Oleh Rahmadiyanti Rusdi (Majalah Ummi, 2011)
Koleksi Rahmadianti Rusdi |
Setelah transit
dua kali, di Makassar dan Biak, serta menempuh perjalanan selama lebih dari
tujuh jam, akhirnya menapak juga saya di ibukota provinsi paling timur Indonesia ,
Jayapura. Sebuah perjalanan yang begitu excited
bagi saya, bahkan dibanding perjalanan-perjalanan ke daerah lain, luar
negeri sekalipun. Sewaktu masih SD saya pernah membaca sebuah novelet di sebuah
majalah wanita. Setting novelet tersebut di Papua (dulu masih Irian Jaya), dan
sangat berkesan buat saya. Sejak itu saya bermimpi suatu hari kelak dapat
mengunjungi Papua. Lebih dari dua puluh tahun kemudian, mimpi tersebut
terwujud.
Balada Buah Pinang
“Dilarang Makan
Buah Pinang !”. Tulisan tersebut menyambut saya
saat tiba di Bandar Udara Sentani, kota
Jayapura. Terpasang di dinding dan pilar berbagai sisi dan penjuru. Heran
sekaligus tersenyum-senyum saya membacanya. Biasanya kan tulisan yang sering dipasang di tempat
publik adalah “Dilarang Merokok”, lha kok
jadi buah pinang? Kemudian saya perhatikan di lantai dan dinding bawah bandara
banyak bercak-bercak merah, yang meski terlihat berusaha dibersihkan, tapi masih
meninggalkan noda. Ow, sepertinya ini alasan pelarangan tersebut. Masih banyak
warga Papua yang memiliki kebiasaan mengunyah buah pinang, seperti kebiasaan
mengunyah sirih di Jawa. Sayangnya mereka sembarangan meludah kunyahan buah
pinangnya, sehingga harus ada pelarangan. Sampai ada perda (peraturan daerah)
lho yang mengatur soal “ludah” buah pinang ini. Wah!
Sambil menunggu
bagasi, saya memperhatikan kondisi bandara. Sangat minimalis, maksudnya serba
minimal kondisinya, hehe. Tak begitu besar dan sedikit kusam. Tak ada ban
berjalan untuk bagasi. Koper dan tas diletakkan saja bertumpuk dan kita harus
berebut menemukan bagasi milik kita. Agak miris juga, sebab ini adalah bandara
di ibukota provinsi. Tapi rasa miris tersebut mengalahkan rasa excited saya.
Keluar dari
bandara, beberapa rekan FLP (Forum Lingkar Pena) Papua telah menunggu saya.
Alhamdulillah, saya dapat mengunjungi Papua karena undangan dari mereka, yang masya Allah… begitu semangat menyebar
dakwah bil qalam di Papua. Mbak Henny, ketua FLP Papua, rutin mengontak saya
dan menyatakan keinginannya mendirikan
FLP di Papua. Namun baru terwujud setelah 6 tahun mempersiapkan diri!
Mabuk
“Lho, lho… kok ngepot, dia mau nabrak mobil kita!” saya
sedikit terpekik. Saat itu baru setengah jam kami keluar dari bandara, menuju
hotel tempat saya menginap. Sebuah motor tampak berjalan zig-zag dan sedikit
ngebut. Mbak Henny hanya tertawa. “Tenang, Mbak,” katanya, “Di sini biasa motor
seperti itu. Kecelakaan paling banyak yang terjadi di sini, ya kecelakaan
motor. Bahkan sering juga mereka masuk danau,” sambungnya sambil menunjuk Danau
Sentani yang persis berada di pinggir jalan raya menuju kota .
Hah?! Saya
sukses menggeleng-geleng. Mau tahu kenapa pengendara motor tersebut berjalan ngepot? M-a-b-u-k. Ya, kebiasaan mabuk
adalah hal biasa bagi sebagian masyarakat Papua, terutama yang tinggal di
perkotaan. Minum-minum, kemudian mengendarai motor. Lha, nggak heran jee, mereka sesukanya saja ngebut,
menyalip, dan… nyemplung ke danau dengan sukses.
Selain
pemandangan unik yang “memabukkan”, perjalanan dari Sentani menuju kota Jayapura sangat
indah. Danau Sentani yang membujur dan diapit kiri-kanan bukit hijau begitu
menenangkan. “Jangan berharap melihat penduduk memakai koteka di Jayapura sini,
ya, Mbak,” seloroh Mbak Henny, keturunan Jawa tapi lahir dan besar di Papua. Kota
Jayapura memang sudah modern. Tak sulit menemukan restoran fastfood dan makanan
seperti KFC dan Dunkin Donuts. Kalau mau melihat penduduk berkoteka maka kita
harus ke daerah pedalaman seperti Asmat misalnya.
Menyelinap
di MacArthur
Teluk Youtefa
dan Situs Tugu MacArthur bisa dibilang sebagai dua tempat yang wajib dikunjungi
di Jayapura Terletak di Ifar Gunung, kurang lebih 40 menit perjalanan dari kota Jayapura, Tugu
MacArthur adalah lokasi di mana pasukan sekutu Amerika di bawah pimpinan
Jenderal MacArthur mendarat pertama kali di bumi Cendrawasih. Alkisah, pada 7
Desember 1941 Jepang memulai Perang Pasifik dengan menyerang Pearl Harbour
di Hawaii. Pasukan Amerika melakukan perlawanan meski di bawah tekanan Jepang.
Pada Maret 1942 Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan MacArthur dan keluarganya menuju Australia . Untuk
memutuskan jalur laut Australia ,
Jepang berusaha mengurung Irian, tapi gagal dan dapat dihentikan pasukan Australia . Pasukan sekutu kemudian
mengambil alih pertahanan dan memulai operasi militer yang panjang untuk
mengusir Jepang dari Irian. Pada Februari 1943 Sekutu menang kendali atas Irian
bagian tenggara. Mereka kemudian bergerak di sepanjang pantai utara Irian dan
akhirnya membuat pertahanan di Jayapura.
Saat kami tiba
di situs Tugu MacArthur, gerbang tugu belum dibuka. Ketika mencoba mengecek,
tidak ada satu pun penjaga. Wah, padahal saya penasaran dengan tugu ini. Salah
satu rekan mencoba mencari tahu, tapi dia malah menemukan celah di antara
gerbang yang bisa dilalui, meski harus memepet ke dinding. Nakal sih, tapi masak
kami harus balik tanpa sempat masuk ke situs? Jadilah satu persatu kami masuk dengan
mengempiskan perut, hehe, karena celah tersebut benar-benar hanya cukup untuk
satu orang berdiri miring. Dan… berhasil!
Pemandangan
danau Sentani dengan bukit-bukit hijau benar-benar memikat dilihat dari Tugu
MacArthur. Letak tugu yang cukup tinggi membuat mata saya benar-benar
dimanjakan. Hamparan langit biru berpadu dengan awan putih. Sesekali terlihat
pesawat take off dari Bandar Udara Sentani yang posisinya memang terlihat jelas
dari tugu. Hmm, pantas MasArthur memilih tempat tersebut sebagai markas, karena
dia dengan mudah dapat mendeteksi pergerakan musuh (baca: pasukan Jepang). Saat
ini pun wilayah tersebut menjadi kompleks militer.
Dari Tugu MacArthur
saya dan teman-teman bergerak menuju daerah Megapura Skyline. Dari lokasi ini
kita dapat melihat Teluk Youtefa yang merupakan salah satu wilayah konservasi
yang ada di kota
Jayapura. Seperti halnya situs MacArthur, melihat Teluk Youtefa dari atas
sangat memikat. Rasanya tak lepas mata memandang teluk dengan dua pulau kecil
di sekitarnya, yakni pulau Tobati dan Engros.
Teluk, Bukit, Pantai, Sama Cantiknya
Dari Teluk
Youtefa kami langsung meluncur ke kota
Jayapura. Namun sebelum sampai di kota
Jayapura, kami singgah di Polimak.Bukit yang dipenuhi pemancar berbagai stasiun
televisi ini adalah tempat yang sangat strategis untuk memoto Jayapura dari
atas. Kota Jayapura dengan Teluk Humbold terlihat begitu ganteng (bosan ah
cantik melulu :D). Atap-atap rumah yang terbuat dari seng sesekali menyilaukan
mata. Di bagian pinggir bukit ada rangka-rangka besi, yang ternyata merupakan
plang besar bertuliskan “Jayapura”, yang hanya dapat kita lihat dari kota Jayapura. Teman-teman
dengan berani menyusuri batang-batang besi. Saya? Haduh, masih harus pulang ke Jakarta dengan badan
lengkap, hehe.
Setelah puas
berfoto dan minum es kelapa, saya dan teman-teman beranjak menuju kota Jayapura. Tujuan
utama adalah pantai, yang lebih dikenal dengan Pantai Dok 2. Setelah shalat di
masjid yang cukup besar di markas tentara, kami menuju pantai. Sore menjelang
dan cukup banyak pengunjung yang mandi atau sekadar duduk-duduk di tepi pantai
yang cukup rapi dengan konblok. Airnya begitu bening. Sayangnya kesadaran
masyarakat untuk menjaga kebersihan masih memprihatinkan. Sampah berserakan di
sekitar pantai. Padahal tepat di seberang pantai terletak kantor gubernur. Wah,
wah!
Tak jauh dari
pantai terdapat pelabuhan kapal laut. Menjelang jam 4 sore para pengunjung
pantai makin merapat ke tepi pantai, seakan menunggu sesuatu. Tak lama terdengar
peluit kencang. Tampak sebuah kapal penumpang—kabarnya dari Surabaya
atau Makassar —mendekat ke pelabuhan. Semakin
dekat dan dekat, makin membesar, hingga akhirnya kapal merapat ke pelabuhan dan
berhenti. Wah… “tontonan” yang menarik. Kapal tampak begitu dekat. Saya yang
jarang menyaksikan kapal masuk ke pelabuhan yang dekat dengan pantai untuk
publik, kelihatan noraknya :D.
Port Numbay atau Jayapura?
Tahun 2009 saat
saya ke sana , kota Jayapura genap berusia 1 abad. Saat
berjalan-jalan di sekitar kota ,
saya melihat beberapa baliho besar dengan tulisan “Port Numbay”. Beberapa waktu
setelah itu saya mendengar kabar bahwa Jayapura akan berubah nama menjadi “Port
Numbay”. Saat saya mengecek ke Mbak Henny, katanya nama tersebut belum resmi. Port
Numbay sendiri memang bukan nama yang aneh bagi warga Jayapura. Sebab pada awal
keberadaannya, nama kota
ini adalah Numbai, yang kemudian berubah menjadi Hollandia pada tahun 1910.
Selanjutnya berubah menjadi Kotabaru, dan berubah lagi menjadi Sukarnopura.
Pada tahun 1968 kembali berubah menjadi Jayapura, yang berasal berarti kota kemenangan. Wah, apa
nggak capek ya berubah-ubah? :D.
Apapun namanya, Jayapura atau Port
Numbay, suatu hari nanti saya akan bertekad kembali lagi, untuk menyusuri
keindahannya yang “memabukkan” :D. [Dee]
Jayapura, Kota Indah dan Unik yang "Memabukkan"
4/
5
Oleh
galerikaryaflp