Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 18 Agustus 2013)
KETIKA Didin mengantarkan surat itu
pada awal Februari 1996, keinginannya berjumpa Misral menjelma gunung berapi
yang hendak meletus. Sudah empat puluh tahun mereka tak bertemu. Bapak rindu sekali padamu, Nak. Kau pun begitu, kan? Datanglah ke
sini. Ajak Rosnah dan anak-anakmu. Sindulami pasti sudah punya adik, kan?
Berlebaranlah di sini, atau bahkan sahur dan berbukalah di rumah ini.
Lamat-lamat
ia keluarkan surat berstempel kantor pos Aceh Besar yang hanya satu lembar itu.
Ia elus-elus surat yang masih terlipat itu dengan perasaan. Ia belum berani
membuka apalagi membacanya. Perasaannya selalu berkebat-kebit. Ia masukkan lagi
surat itu ke dalam amplop. Dicium-ciumnya amplop yang berisi surat itu dengan
mata terpejam dan hidung yang sedikit mengendus, seolah bau tubuh anak semata
wayangnya menguar dari kertas itu. Ia melangkah ke lemari merbau tanpa ukiran
di kanan pintu kamarnya. Dimasukkannya surat itu ke dalam saku safari
veterannya yang tergantung di sisi kanan dalam lemari.
Lalu telapak
tangan kanannya menyusur ke bawah lipatan baju di sisi kiri. Beberapa saat
kemudian, selembar kertas mengilap seukuran kartu pos dikeluarkan dari lipatan
itu. Ia elus-elus foto yang bagian belakangnya sudah agak menguning itu.
Foto itu
datang pada pertengahan tahun 1971, lima tahun setelah kepergian Misral. Di
sana, seorang laki-laki berkumis tipis dan rambut disisir klimis ke belakang,
mengenakan kemeja kuning dan celana kecubung warna susu, duduk di kursi kayu,
memangku seorang gadis kecil yang mungkin usianya belum genap tiga tahun. Di
sampingnya, duduk pula seorang perempuan dengan baju terusan berwarna kulit
labu dan kerudung merah bata. Mereka bertiga tersenyum bersahaja seperti
mengumumkan kebahagiaan yang sesuai takaran. Di belakang foto berlatar rumah
panggung itu tertulis nama istri dan anak pertama Misral. Oh, ia kini
dikerubungi penyesalan mendalam.
Maafkan
Bapak, Misral. Bapak baru menyadari kesalahan justru ketika kau sudah pergi.
Bapak tak menyangka kau akan mengembara ke ujung pulau. Bagaimana kau membiayai
sekolahmu, Nak. Apakah di sana kau bertemu induk semang yang mulia hatinya.
Kalau tak begitu, bagaimana kau bisa kawin? Apa sekarang kau sudah berdikari
sebagai insinyur atau pegawai pertanahan atau guru sekolah seperti cita-citamu
dulu. Bapak rindu sekali, Nak. Bapak juga ingin menggendong anak-anakmu,
bermain-main dengan mereka sebagaimana dulu Bapak sempat bermain-main sebentar
denganmu.
Ia menutup
lemari merbaunya. Baru dua langkah meninggalkan tempat pakaian itu,
pandangannya mengarah ke luar jendela samping. Ia melihat seekor induk ayam
sedang membagikan cacing-cacing yang baru dikais dari tanah gembur di sekitar
pohon tanjung pada anak-anaknya yang berkeriapan. Anak-anak ayam itu berkerumun
di antara daun-daun tanjung yang jatuh berserakan. Sebenarnya halaman yang luas
itu lebih layak disebut kebun pisang, tapi saban orang baru bertanya letak
rumahnya pada tetangga sekitar, mereka akan menyebut pohon tanjung yang
menjulanglah sebagai penanda. Ya, pohon yang kata orang-orang dulu seusia
dengannya itu terlalu perkasa dibanding pohon-pohon pisang yang tumbuh hanya
seperdelapan tinggi batangnya. Kanopi dan rumpung bunganya makin hari makin
rimbun walaupun daun dan bunganya jatuh tak pandang waktu. Sebenarnya ada dua
pohon tanjung di halaman. Namun entah mengapa, tak lama setelah kepergiaan
Misral, pohon tanjung yang lebih kecil meranggas perlahan-lahan sebelum mati.
Kini, pohon tanjung yang tumbuh di halamannya cuma sebatang. Oh, pemandangan
petang itu benar-benar mengejeknya.
Andai saja
ibumu tidak meninggal ketika melahirkanmu dulu, mungkin semuanya tidak akan
begini, Misral. Kau lebih banyak bermain dengan Didin, anak tetangga di
belakang rumah. Bapak baru mendongengimu sebelum tidur atau bermain
kapal-kapalan dari pelepah pisang denganmu bila sedang ingin saja. Maafkan
Bapak, Misral. Bapak memang bekas pejuang tak berguna. Bapak kira dengan
menikahi Sakdiah, kau akan beroleh kasih sayang yang layak, ternyata tidak.
Walaupun begitu, Bapak masih mempertahankannya sebagai istri, bukan sebagai
ibumu. Bapak yakin, walaupun baru berusia enam tahun, kau pasti merasakan ada
angin segar yang berembus dalam kehidupanmu ketika Bapak menceraikan ibu tirimu
itu. Seharusnya Bapak bisa menyekolahkanmu di Sekolah Rakyat atau mengantarmu
ke taman-taman bermain peninggalan Belanda yang banyak dibangun di Kayuara,
tapi… Bapak terlampau sibuk bergerilya mencari istri-istri baru. Kau pasti
sangat kesal ketika baru masuk sekolah pada umur sepuluh tahun.
Kali ini ia
tak mampu menahan laju air penyesalan itu keluar jatuh dari kelopak matanya.
Semakin ia kusal matanya, semakin basah matanya, semakin basah punggung
tangannya, semakin basah pipi keriputnya.
Setelah
berpisah dengan Sakdiah, ia menikahi Mariani, anak pesirah di Pulopanggung,
dusun rumah tinggi di bantaran anak Sungai Musi. Tapi pernikahan itu hanya
bertahan dua tahun begitu mengetahui kalau perempuan itu mandul, nyinyir
menanyakan harta dan warisan, dan gemar berkerumun dengan para tetangga perempuan
untuk membincangkan kesia-siaan.
***
Pada tahun
1950, memang banyak anak muda yang bergelar pejuang walaupun hanya sempat
berjuang kurang dari sepuluh tahun. Tentu saja termasuk Tanjung Salam bin
Muhammad Abduh, pemuda yang sudah bergerilya di hutan-hutan Musi Rawas sejak
usianya 15 tahun pada 1939.
Sebagaimana
namanya, ia adalah pejuang muda yang gagah dan rupawan. Adalah wajar bila Mania
Syukur, gadis desa yang pada 1949 itu berusia 20 tahun langsung mengiyakan
pinangan yang diantar oleh kerabat ayahnya. Kala itu, status yatim piatu tidak
membuat harga dirinya jatuh. Terlebih kabar yang berembus menyebutkan ia
memiliki beberapa bidang kebun karet peninggalan orang tua. Sepeninggal
Belanda, Jepang memang tak sempat menjejakkan kaki di Musi Rawas sehingga
kebun-kebun karet dikuasai oleh tetua-tetua adat. Salah satunya adalah Muhammad
Abduh yang mewariskan kebun-kebun beserta para pekerja upahannya kepada anak
bujangnya.
Ketika ia
hendak menikah yang kelima kalinya dengan Mila, janda kaya dari Batuurip, anaknya
menentang. Tentu saja tak mungkin ia ceritakan alasan pernikahannya kepada
Misral: mungkin Mila berasal dari keluarga berada. Mungkin Mila benar-benar
akan mengurusnya (jua Misral). Mungkin Mila bisa memberi satu-dua orang adik
untuk Misral. Mungkin dengan menikahi janda ia bisa hidup bahagia sebagaimana
dengan Mania dahulu. Namun, Misral yang berusia enam belas tahun, tak tahan
diolok-olok teman-temannya sebagai anak kucing jantan yang senang menelantarkan
jalang.
“Tabiat
Bapak umpama pohon tanjung. Makin tua makin gemar menumbuhkan cabang dan
menggugurkan daun mati,” Misral menyindirnya.
”Tahu apa
kau tentang pohon tanjung? Pernah kau merasakan perjuangan kami mengusir para
penindas berkulit jagung itu? Tabiat orang Timur itu mengusir kompeni, bukan
meladeni mulut-mulut bangau di luar sana. Mereka tak tahu sakitnya ditusuk mata
tombak dan pedihnya hantaman peluru!“
Celakanya,
Misral melawan. Entah dari mana remaja yang sedang tumbuh mencari jati diri itu
mendapatkan perumpamaan. Ia mengatakan bahwa apa yang bapaknya lakukan
sejatinya lebih tajam dari mata tombak dan tembakan peluru.
Pecahlah
perang. Sebagai penjuang bapaknya pantang kalah. Pada pengujung Juni 1966 itu,
ia mengusir Misral seperti mengusir kompeni dari kampungnya.
Bagaimanapun,
tubuh ayah dan anak dialiri oleh darah yang sama. Setelah Mila tak memberinya
apa-apa (tidak perhatian, tidak anak, tidak pula kebahagiaan), ia didera
kemurungan yang panjang karena rindu pada Misral yang mencabik-cabik. Akhirnya
untuk pertama kalinya, ia digugat istri untuk mengakhiri hubungan.
Kesepian pun
bersekongkol dengan matahari yang bersinar saban pagi dan bersembunyi kala
maghrib. Rasa hampa menyebabkan kebahagiaan masa lampau dan kerinduan tak
tepermanai bertabrakan. Jiwanya lumpuh. Ia termakan kutukan Misral. Ia menjelma
batang tanjung yang tua, kering, rapuh, dan mudah terbakar oleh sengat matahari
dan membusuk oleh hujan lebat.
Awalnya ia
pikir Tuhan bersimpati pada nasibnya ketika pak pos datang mengantar amplop
yang hanya berisi selembar foto Misral dan keluarganya pada musim kemarau 1971.
Tapi ternyata foto itu adalah tombak bermata dua yang kuasa mengantar
kebahagiaan sekaligus membangkitkan penyesalan. Ia berharap Misral akan
mengirimkan lebih dari sekadar foto pada kiriman berikutnya. Namun… ditunggu
dan ditunggu, pak pos tak kunjung datang.
Setelah
1980-an, ketika negara sudah mengakui veteran, Didin, teman sepermainan Misral
yang diterima menjadi pegawai di Kantor Pos Lubuklinggau, selalu menyambanginya
saban awal bulan. Tapi bukan untuk mengantarkan foto atau surat dari Misral,
melainkan biaya hidup yang sudah dianggarkan negara untuk bekas pejuang
sepertinya.
Siang Selasa
itu, Tuhan seperti mengabulkan harapan laki-laki 81 tahun itu. Didin datang
bukan hanya untuk mengantar uang bulanan, melainkan juga setangkai kembang
kebahagiaan.
”Dulu Mang
Tanjung sempat cerita kalau Misral merantau ke Aceh, kan? Nah, ini dikirim dari
sana, Mang.“ Didin menyerahkan sebuah amplop dengan wajah yang tak kalah
berserinya dengan air muka si penerima.
Setelah
mendiamkan surat itu beberapa waktu, ia bermaksud membacanya. Namun ia
sempatkan menunaikan salat asar sekaligus mengirimkan doa untuk kesehatan
Misral dan keluarganya dahulu. Sebuah surat yang dinanti-nanti memang harus
dibaca dengan hati yang lapang.
Surat itu
tidak panjang seperti yang diharapkan.
Baru
sadarlah ia, kedatangan Didin tadi bukan untuk mengantarkan kembang kebahagiaan,
tapi tombak bermata dua.
Pekan ketiga Januari 1996.
Teriring salam kerinduan dari kaki Gunung Seulawah, Bapakku, dengan berat hati, kabar duka ini Rosnah antarkan. Bang Misral sudah meninggal dunia dua hari sebelum surat ini ditulis. Pagi itu angin gunung berembus sangat kencang, jembatan kayu yang membelah sungai Tanoh Abee yang dangkal dan berbatu, patah ketika Abang tengah mengayuh sepeda angin menuju SD tempat ia biasa mengajar. Bukan sengaja telat mengirimkan kabar duka ini, tapi sesuai amanah Abang ketika sekarat di puskesmas; ia tak mau kematiannya merepotkan Bapak karena tak mungkin Bapak akan ke Aceh Besar untuk menghadiri pemakamannya. Terlalu jauh, melelahkan, dan memakan biaya dan waktu yang tak sedikit. Walaupun tak bisa ke Lubuklinggau untuk berhari raya tahun ini, insya Allah bila kami akan mengunjungi Bapak bila masa dan nasib masih berkenan.
Wassalam,Rosnah.
Ia
tercenung. Tangannya bergerak pelan menghapus air mata yang jatuh tiba-tiba.
Seperti digerakkan sesuatu yang gaib, kakinya melangkah ke arah lemari
merbaunya. Ia kembali mengeluarkan foto lama itu. Ia elus-elus wajah Misral di
sana, seolah lekuk pipinya, lancip hidungnya, dan minyak rambutnya, dapat ia
rasakan. Keriapan anak-anak ayam yang berebutan cacing masih menyambangi gendang
telinga. Selain melayangkan daun-daun yang menguning dan kesat, sebatang pohon
tanjung tua di halaman juga menggugurkan bunga-bunga putih seukuran jempol
orang dewasa. Misral benar, ada yang lebih tajam dari mata tombak dan lebih
mematikan dari peluru. ***
Lubuklinggau,
23 Juni 2013
Pohon Tanjung Itu Cuma Sebatang
4/
5
Oleh
galerikaryaflp