Cerpen
Emil Amir (Majalah Gong Edisi: 111/X/2009)
Seperti tawaf di Ka’bah, saat itu
jamaah yang datang dari berbagai daerah, tengah khusyuk mengitari tugu beton
yang pernah dibangun Belanda beberapa waktu silam, sambil mengumandangkan
kalimat tauhid dengan tubuh bergoyang laksana ilalang yang menari ditiup angin.
Ketika gerombolan itu datang menghujat.
“Syirik!”
“Bukan ajaran Islam.”
“Bubarkan!”
***
Aku selalu heran. Ibu sering
melarangku pergi ke Malino untuk mengisi liburan semenjak masih SMA sampai
sekarang, aku kuliah dan menjadi anak pencinta alam. Paling tidak ibu sering
menghalang-halangi niatku dengan berbagai alasan. Padahal di sana aku punya
warisan peninggalan ayah, berupa tempat penginapan yang dikelola orang lain.
Makanya kerap kali aku berangkat diam-diam. Sepulang dari Malino, ibu pasti
tahu dan langsung menghukum dengan cara mendiamkanku beberapa hari. Sejak itu
aku tahu ibu tidak pernah ke sana.
Ketika ibu bertanya apa saja yang
kulakukan setiap aku berkunjung ke sana, kulihat wajahnya harap-harap cemas
seperti was-was yang tak semestinya. Bagai anak kecil yang ketahuan mencuri,
kuceritakan semuanya termasuk pengalamanku mendaki puncak gunung Bawakaraeng
dan kudapati di sana ada ritual haji. Ibu makin panik dan kian hari mengurung
diri di dalam kamar. Saat kutanya kenapa? Ibu bungkam seribu bahasa seperti
bertingkah yang tidak kumengerti. Tatkala kini berbaring lemah di rumah sakit,
barulah ibu mau bercerita.
“Bunga, kamu punya seorang kakak.”
***
“Kapan kita naik haji, Daeng?” tanya
Maniah yang sebenarnya tidak perlu Daeng Tata jawab sebab ia tahu istrinya itu
hanya mengeluhkan nasib yang tak pernah bisa simpan uang.
“Sabarlah dulu, Anriku. Bila tiba
waktunya, kita pasti akan ke tanah suci. Untuk itu kita jangan putus berdoa,”
nasihatnya itu belum mampu meluluhkan hati Maniah yang punya mau.
“Percuma berdoa tanpa usaha, Daeng.
Apa yang bisa diandalkan dari sepetak sawah warisan orangtuamu yang tak
seberapa itu. Tak cukup bahkan untuk perut kita. Sayuran dan kadang padi yang
kita tanam harganya selalu rendah, tidak pernah naik. Kita tinggal di hamparan
gunung yang luas tapi milik kita tidak lebih dari secuil. Dan apa pula yang
Daeng bisa lakukan selain bertani.”
Daeng Tata meredam amarah yang
menghantam dada, berusaha maklum akan ucapan istrinya yang begitu tajam
menusuk. Barangkali Maniah tidak sadar tengah menyinggungnya.
Dulu, orangtuanya memang punya banyak
tanah. Namun tanah itu dijual murah karena didesak oleh usia mereka untuk naik
ke tanah suci sebelum maut menjemput, dan beberapa tanah disita lantaran
orangtuanya mengambil pinjaman untuk menambah upah naik haji, sebab uang hasil
penjualan tanah belum juga cukup memenuhi ongkos. Juga buat selamatan sebelum
dan sesudah naik haji. Harus dilunasi karena sudah menjadi kewajiban keluarga
yang ditinggalkan untuk membereskan segala hajat yang tertunggak. Beberapa kali
Daeng Tata didatangi di dalam mimpi, orangtuanya mengemis memintanya segera membayar
utang mereka kepada yang bersangkutan yang memang sering menagih. Padahal sisa
tanah yang mereka wariskan adalah biaya hidup Daeng Tata sehari-hari.
Waktu itu, tanah memang seperti tidak
ada harganya sebab jarang yang mau beli. Apalagi terletak di daerah puncak.
Namun sekarang di tanah itu sudah banyak berdiri Vila, tempat penginapan untuk
para pelancong yang berwisata ke Malino yang terkenal dengan air terjun dan
udaranya yang sejuk.
“Besok saya akan ke atas, Anri. Kamu
mau ikut?” bujuknya agak mengalihkan pembicaraan agar perasaan istrinya sedikit
lunak, lantaran malam ini lelaki itu membutuhkannya. Ia memegang bahu istrinya
pelan yang sedang berbaring membelakanginya.
“Tidak. Saya tidak percaya lagi,
Daeng. Saya capek berangan-angan. Saya tidak mau pahala yang sama dengan naik
ke Mekkah di atas gunung Bawakaraeng itu. Apakah Daeng tidak tahu? Banyak yang
bilang ibadah ke sana itu keliru.” Maniah menolak secara halus, menggeser
pundaknya biar terlepas dari tangan suaminya yang membelai bahunya.
“Ah, tahu apa mereka itu? Mereka tidak
tahu apa-apa. Hanya hendak memaksakan ajaran yang katanya murni!” ujarnya
seperti mengumpat. Menghempaskan diri karena merasa gagal melelehkan kebekuan
istrinya.
Sungguh Daeng Tata sangat sulit
menakhlukkan tabiat istrinya yang keras hati ketika sedang merajuk. Perempuan
yang ia nikahi mati-matian sebab ia punya saingan. Ia rela menghabiskan tanah
warisannya yang tersisa buat memenuhi permintaan calon mertuanya yang banyak
ulah itu, sebab ada orang lain yang juga hendak melamar. Kepada pemberi yang
tertinggi, mereka melepas anak gadisnya.
“Daeng, bagaimana kalau saya ke
Makassar mencari kerja?” Tiba-tiba Maniah mengajukan usul yang tentu saja
mengejutkan Daeng Tata. I strinya membalikkan badan menatapnya. Berkat pelita minyak
yang menyala redup, ia bisa melihat mata istrinya yang berbinar, ada semangat
di dalamnya.
“Seperti waktu gadis dulu. Saya akan
bekerja sebagai buruh pabrik dan bakal menabung,” lanjutnya penuh harap,
demikian riang seperti mengejar impian.
“Anri, kau akan lama di sana nantinya.
Dengan begitu kau tega meninggalkan saya sendirian di sini.”
“Tidak apa, demi masa depan kita.
Kelak bila sudah cukup uang dan pengalaman saya akan mengajakmu serta. Kita
buka usaha di sana.”
“Tidak. Saya tidak mengijinkanmu!”
“Daeng, tenang saja. Sesekali saya
akan menjengukmu.”
Suaminya bungkam yang bukan hanya
diam. Maniah juga sejenak membisu sekedar mencari jawaban yang diinginkannya.
Namun air muka Daeng Tata tidak berubah, dan istrinya itu sudah mengerti bahwa
ia tidak bakal mendapatkan restu untuk pergi. Sambil kembali membalikkan badan,
ia tetap menceracau. Tak mau menyerah.
“Kakak-kakakku sudah haji semua. Adik
lelakiku yang pedagang itu sudah berangkat. Saya saja yang melarat seperti
ini,” suaranya lirih menyindir. Namun ia tidak memperoleh tanggapan selain
sunyi.
“Besok, naiklah ke atas supaya diberi
gelar Haji Bawakaraeng. Teruslah seperti itu, sampai kapan pun, Daeng tidak
akan mampu naik haji.”
Maniah diambang putus asa, memadamkan
lampu minyak. Tidak peduli lagi dengan suaminya yang malam itu berhasrat bikin
anak. Boleh jadi istrinya itu sering uring-uringan lantaran belum melahirkan
buah hati. Pernah Daeng Tata dan maniah mendatangi sanro untuk berobat setelah
lama menunggu. Namun dukun itu menyurutkan harapan. Katanya, Daeng Tata punya
mani yang terlalu panas hingga mematikan indung telur. Lain hari berujar, rahim
Maniah telah dingin dan beku. Terakhir menyimpulkan, mereka tidak cocok.
Daeng Tata tidak bisa tidur, memandang
nanar gelap yang mengerubungi.
***
Dan Sekarang aku berada di sini untuk
menemuinya.
Di atas gunung Bawakaraeng, angin
menampar tubuh ringkih Daeng Tata yang tak goyah, memandang jauh di bawah sana.
Bagai di laut, langit merendah begitu dekat sebab puncak bukit itu menjulang seperti
hendak menjangkau cakrawala dengan gumpalan mega-mega berarak-arak serupa ombak
yang tak surut, bergulung-gulung dengan pekatnya. Tampak megah keemasan pada
senja yang bangkit, pertanda malam akan memeluk hari. Dan setiap kali awan itu
melintas, bayangannya tampak berkejaran di permukaan bumi.
Deru angin terus menerpanerpa.
Hembusan itu bertiup kencang membuat celana kain dan baju lusuh serta sarung
yang tersampir di pundaknya berkibar-kibar ke belakang. Kopiah hitam bertengger
di kepalanya yang beruban pun telah pudar serupa dirinya yang digerogoti usia.
Lelaki tua itu masih menatap,
barangkali nun pada hamparan kota Makassar yang merajalela, tanah daratan yang
jauh dari sini dan hidup dengan gemerlap, kelap-kelip yang mengalahkan
kedap-kedip bintang yang mulai bermunculan di langit yang sebentar lagi
menghitam, seperti perempuan nakal yang main mata.
Aku sejak tadi mengamatinya dari jarak
yang tak dekat. Agak ke bawah, di balik hutan yang dihuni halimun, kabut asap
tipis nan dingin yang lalu lalang. Aku melangkah mendekatinya dengan kaki
kuseret biar berisik supaya ia berpaling, tapi Daeng Tata tetap bergeming
hingga aku berada sejajar dengannya. Dingin kian merasuk mungkin sampai tulang,
ngilu yang membeku. Aku menggigil seperti digigit oleh dingin, membuat gigiku
ingin bergemelutuk dan akan mengeluarkan uap es ketika aku berbicara dan
bibirku kini menjadi kelu. Padahal badanku dibungkus jaket tebal bagai
berbalut-balut. Aku seperti hendak meringkus diri pada kedua tanganku yang
bersilang di atas dada.
Berbeda sekali dengan Daeng Tata yang
santai saja menautkan kedua tangannya di belakang punggung karena sudah
terbiasa dengan cuaca seperti ini. Aku yakin telapak tangannya akan berkeringat
dan kulitnya bakal meleleh lantaran peluh, tatkala nanti ia ke Makassar yang
teriknya garang dengan niat mencari anaknya yang tak pernah menjenguknya
beberapa tahun ini, semenjak pertengkaran yang aku pun tahu. Bagai menunaikan
hajat ke tanah suci yang tak pernah terwujud karena uangnya tidak pernah cukup
dan tiap tahun biayanya selalu naik.
Sungguh lelaki tua di sampingku ini
seakan tidak bisa berpisah dari gunung Bawakaraeng yang ia jaga melebihi dari
hidupnya. Ia menanam Mahoni dan jati serta pohon jenis lainnya di lereng bukit,
dan di lokasi yang pohonnya terbabat di sekitar gunung. Bibitnya ia semai di
pekarangan rumahnya. Sebab jasanya itu ia mendapatkan upah tiap bulan dari
pemerintah Gowa yang tidak cukup buat makan berhari-hari. Lembaran uang itu ia
tabung dalam kaleng biscuit entah berapa tahun, yang telah penuh. Namun jika
dikumpulkan dan diikat dengan karet jumlahnya tak seberapa, tidak sebanding
dengan jerih payahnya. Aku mengetahuinya sebab ia bermaksud menitipkan segepok
uang itu beberapa hari yang lalu kepadaku buat Amiruddin, anaknya. Uang kuliah
untuk temanku itu. Dulu memang anaknya adalah temanku tapi setelah aku tahu
semuanya, dia bukan lagi temanku. Lebih dari itu. Aku bilang, Amiruddin
memiliki usaha yang tidak tetap.
“Bunga, sampaikan salam saya pada
Anakku yang masih keras hati. Bilang, saya sangat merindukannya,” ujarnya
lembut nan tegas tanpa melepas pandang melihat kota Makassar yang berkilau
gemilang serupa lampu senter yang benderang di tengah kegelapan, seperti
kumpulan cahaya.
“Tata, tahu sendiri sikapnya yang tak
mau dengar. Dan aku tidak bisa memaksa,” kataku setelah agak lama terdiam,
lantaran aku sibuk menghalau dingin yang kian merayap pada hawa yang mulai
senyap. Kulihat pelita di rumah penduduk di kaki dan di pinggang gunung sudah
mulai berkeliaran bagai percikan sinar yang menyebar, bak kunang-kunang yang
saling menjauh mencari tempat hinggap.
“Bujuk dia sampai mau. Katakan lagi
padanya bahwa saya akan minta maaf, kalau perlu saya akan bersujud di kakinya.
Akan kutinggalkan semua kebiasaan yang dimatanya adalah dosa. Hanya dia satu-satunya
harapanku, Bunga. Harta warisan peninggalan almarhumah istriku yang ingin
kususul di tanah suci. Dialah yang dapat mewujudkannya.” Kali ini ia menjenguk
mukaku yang hampir beku, menatap asa begitu memelas.
“Iye, Tata, akan aku usahakan,” ucapku
dengan gigi bergeretak. Kendati aku tidak tahu dimana Amiruddin sekarang. Namun
aku yakin tidak susah untuk menemukannya. Sebab dia tidak kuliah lagi. Lebih
memilih menyeru jalan agama ketimbang menuntut ilmu di fakultas yang katanya
tidak dibawa ke akhirat.
***
“Aku belum menikah karena belum bisa
melupakanmu. Dan aku akan terus menunggu sampai kamu mau, Maniah.” Sungai Jene
Berang mengalir deras seperti meluap, menenggelamkan bongkahan batu kali yang
terserak. Maniah bagai terseret oleh arusnya, telinganya berdengung mendengar
ucapan Andi Baso. Pertemuan di tepi sungai di suatu pagi yang hendak beranjak,
ketika Maniah usai membasuh diri dan membersihkan cucian.
“Saya sudah punya Daeng Tata!” jawab
Maniah bergetar, agak terperangah. Meraba-raba kemauan hatinya.
“Itu bukan masalah jika kamu mau.”
Maniah menatap lelaki itu begitu lama
seperti hendak menemukan keseriusan. Lelaki yang pernah ditolak sebab tak mampu
memenuhi permintaan orangtuanya, sehingga Maniah mengubur cintanya dalam-dalam.
Pertemuan itu rutin meski tidak setiap pagi dan kadang di tempat berbeda yang
tidak diketahui orang lain, saat sepi. Sampai kesalahan itu diperbuat, yang
membuat Daeng Tata senang karena tidak tahu.
“Kamu hamil, Maniah?”
Perempuan itu tidak mampu berterus
terang karena didera dosa. Ia gelap mata. Andi Baso sangat sulit diabaikan.
Bukan hanya karena ada hati, melainkan menjanjikan hidup layak dan nantinya
bisa naik haji. Lelaki itu telah mapan. Kupingnya sudah terlalu panas mendengar
segala gunjingan hina akan hidupnya yang tak kunjung membaik.
Maniah merasa tidak dipandang di
tengah keluarga dan di setiap pesta yang dikunjunginya. Tidak diperbolehkan
berjejer menyambut tamu di ruang depan karena belum haji. Cuma kerap mendapat
tempat di dapur dan dianggap serupa asap yang mengepul lalu lenyap tak bersisa
dan tak ada yang peduli. Hanya disuruh bantu-bantu memasak. Lantaran malu, ia
tak tahan. Ketika kesempatan itu memberi peluang tak mungkin ia tampik kendati
meninggalkan aib.
“Bayi itu anakku, Maniah.”
“Tidak Andi Baso. Daeng Tata sangat
mengharapkannya. Saya akan menyusulmu nanti setelah saya melahirkan.”
***
Daeng Tata masih menatapku begitu
teduh penuh pancaran kasih seperti menganggap aku adalah anaknya.
“Terima kasih, Bunga. Mari kita turun.
Sepertinya kamu sudah tidak tahan dingin. Teman-temanmu juga sudah lama
memanggil. Kamu tahu, Bunga? Kamu mirip istriku waktu muda.”
Aku tidak tersipu dengan gurauannya.
Aku malah makin merasa bersalah. Ah, seandainya Daeng Tata tahu tentang rahasia
yang kubawa, titipan pesan dari ibu yang mesti kusampaikan. Mengenai masa lalu
yang tak ada hubungannya denganku. Aku hanya ingin mengatakan, istrimu belum
mati dan Amiruddin bukan anakmu. Namun mulutku ini tak sampai hati mengutarakan
maksud di setiap kesempatan berdua dengannya seperti tercekat di tenggerokan.
Padahal besok aku sudah kembali ke Makassar.
Teman-temanku sudah membereskan segala
peralatan camping tak terkecuali sisa-sisa berupa sampah. Memastikan tak ada
yang ketinggalan, semuanya ada dalam ransel besar di pundak. Setelah berucap
syukur, kami siap turun gunung. Di lembah Ramma, di rumah panggung Daeng Tata,
kami akan istirahat. Barangkali sampai pagi meninggalkan hari. Semoga
kesempatan terakhir itu tidak aku siasiakan untuk membuka mulut, atau tidak sama
sekali.
Sinjai, 29 Oktober 2008
Catatan:
·
Gunung Bawakaraeng yang berarti Mulut
Tuhan adalah tempat Syekh Yusuf berangkat ke Mekkah. Ulama sufi yang paling
terkenal di seantero Sulawesi, dipercaya masyarakat bagai ditelan lalu hilang
dan muncul di tanah suci. Dari sini awal mula ritual haji Bawakaraeng.
·
Daeng: Panggilan sayang untuk suami
yang berarti kakak.
·
Anri: panggilan sayang untuk istri
yang berarti adik.
Haji Bawakaraeng
4/
5
Oleh
galerikaryaflp