Novel Sri Lestari (Femina, 2006)
<< cerita sebelumnya
Rapat produksi baru saja usai. Aku kembali ke ruang kerjaku. Menyalakan laptop dan mulai memeriksa e-mail. Kusempatkan membalas e-mail dari rekan-rekan kerja yang mampir di inbox. Menjelang tahun baru nanti aku akan sangat sibuk. Aku harus membuat variety show malam tahun baru. Rancangan produksi itu harus segera kuselesaikan. Mungkin, sebaiknya aku tak membuang waktu. Aku baru saja akan membuka beberapa file pekerjaan ketika telepon berdering.
“Bu Laras, ada telepon dari teman untuk Ibu di line satu. Mau diterima atau Ibu sedang sibuk?”
Aku mengerutkan kening. Tidak banyak teman yang tahu nomor kantorku sejak aku meninggalkan Indonesia dua tahun lalu.
“Dia menyebutkan namanya?”
“Iya, Bu. Namanya Bagas.”
Aku tersentak. Bagas. Dari mana dia tahu aku sudah kembali ke Indonesia? Bahkan, sebelum kepergianku ke Boston pun, kami tak pernah berkomunikasi. Aku benar-benar menjauh dari keluarga. Terakhir bertemu dia, saat wisuda sarjanaku enam tahun yang lalu.
“Bu, mau diterima teleponnya?”
Pertanyaan itu menyentak lamunanku yang sekejap. “Saya akan terima teleponnya. Terima kasih.”
Aku masih sempat berpikir, mengapa tidak menolak saja telepon dari Bagas. Tapi, sudah terlambat untuk menolaknya, karena suara berat itu sudah hinggap di telingaku.
“Hai, Laras. Kita bisa ketemu di kantin kantormu siang ini?” kata Bagas, tanpa kalimat pembukaan sekadar untuk berbasa-basi.
Aku memutar otak. Mencari-cari alasan untuk menghindari pertemuan dengan Bagas. Sebelum aku memberikan alasan, Bagas sudah mendahului bicara, dan aku tak bisa mengelaknya.
“Kutunggu, ya! Setengah jam lagi.”
“Tapi, aku….”
“Sibuk? Aku tahu seorang creative director pasti sangat sibuk. Tapi sesibuk apa pun, kau pasti makan siang ‘kan? Aku tidak meminta waktumu yang lain. Hanya bertemu sebentar, sambil makan siang!”
Aku memeriksa jam. Pukul 11.40. Mungkin tak ada salahnya aku menemui Bagas. Bagaimana pun kami pernah tinggal dalam satu keluarga.
“Baiklah, tunggu aku di kantin.”
Bagas menutup telepon. Aku mengurungkan niat membuka beberapa file pekerjaan. Setelah mematikan laptop dan merapikan diri, aku bergegas ke kantin. Kutolak ajakan teman-teman kantor untuk makan di luar area kantor.
Kantin masih sepi. Jam makan siang memang masih kurang sepuluh menit lagi. Aku mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan Bagas. Tak ada sosok yang kukenali enam tahun lalu. Hanya ada seorang pria jangkung, berambut semi gondrong, duduk di pojok, sambil menikmati segelas orange juice. Apakah Bagas belum datang? Atau, dia sedang mempermainkanku? Ah, yang kuingat, Bagas bukan tipe pria yang suka menyalahi janji, meski senang bergurau dan menggodaku.
“Laras! Aku di sini!”
Pria berambut semi gondrong itu melambaikan tangannya padaku. Siapa dia? Ragu-ragu aku mendekat. Setelah langkahku mencapai mejanya, pria itu meringis. Memamerkan sederet mutiara putih. Dengan senyum lebar yang cukup manis itu, aku segera mengenali bahwa ia adalah Bagas.
“Kau lupa padaku?” Bagas tertawa.
Aku tersenyum, sambil menelitinya. Ia banyak berubah. Rambutnya yang dulu dipotong sangat pendek sekarang dibiarkan gondrong. Kalau dulu penampilannya selalu rapi, kini ia mengenakan celana jins, kaos oblong, dan jaket. Di kursi sampingnya teronggok ransel hitam. Kuakui, dia tampak lebih keren ketimbang enam tahun lalu.
“Kau banyak berubah, Laras,” kata Bagas, seperti mengerti jalan pikiranku.
“Begitulah. Kau juga banyak berubah, penampilanmu sekarang ini sudah seperti seniman saja.”
Bagas tertawa, sambil menyodorkan daftar menu padaku. “Sekarang aku memang seniman, Laras. Itulah duniaku yang sesungguhnya. Hidup ini penuh pilihan. Aku memilih menjadi seniman, meskipun Mama sangat tak setuju.”
Mataku menekuri daftar menu, sambil menulis pesanan makan siang.
“Selesai kuliah, aku sempat bekerja di kantor Ayah. Sebenarnya, aku tak ingin mengecewakan Ayah dan Mama. Tapi, aku tak tahan bekerja di belakang meja. Akhirnya, aku memilih keluar dan menjadi penulis freelance. Selain menulis puisi, cerpen, novel, dan artikel, aku juga menulis skenario untuk televisi tempatmu bekerja ini. Terkadang, aku juga pentas teater bersama kawan-kawan ke berbagai kota.”
“Oh, ya?”
Bagas mengangguk, lalu menyebutkan sejumlah sinetron yang skenarionya dia tulis dan menempati rating tertinggi. Ada binar kebanggaan di matanya. Aku tersenyum mengingat Bagas sewaktu SMA. Ia banyak berbohong pada Tante Erna agar bisa ikut latihan teater di sekolah. Tak jarang cerpennya muncul di majalah-majalah remaja dan menggunakan namaku sebagai tokoh antagonisnya. Tante Erna tidak menyukai kegiatan Bagas. Ia tidak menginginkan anaknya jadi seniman. Apa kabar Tante Erna sekarang? Juga Ayah? Ada perih yang menggores dadaku.
“Kau tak ingin pulang barang sebentar, Ras?”
Aku pura-pura tak mendengar kata-kata Bagas. Dengan setengah hati, kusendok nasi soto yang baru saja dihidangkan pelayan. Sebenarnya, selera makanku sudah hilang sejak Bagas menelepon tadi. Tapi, aku tak mau mengorbankan lambungku untuk pertemuan ini.
“Tak pantas kau bersikap seperti ini, Ras. Kau masih punya keluarga. Coba ingat! Berapa lama kau meninggalkan kami? Sejak lulus SMA, kau tinggal di kos dan tak pernah pulang. Begitu pula setelah bekerja. Ketika berangkat ke Boston, kau juga tak pamit. Setelah kembali ke Indonesia, kau pun diam saja. Kau anggap apa kami ini?”
Tiba-tiba mukaku memanas. “Jadi, kau menemuiku hanya untuk bicara ini? Lagi pula, dari mana kau tahu semua perkembanganku?”
“Aku selalu tahu perkembanganmu, Ras.”
“Untuk apa kau memata-mataiku?”
Aku mendorong semangkuk nasi soto ke tengah meja. Selera makanku benar-benar hilang.
“Untuk Ayah. Beliau sangat merindukanmu.”
Mendadak darahku naik ke ubun-ubun. Aku tak suka melihat wajah Bagas. Dia datang hanya untuk menyalahkan, menuntut, dan menekanku. Dia tak berbeda dari Tante Erna, mamanya. Aku bangkit, mengeluarkan selembar uang, dan menaruhnya di atas meja. Bagas tercengang-cengang melihatku keluar kantin tanpa pamit padanya. Dia sungguh tidak mengerti apa yang telah terjadi sesungguhnya.
Dan, dia tidak akan pernah mengerti bahwa aku menahan air mata agar tak jatuh. Tanganku gemetar ketika memencet tombol lift. Biarlah Bagas menyimpan ketidakmengertiannya itu selama-lamanya dan rahasia tentang Ayah tetap menjadi rahasiaku bersama Tante Erna.
![]() |
www.femina.co.id |
Rapat produksi baru saja usai. Aku kembali ke ruang kerjaku. Menyalakan laptop dan mulai memeriksa e-mail. Kusempatkan membalas e-mail dari rekan-rekan kerja yang mampir di inbox. Menjelang tahun baru nanti aku akan sangat sibuk. Aku harus membuat variety show malam tahun baru. Rancangan produksi itu harus segera kuselesaikan. Mungkin, sebaiknya aku tak membuang waktu. Aku baru saja akan membuka beberapa file pekerjaan ketika telepon berdering.
“Bu Laras, ada telepon dari teman untuk Ibu di line satu. Mau diterima atau Ibu sedang sibuk?”
Aku mengerutkan kening. Tidak banyak teman yang tahu nomor kantorku sejak aku meninggalkan Indonesia dua tahun lalu.
“Dia menyebutkan namanya?”
“Iya, Bu. Namanya Bagas.”
Aku tersentak. Bagas. Dari mana dia tahu aku sudah kembali ke Indonesia? Bahkan, sebelum kepergianku ke Boston pun, kami tak pernah berkomunikasi. Aku benar-benar menjauh dari keluarga. Terakhir bertemu dia, saat wisuda sarjanaku enam tahun yang lalu.
“Bu, mau diterima teleponnya?”
Pertanyaan itu menyentak lamunanku yang sekejap. “Saya akan terima teleponnya. Terima kasih.”
Aku masih sempat berpikir, mengapa tidak menolak saja telepon dari Bagas. Tapi, sudah terlambat untuk menolaknya, karena suara berat itu sudah hinggap di telingaku.
“Hai, Laras. Kita bisa ketemu di kantin kantormu siang ini?” kata Bagas, tanpa kalimat pembukaan sekadar untuk berbasa-basi.
Aku memutar otak. Mencari-cari alasan untuk menghindari pertemuan dengan Bagas. Sebelum aku memberikan alasan, Bagas sudah mendahului bicara, dan aku tak bisa mengelaknya.
“Kutunggu, ya! Setengah jam lagi.”
“Tapi, aku….”
“Sibuk? Aku tahu seorang creative director pasti sangat sibuk. Tapi sesibuk apa pun, kau pasti makan siang ‘kan? Aku tidak meminta waktumu yang lain. Hanya bertemu sebentar, sambil makan siang!”
Aku memeriksa jam. Pukul 11.40. Mungkin tak ada salahnya aku menemui Bagas. Bagaimana pun kami pernah tinggal dalam satu keluarga.
“Baiklah, tunggu aku di kantin.”
Bagas menutup telepon. Aku mengurungkan niat membuka beberapa file pekerjaan. Setelah mematikan laptop dan merapikan diri, aku bergegas ke kantin. Kutolak ajakan teman-teman kantor untuk makan di luar area kantor.
Kantin masih sepi. Jam makan siang memang masih kurang sepuluh menit lagi. Aku mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan Bagas. Tak ada sosok yang kukenali enam tahun lalu. Hanya ada seorang pria jangkung, berambut semi gondrong, duduk di pojok, sambil menikmati segelas orange juice. Apakah Bagas belum datang? Atau, dia sedang mempermainkanku? Ah, yang kuingat, Bagas bukan tipe pria yang suka menyalahi janji, meski senang bergurau dan menggodaku.
“Laras! Aku di sini!”
Pria berambut semi gondrong itu melambaikan tangannya padaku. Siapa dia? Ragu-ragu aku mendekat. Setelah langkahku mencapai mejanya, pria itu meringis. Memamerkan sederet mutiara putih. Dengan senyum lebar yang cukup manis itu, aku segera mengenali bahwa ia adalah Bagas.
“Kau lupa padaku?” Bagas tertawa.
Aku tersenyum, sambil menelitinya. Ia banyak berubah. Rambutnya yang dulu dipotong sangat pendek sekarang dibiarkan gondrong. Kalau dulu penampilannya selalu rapi, kini ia mengenakan celana jins, kaos oblong, dan jaket. Di kursi sampingnya teronggok ransel hitam. Kuakui, dia tampak lebih keren ketimbang enam tahun lalu.
“Kau banyak berubah, Laras,” kata Bagas, seperti mengerti jalan pikiranku.
“Begitulah. Kau juga banyak berubah, penampilanmu sekarang ini sudah seperti seniman saja.”
Bagas tertawa, sambil menyodorkan daftar menu padaku. “Sekarang aku memang seniman, Laras. Itulah duniaku yang sesungguhnya. Hidup ini penuh pilihan. Aku memilih menjadi seniman, meskipun Mama sangat tak setuju.”
Mataku menekuri daftar menu, sambil menulis pesanan makan siang.
“Selesai kuliah, aku sempat bekerja di kantor Ayah. Sebenarnya, aku tak ingin mengecewakan Ayah dan Mama. Tapi, aku tak tahan bekerja di belakang meja. Akhirnya, aku memilih keluar dan menjadi penulis freelance. Selain menulis puisi, cerpen, novel, dan artikel, aku juga menulis skenario untuk televisi tempatmu bekerja ini. Terkadang, aku juga pentas teater bersama kawan-kawan ke berbagai kota.”
“Oh, ya?”
Bagas mengangguk, lalu menyebutkan sejumlah sinetron yang skenarionya dia tulis dan menempati rating tertinggi. Ada binar kebanggaan di matanya. Aku tersenyum mengingat Bagas sewaktu SMA. Ia banyak berbohong pada Tante Erna agar bisa ikut latihan teater di sekolah. Tak jarang cerpennya muncul di majalah-majalah remaja dan menggunakan namaku sebagai tokoh antagonisnya. Tante Erna tidak menyukai kegiatan Bagas. Ia tidak menginginkan anaknya jadi seniman. Apa kabar Tante Erna sekarang? Juga Ayah? Ada perih yang menggores dadaku.
“Kau tak ingin pulang barang sebentar, Ras?”
Aku pura-pura tak mendengar kata-kata Bagas. Dengan setengah hati, kusendok nasi soto yang baru saja dihidangkan pelayan. Sebenarnya, selera makanku sudah hilang sejak Bagas menelepon tadi. Tapi, aku tak mau mengorbankan lambungku untuk pertemuan ini.
“Tak pantas kau bersikap seperti ini, Ras. Kau masih punya keluarga. Coba ingat! Berapa lama kau meninggalkan kami? Sejak lulus SMA, kau tinggal di kos dan tak pernah pulang. Begitu pula setelah bekerja. Ketika berangkat ke Boston, kau juga tak pamit. Setelah kembali ke Indonesia, kau pun diam saja. Kau anggap apa kami ini?”
Tiba-tiba mukaku memanas. “Jadi, kau menemuiku hanya untuk bicara ini? Lagi pula, dari mana kau tahu semua perkembanganku?”
“Aku selalu tahu perkembanganmu, Ras.”
“Untuk apa kau memata-mataiku?”
Aku mendorong semangkuk nasi soto ke tengah meja. Selera makanku benar-benar hilang.
“Untuk Ayah. Beliau sangat merindukanmu.”
Mendadak darahku naik ke ubun-ubun. Aku tak suka melihat wajah Bagas. Dia datang hanya untuk menyalahkan, menuntut, dan menekanku. Dia tak berbeda dari Tante Erna, mamanya. Aku bangkit, mengeluarkan selembar uang, dan menaruhnya di atas meja. Bagas tercengang-cengang melihatku keluar kantin tanpa pamit padanya. Dia sungguh tidak mengerti apa yang telah terjadi sesungguhnya.
Dan, dia tidak akan pernah mengerti bahwa aku menahan air mata agar tak jatuh. Tanganku gemetar ketika memencet tombol lift. Biarlah Bagas menyimpan ketidakmengertiannya itu selama-lamanya dan rahasia tentang Ayah tetap menjadi rahasiaku bersama Tante Erna.
Ayah [2]
4/
5
Oleh
galerikaryaflp