Esai Benny Arnas (Lampung Post, 23 April 2011)
MENJADI lokal adalah menyelami tema-tema sastra dengan
sepenuh hati. Mencintai apa-apa yang ia karang dengan mesra. Kerja mengarang
yang sudah sampai pada titik ini akan menghasilkan karya yang kuat dalam
menyajikan (sekaligus menggambarkan) setting, alur, dan (karakter) tokoh.
Hingga akhirnya, selain meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknai cerita,
juga melahirkan keintiman estetis-psikologis dengan pembaca. Maka, lokalitas
dalam sastra sama nilainya dengan memasuki taman bunga. Merasakan wangi bunga
yang partikular. Aroma mawar, melati, anyelir..., mencuat dari dalamnya.
Melanie Budianta memberi batasan "lokalitas"
sebagai sesuatu yang partikular (yang tertentu). Agus R. Sarjono melihat
"lokalitas" sebagai penajaman perspektif. Lebih jauh ia menyatakan
bahwa menjadi lokal, tak lain dan tak bukan, menjadi pribumi untuk tema-tema
yang diangkat. Raudal Tanjung Banua menyatakan bahwa "lokalitas"
adalah "iman" estetik dan tematik yang dikukuhi. Raudal menyoroti
bagaimana kemampuan para pengarang mengeksplorasi tema dengan baik, dalam,
kuat, dan memberikan "taste" tersendiri terhadap karyanya.
Dalam perkembangannya, "lokalitas dengan
variannya" tak dapat secara otomatis disematkan pada pengarang. Ini bukan
perkara inkonsistensi, namun lebih pada keinginan untuk melakukan eksplorasi.
Baik itu eksplorasi tema, maupun gaya garapan. Walaupun begitu, pada
pengarang-pengarang yang sudah kuat dan mapan kemampuan kesusastraannya, tema
apa pun yang digarap, dapat kita kenali jejaknya. Hal inilah yang dikatakan
Raudal Tanjung Banua sebagai "iman estetik". Pengarang yang sudah
ber-"iman" niscaya akan istikamah, konsisten melahirkan karya-karya
yang memiliki kekuatan estetik yang partikular, memiliki "ciri khas".
Pengarang yang memiliki ciri khas dalam teknik garapan akan jauh lebih mudah
menghasilkan karya-karya yang cenderung pada lokalitas. Karya-karyanya mampu
menghadirkan kedekatan estetis-psikologis dengan pembaca. Hamsad Rangkuti,
Raudal Tanjung Banua, Joni Ariadinata, Gus tf Sakai—sekadar menyebut beberapa
nama—adalah pengarang-pengarang yang telah berada dalam taraf itu.
Hal lain yang dirasa menggelitik adalah tentang
"tradisionalitas". Bukan hanya karena ia kerap disamadengankan
"lokalitas", melainkan juga fakta bahwa ia seolah tak habis-habisnya
dijadikan bahan cerita dalam kesusastraan Tanah Air, hingga melahirkan skeptisme:
kedaerahan yang menyusup (bahkan mewarnai) sebagian karya-karya lokal, membuat
(pembaca) bingung: ini sastra Indonesia atau sastra daerah? Lalu, untuk apa
lokalitas (tradisionalitas) ditulis/dijadikan unsur cerita apabila citarasa
lokalnya akan serta-merta hilang bila diterjemahkan ke dalam bahasa asing
(Inggris)?
Mari kita kembalikan pertanyaan-pertanyaan di atas pada
geo-kultur Indonesia. Dengan kebhinnekaannya, sastra daerah adalah refleksi
sastra Indonesia itu sendiri. Beragamnya nuansa kedaerahan yang muncul dalam
karya sastra menunjukkan betapa bergeliatnya sastra Tanah Air. Betapa penggiat
sastra negeri ini memiliki militansi dalam menampilkan otentitasnya,
menampilkan identitasnya yang murni, paling tidak dari tema-tema genuine (asli
daerah) yang mungkin saja hanya terdapat di daerah mereka. Misalnya, uang
jumputan di Minangkabau, warahan di Lampung, senjang di Sumatera Selatan, atau
koteka di Papua. Ya, dengan ribuan pulau, ratusan suku bangsa, bahasa, dan
perbedaan budaya, sangatlah wajar bila tradisionalitas selalu up date, selalu
menarik untuk diketengahkan dalam karangan.
Bagaimana dengan alih-bahasa, yang memungkinkan hilangnya
rasa lokal pada karya tradisionalitas?
Tentang ini, tak sepenuhnya dapat diiyakan. Beberapa karya
Gbariel Garcia Marquez yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, masih terasa
Amerika Latinnya, atau masih terasa realisme-magisnya; atau karya-karya
Akutagawa Ryunosuke ketika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, masih terasa
Jepang-nya. Artinya, sangat tergantung pada—kemampuan dan
sensitivitas—penerjemahnya.
Sejauh mana ia mampu mencari padanan kata yang mewakili rasa
cerita yang diterjemahkan. Namun begitu, fakta yang harus lekas disadari
adalah, ke-Indonesia-an kita sejatinya magnet; kecenderungan pembaca yang menyukai
hal-hal yang belum mereka ketahui (termasuk apa-apa yang terjadi di daerah
lain), telah membuat tema tradisionalitas sejatinya masih begitu menarik untuk
diangkat dan digali. Hal lain yang perlu ditambahkan pula adalah, bila sebelum
mengangkat tradisionalitas dalam karangan kita harus memikirkan "apakah
rasa lokalnya masih akan ada atau hilang", alangkah repotnya mengarang
tradisionalitas itu! Kalaupun begitu, semoga ini bukan hipotesis bahwa mustahil
mencapai lokalitas dari tradisionalitas. Ada-ada saja.
Sumber: cabiklunik.blogspot.com
Catatan Kaki Tentang Lokal(itas)
4/
5
Oleh
Denny Prabowo