Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Minggu, 15 Oktober 2006

Ayah [3]

Novel Sri Lestari (Femina, 2006)
www.femina.co.id
<< cerita sebelumnya



Aku memandangi mawar merah di vas. Kubelai kelopaknya yang segar. Harumnya menebar ke seluruh ruangan kamar. Rayan mengirimkannya lewat seorang pengantar bunga. Sabtu, 24 Desember. Hari ini aku ulang tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Rayan tak pernah alpa mengirimiku mawar merah segar pagi-pagi buta. Aku menyukai keromantisannya itu.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku berjalan ke pintu. Dan, terkejut melihat siapa yang datang. Bagas! Untuk apa dia datang ke sini? Rupanya, dia juga sudah tahu tempat tinggalku. Aku geram melihat wajahnya.

“Boleh aku masuk?”

Tak kujawab pertanyaan basa-basinya. Kubiarkan pintu terbuka dan dia mengekor langkahku masuk ke ruang tamu.

“Untuk apa kau ke sini?” tanyaku, sinis.

Kami duduk berhadapan di kursi ruang tamu. Bagas menurunkan ranselnya, lalu menatapku.

“Untuk minta maaf padamu.”

Aku mendengus. Membuang pandang dari matanya.

“Maafkan kalau kata-kataku di kantin dulu kasar padamu. Aku hanya….”

“Kau ke sini untuk membela diri?”

Bagas menggeleng, lalu mengeluarkan sesuatu dari ransel hitamnya.

“Selain meminta maaf, aku juga ingin mengucapkan selamat ulang tahun padamu,” katanya, sambil menyodorkan sebuah bungkusan yang terbungkus rapi. “Semoga kau menyukainya.”

Aku terdiam. Kubiarkan tangan Bagas tetap terulur.

“Laras, kau bisa membuangnya kalau tak suka. Tapi, terimalah dulu. Setidaknya usahaku membohongi satpam di depan dan tersesat sejak subuh untuk mencari apartemenmu ini tidak sia-sia.”

Dalam hati aku tertawa geli. Sejak dulu Bagas memang suka nekat dan sering berbuat konyol. Aku menerima bungkusan itu. Menimang-nimangnya sebentar, lalu membukanya perlahan. Sebuah novel tebal menyembul dari balik kardus kado. Aku terbela­lak sesaat, namun berusaha menyembunyikan kegembiraan di depan Bagas. Sudah lama aku mencari-cari novel sastra ini. Tapi, hasilnya nihil. Semua toko buku tidak memilikinya. Di internet pun tak ada. Dan, sekarang Bagas menghadiahkannya untukku. Ini kejutan luar biasa.

“Kau suka novel itu, ’kan?”

Aku mengangkat bahu. “Belum tahu.”

“Aku bisa melihat dari binar matamu. Kepekaan seorang seniman tak bisa dibohongi, Ras.” Bagas tersenyum. Seketika aku meletakkan novel itu di atas meja dan memandang Bagas.

“Maumu apa, sih, sebenarnya?”

“Aku mau minum. Boleh minta minum? Aku benar-benar haus setelah nyasar ke sana kemari. Angkutan ke sini susah, ya?”

“Kenapa tak membawa mobilmu?”

Bagas tertawa. “Mobil yang mana? Aku belum punya uang untuk membeli mobil. Mobil di rumah itu milik Ayah dan Mama. Jadi, aku tak akan membawanya untuk urusanku. Risiko pilihan terkadang memang berat. Tapi, aku menikmatinya. Nantilah, kalau sudah bisa menabung, aku akan membeli mobil mewah. Ha… ha… ha… harus kaya raya dulu, ya, untuk bisa beli mobil?”

Aku tidak ikut tertawa, tapi malah tercenung.

“Boleh minta minum, ’kan? Please….”

Mau tak mau aku menahan tawa mendengar kata-katanya yang meminta belas kasihan. Aku bangkit ke dapur untuk membuat minuman. Ketika sedang sibuk di dapur, telepon di ruang tamu berdering. Kulihat Bagas mengangkatnya, kemudian memberi tahu ada telepon untukku.

“Siapa yang tadi mengangkat telepon?” suara Rayan dari sebe­rang terdengar curiga.

Aku terdiam. Ketika kuceritakan pertemuanku dengan Bagas di kantin beberapa waktu lalu, Rayan kelihatan tak suka. Rayan memang cemburu pada Bagas sejak pertemuan mereka di wisuda sarjanaku enam tahun lalu. Menurut Rayan, perhatian Bagas terlalu berlebihan padaku. Aku selalu menampik pendapat Rayan bah­wa Bagas menyukaiku. Lagi pula, Bagas kan kakak tiriku. Tapi, Rayan tak pernah berhenti cemburu. Apa sebaiknya aku berbohong pada Rayan? Ah, kebohongan hanya akan menciptakan lebih banyak masalah.

“Laras! Laras?” suara Rayan membuyarkan pikiranku.

Aku mengangguk-angguk, tak menyadari bahwa Rayan tak bisa melihat anggukan kepalaku. Bagas menertawakan anggukanku yang konyol. Aku mengacungkan tinju padanya dan memberinya isyarat agar diam.

“Ya, Yan. Ada Bagas di sini. Baru saja datang.”

“Untuk apa dia di apartemenmu? Kenapa ponselmu dimatikan?”

“Emm, Bagas hanya berkunjung. Sudahlah, kau harus percaya padaku. Dia kakak tiriku, ‘kan? Ponselku baterainya habis.”

Rayan tak menjawab. Desah napasnya yang berat hinggap di telingaku.

“Oh, ya, bunga kirimanmu sudah sampai. Aku selalu menyu­kai harumnya mawar merah kirimanmu dan juga keromantisanmu.”

Kugaruk kepalaku yang tak gatal sambil meringis. Aku memang tak biasa mengucapkan kata-kata gombal seperti ini. Selama ini aku lebih suka menunjukkan penghargaanku pada Rayan lewat perhatian. Tapi, kata-kata gombal yang kuucapkan untuk pertama kalinya dalam hidupku ini ternyata manjur juga. Suara Rayan di seberang melunak.

“Selamat ulang tahun, Laras. Sayang sekali, aku tidak bisa kembali ke Jakarta sore ini. Mungkin baru besok, itu pun dengan penerbangan sore. Semoga kau tak kecewa merayakan ulang tahun sendirian.”

“Tidak masalah. Selesaikan dulu tugas-tugasmu itu. Yang penting, kau bawa oleh-oleh untukku.”

“Pasti!” Rayan tertawa.

Aku lega. “Oke, sampai besok, ya! Sekali lagi selamat ulang tahun!”

Setelah mengucapkan salam, Rayan memutuskan hubungan telepon. Aku kembali menghampiri Bagas, yang sudah mengambil sendiri minuman dari dapur dan membawanya ke ruang tamu.

“Sorry, aku haus sekali. Kamu meneleponnya lama sekali. Siapa, sih, yang nelpon? Rayan, ya?” Bagas meneguk lagi minumannya dengan semangat. Aku menahan tawa.

“Ya. Rayan sedang dinas ke Singapura.”

Bagas mengangguk-angguk.

“Ras, selain datang untuk minta maaf, kalau kau tak keberatan, aku ingin mengajakmu pulang. Ayah sakit.”

Aku terbelalak. “Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?”

“Aku tidak ingin membuatmu kaget dan merusak suasana hari ulang tahunmu, Ras.”

Ayah sakit? Ada kecemasan menakutkan yang tiba-tiba menyer­bu dadaku. Kuteliti wajah Bagas. Aku tak menemukan dusta dalam sorot matanya.

“Ia sangat merindukanmu, Ras. Apa kau tak bisa merasakannya? Badannya makin hari makin lemah. Kau akan menyesal kalau tidak segera pulang dan menemuinya.”

“Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Tapi, hanya sebentar untuk menjenguk Ayah, setelah itu aku kembali ke apartemen.”

Mendadak aku gugup sekali. Tergesa ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Aku ingin segera menemui Ayah. Siapa pun Ayah, ia pernah mengasihiku dan membesarkanku. Aku tidak ingin terlambat dan menyesal!


Bagian   1   2   4   5   6   7   8 

Related Posts

Ayah [3]
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.