Entah kau menyimak kata-kataku atau tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua botol-dot berisi susu formula cair.
Ah, kau pasti lelah sekali, istriku.
Aku tahu, mengurus dua anak bukanlah perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa mengarangsangat melelahkan ketika ide takkunjung berhasil kutangkap, namun tentu sajaitu belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kaujabani. Ya, aku sempat beberapa kali berniat membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu hari aku mencoba mengambil alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat kota cukup lama, dan hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.
Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu ketika aku selalu memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan apalagi istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek, kesal, ataumarah. Tidak!
Kau sempat membisu hampir tiga hari sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual mobil pemberian orangtuaku demi membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu, Sayang: memilikimobil adalah prestise tersendiri bagi pengarang kondang sepertiku—terlepas apakah kita hanya makan nasi telur-kecap setiap harinya dan telah mengganti susu formula anak kita dengan merk yang paling murah harganya.
Ah, ekspresimu ketika tak bersetuju memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.
Seperti itu pula yang terjadi malam itu.
Termasuk ketika kutanyakan perihal makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui Ilyas, begitu aku biasa menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk kedua kalinya, seperti merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau sebaiknya aku tidak pulang kalau tidak membawa rumah baru.
Aku tahu kalau kau muak dengan sikap empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan rumah yang dihadiahkan suami mereka,atau bisa-bisa saja kau bercanda … tapi jangan begitu, Sayang. Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku juga sedang berusaha keras untuk menyumpal mulut mereka dengan rumah kita sendiri. Ah,harusnya aku memaklumi sikapmu sebab mungkin saja kau merasa muak dengan alasan-alasanku karena saban keluar malam—terutama dua pekan belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas, waktu ketika kau sudah terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan botol dot susu formula yang isi nyatak lagi penuh.
Pagi ini, kau mengutarakan pertanyaan yang hampir saja mencabut jantungku dari tempatnya berdetak. Aku pun bercerita dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan lengkap bahwa “aku bercerita dengan jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau aku memangs uamimu yang baik, bukan laki-laki brengsek yang suka main perempuan seperti ketakutan yang tak pernah kauutarakan itu.
Kau menyimak ceritaku dengan saksama. Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang membesarkan bolamata. Kadang mengangguk-angguk. Kadang hanya menatap tajam. Semua bahasa tubuh itu kautunjukkan tanpa suara.
Usai menyambut telepon dari Ilyas, kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang tak lama setelah menemuinya. Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja karena aku hapal bahasa tubuhmu kalau tak merestui tindakanku—bukan karena kerepotanmu mengurus dua anak kita yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil kunci mobil dan melangkah keluar, menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya, kau masih sempat mencangking Si Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan mesin mobil sebelum memutar setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama komplek.
Di kampus, aku dan Ilyas sangat dekat karena kami sama-sama tergabung di dalam tim nasyid, semacam grup vokal lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak berpisah sebelas tahun yang lalu, terlebih setelah kami menikah lima tahun yang lalu—bukan berarti kami naik pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak pernah saling kontak. Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat tanggal lahirnya, Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya kami bisa berbagi kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di Facebook, namun entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga benar-benar—bukan hanya menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau mengasyikan atau melenakan. Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama mereka acap membuatku ‘lupa diri’.
O ya istriku, aku akhirnya menemui Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari rumah. Sebagai teman dekat yang lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami berpelukan erat untuk beberapa saat. Di mata kami, ada kerinduan dan kehangatan yang membara. Aku mengajak Ilyas naik ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus yang ditumpanginya sedang mogok dan si sopir sudah memberitahu penumpangnya bahwa perbaikan akan memakan waktu paling cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafef avoritku yang buka sampai larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak hal.
Tentang keluarga, pekerjaan, pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat bersemangat hingga membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk mengurangi volume suara dan tawa yang meledak semaunya.
O ya Sayang, sebenarnya aku menawari Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia menolak. Aku baru tahu kalau dia baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu. Dengan air muka sedih Ilyas mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun memakluminya.Ya, dapat kupahami bagaimana perasaan seorang melankolik seperti Ilyas bila melihat kau yang begitu menyayangiku dan dua anak kita yang lucu-lucu. Ah Sayangku, kalau istri Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan mengaruniai mereka seorang bayi pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita yang bersabar menimang buah hati di tahun kedua pernikahan.
Ah sudahlah, aku harap kau bisa mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.
O ya, kau tahu bukan, kalau malam itu aku pulang pukul setengah dua belas. Busnya baru selesai diperbaiki pukul sebelas. Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba di rumah setengah jam berikutnya, melainkan karena aku berkelahi dengan seorang penjambret yang hendak merampas tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya selamat, tapi tangan kananku terluka karena menangkis pisau yang diarahkannya kepadaku. Ah,untung saja banyak orang yang datang hingga perampok itu keburu kabur.
Usai mengantar Ilyas ke bangku bus, aku langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku nyetirngebut, Sayang.
Sesampainya di rumah, setelah membuka pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung dompetkunci mobil, sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau dan dua anak kita sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di atasperutmu dan botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut ujung kompeng dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau,ya, kau masih terlelap dengan mulut yang setengah menganga.
Kau masih ingat, bukan, kalau aku mematikan lampu beberapa saat sebelum memelukmu dan membisikkan sesuatu yang meremangkan bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah kekamar sebelah. Di sana, kita bertarung hebat dengan bersenjatakan gairah. Kitamengakhiri permainan satu jam berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggilkita. Ia pasti merengek karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.
Kau tersenyum manis sekali malam itu. Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena pertarungan sengit yang memberi kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena aku mengatakan bahwa esok kita akan membeli rumah baru di perumahan elit di dekat gerbang kota. Kau langsung memelukku dan kita bertarung lagi.
Istriku … jangan tersipu malu seperti itu.
Maafkanlah kalau ceritaku jadi ngelantur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalaukita berbuat baik pada orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar kita memiliki rumah sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor yang sukses di Jakarta, dan perumahan elit yang hangat diberitakan di koran-koran lokal itu ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar ceritaku sebagai seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumahtangga, entah dia sedang berulangtahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah ingat tanggal lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa persahabatannya yang begitu tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau juga nyawa (sepertinya ini yang paling mungkin), ia memberi kita salah saturumah di Blok D.
Nah, kau sudah tahu cerita yang sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau bertanya tentang tangan kananku yang terluka.
Kau tersipu malu.
Ya, bagaimana mungkin malam tadi kau tak melihat perban di salah satu tangan suamimu. Kau benar-benar bersemangat kalau lampu sudah dipadamkan, Sayang.
Kau tersipu malu,lagi. Kau tentu sangat bangga memiliki suami sepertiku, bukan?
HAMPIR empat bulan kita menempati rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir kitatinggal di kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel, Ilyas, penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu ….Maafkan aku telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.
Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek, menyelinap di antara rumpun irish yangrimbun, sepuluh meter dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota. Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam itu juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untungsaja ini bukanlah kota yang ramai sehingga perkelahian kami tak menyedotperhatian. Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang melaju kencang.
Itu adalah operasiku yang terakhir setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu rumah mewah itusudah lebih dari cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam keadaan tenang,nyaman, dan damai—dan aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli dengan caracuci tangan dari tiga kali pembunuhan yang kulakukan!
Sebentar lagi,setelah anak-anak terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu meninggalkantempat tidur dan berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktuyang mustajab. Dan keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan terakhirku dilakukan pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang lalu. Aku sudah berniat untuk jujur kepadamu,Istriku, Aku tak tahu, apakah aku akan mampu atau justru mengarang kebohongan yang baru. Ah persetan! Yang penting aku sudah meniatkan pengakuan ini, demi ketenanganku, juga ketenangan keluargaku!
Kuhela napasbeberapa kali. Sudah terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah pengakuanku ini, Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau sudah berdiri di tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing teratasnya—sengaja kau—lepas dari lubang pengaitnya.
Kau memberi kode agar aku mematikan lampu. Kita bertarung lagi. Bukan satu jam, tapi sampai pagi. Sepanjang pertarungan, aku tak berhenti berharap kalau-kalau pada salah satu halaman di dalam kitab suci—agama mana pun itu—tertera: membahagiakan istri di malam Jumat, bukan hanya menuai pahala karena mengamalkan sunah rasul, tapi juga kuasa membasuh dosa besar.
Dosa pembunuhan.(*)
Pertarungan
4/
5
Oleh
Denny Prabowo