Cerpen Noor H. Dee (Koran Tempo,
11 Mei 2014)
SEPULANG bekerja, lelaki itu menunggu kereta di stasiun yang sepi.
Seorang bocah, mungkin berusia 10 tahun, menghampiri lelaki itu dan menawarkan kacamata kepadanya.
Kacamatanya, Tuan, kata bocah itu. Harganya lima belas ribu.
Mata lelaki itu masih sehat dan baik-baik saja, tetapi ia tetap membeli kacamata itu. Kembaliannya untuk kamu saja, ujar lelaki itu.
Bocah itu pun pergi.
Kereta itu pun datang.
SESAMPAINYA di rumah, lelaki itu menyalakan TV dan merebahkan tubuhnya di sofa. Ia mengganti-ganti saluran TV. Tidak ada acara yang menarik malam itu. Ia mematikan TV-nya dan berjalan ke dapur. Mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas dan langsung menenggaknya. Tiba-tiba ia teringat akan kacamata yang tadi ia beli dari si bocah.
Ia berjalan ke kamarnya, mengambil kacamata itu dari dalam tasnya, mengenakannya, dan keanehan pun terjadi.
Ia melihat sebuah kamar yang bukan kamarnya. Kamar itu rapi, betul-betul rapi.
Aku berada di mana? Lelaki itu bertanya. Kamar siapakah ini?
Lelaki itu melepas kacamatanya dan ia segera kembali berada di dalam kamarnya. Aneh betul, ujarnya.
Lelaki itu menatap kacamatanya. Sebuah kacamata biasa dengan bingkai berwarna hitam. Karena penasaran, ia kembali mengenakan kacamata tersebut dan ia kembali berada di sebuah kamar yang bukan kamarnya.
Kamar siapakah ini? Lelaki itu kembali bertanya. Ia menatap seluruh isi ruangan. Seluruh ruangannya berwarna putih bersih. Tempat tidur, lemari baju, tempat sampah, meja, kursi, gorden jendela. Satu-satunya yang berwarna hitam adalah bingkai cermin yang menempel di tembok kamar. Ia mendekati cermin itu dan menatapnya. Di tubuh cermin itu ia melihat bukan dirinya, melainkan seorang wanita cantik berkacamata sedang tersenyum ke arahnya.
Lelaki itu terkejut. Ia segera melepas kacamata itu dan membuangnya ke lantai. Siapa dia?
Tubuh lelaki itu gemetar. Ia menatap ke bawah, ke arah kacamata itu, dalam waktu yang cukup lama. Ia mundur ke belakang perlahan, selangkah demi selangkah, dan segera naik ke atas tempat tidur. Ia menutup wajahnya dengan selimut. Samar-samar ia mendengar suara wanita memanggil-manggil namanya. Malam itu ia tidak bisa tidur sama sekali.
ESOK harinya ia tidak masuk kerja. Ia pergi ke stasiun itu lagi, mencari bocah penjual kacamata yang kemarin sore ia temui di sana.
Sampai sore, bocah penjual kacamata itu tidak muncul-muncul juga. Ia pun bertanya kepada petugas stasiun.
Penjual kacamata? Petugas itu bertanya heran. Apa kamu tidak membaca peraturan itu?
Lelaki itu menatap sebuah plang bertulisan, DILARANG BERJUALAN DI STASIUN.
Tapi kemarin bocah itu berjualan kacamata di stasiun ini, ujar lelaki itu. Aku masih ingat betul wajahnya.
Terserah kamu, ujar petugas itu. Aku sudah menjelaskan kepadamu bahwa tidak seorang pun dibolehkan berjualan di tempat ini. Petugas itu pun pergi.
KINI lelaki itu berada di dalam kamarnya, duduk di tepi tempat tidur, menatap kacamata yang masih berada di lantai kamar. Samar-samar ia kembali mendengar suara itu, suara wanita yang memanggil-manggil namanya. Suara itu betul-betul mengganggu dirinya.
Lelaki itu kemudian turun dari tempat tidur, mengambil kacamata itu, dan mengenakannya. Ia kembali berada di sebuah kamar yang bukan kamarnya. Sebuah kamar yang rapi, betul-betul rapi, yang seluruh ruangannya berwarna putih bersih.
Lelaki itu berjalan ke arah cermin. Di tubuh cermin itu, ia kembali melihat seorang wanita cantik berkacamata sedang tersenyum ke arahnya.
Siapa kamu? Lelaki itu bertanya.
Wanita itu tersenyum indah sekali.
Kemarilah, ujar wanita itu. Mendekatlah padaku.
Jawab saja siapa kamu, lelaki itu bertanya dengan suara lantang. Siapa kamu? Siapa kamu?
Wanita itu tertawa kecil. Aku akan memberikan namaku jika kamu mendekat ke arahku, ujar wanita itu. Ayolah, kemarilah, mendekatlah padaku.
Lelaki itu melepas kacamatanya dan membantingnya ke lantai. Ia mengambil palu dari dapur dan menghajar kacamata itu dengan beberapa pukulan. Kacamata itu pun hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi ruangan yang rapi dan serba putih. Tidak ada lagi suara wanita yang memanggil-manggil namanya.
Lelaki itu tersenyum puas. Ia berdiri dan menatap cermin yang menempel di tembok kamarnya.
Kali ini ia tidak melihat siapa-siapa di cermin itu, termasuk dirinya.(*)
lakonhidup.wordpress.com |
Kacamata
4/
5
Oleh
galerikaryaflp