Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Sabtu, 24 Desember 2011

Jayapura, Kota Indah dan Unik yang "Memabukkan"

Oleh Rahmadiyanti Rusdi (Majalah Ummi, 2011)


Koleksi Rahmadianti Rusdi

Setelah transit dua kali, di Makassar dan Biak, serta menempuh perjalanan selama lebih dari tujuh jam, akhirnya menapak juga saya di ibukota provinsi paling timur Indonesia, Jayapura. Sebuah perjalanan yang begitu excited bagi saya, bahkan dibanding perjalanan-perjalanan ke daerah lain, luar negeri sekalipun. Sewaktu masih SD saya pernah membaca sebuah novelet di sebuah majalah wanita. Setting novelet tersebut di Papua (dulu masih Irian Jaya), dan sangat berkesan buat saya. Sejak itu saya bermimpi suatu hari kelak dapat mengunjungi Papua. Lebih dari dua puluh tahun kemudian, mimpi tersebut terwujud.

Balada Buah Pinang
“Dilarang Makan Buah Pinang!”. Tulisan tersebut menyambut saya saat tiba di Bandar Udara Sentani, kota Jayapura. Terpasang di dinding dan pilar berbagai sisi dan penjuru. Heran sekaligus tersenyum-senyum saya membacanya. Biasanya kan tulisan yang sering dipasang di tempat publik adalah “Dilarang Merokok”, lha kok jadi buah pinang? Kemudian saya perhatikan di lantai dan dinding bawah bandara banyak bercak-bercak merah, yang meski terlihat berusaha dibersihkan, tapi masih meninggalkan noda. Ow, sepertinya ini alasan pelarangan tersebut. Masih banyak warga Papua yang memiliki kebiasaan mengunyah buah pinang, seperti kebiasaan mengunyah sirih di Jawa. Sayangnya mereka sembarangan meludah kunyahan buah pinangnya, sehingga harus ada pelarangan. Sampai ada perda (peraturan daerah) lho yang mengatur soal “ludah” buah pinang ini. Wah!
Sambil menunggu bagasi, saya memperhatikan kondisi bandara. Sangat minimalis, maksudnya serba minimal kondisinya, hehe. Tak begitu besar dan sedikit kusam. Tak ada ban berjalan untuk bagasi. Koper dan tas diletakkan saja bertumpuk dan kita harus berebut menemukan bagasi milik kita. Agak miris juga, sebab ini adalah bandara di ibukota provinsi. Tapi rasa miris tersebut mengalahkan rasa excited saya.
Keluar dari bandara, beberapa rekan FLP (Forum Lingkar Pena) Papua telah menunggu saya. Alhamdulillah, saya dapat mengunjungi Papua karena undangan dari mereka, yang masya Allah… begitu semangat menyebar dakwah bil qalam di Papua. Mbak Henny, ketua FLP Papua, rutin mengontak saya dan menyatakan keinginannya  mendirikan FLP di Papua. Namun baru terwujud setelah 6 tahun mempersiapkan diri!

Mabuk
“Lho, lho… kok ngepot, dia mau nabrak mobil kita!” saya sedikit terpekik. Saat itu baru setengah jam kami keluar dari bandara, menuju hotel tempat saya menginap. Sebuah motor tampak berjalan zig-zag dan sedikit ngebut. Mbak Henny hanya tertawa. “Tenang, Mbak,” katanya, “Di sini biasa motor seperti itu. Kecelakaan paling banyak yang terjadi di sini, ya kecelakaan motor. Bahkan sering juga mereka masuk danau,” sambungnya sambil menunjuk Danau Sentani yang persis berada di pinggir jalan raya menuju kota.
Hah?! Saya sukses menggeleng-geleng. Mau tahu kenapa pengendara motor tersebut berjalan ngepot? M-a-b-u-k. Ya, kebiasaan mabuk adalah hal biasa bagi sebagian masyarakat Papua, terutama yang tinggal di perkotaan. Minum-minum, kemudian mengendarai motor. Lha, nggak heran jee, mereka sesukanya saja ngebut, menyalip, dan… nyemplung ke danau dengan sukses.
Selain pemandangan unik yang “memabukkan”, perjalanan dari Sentani menuju kota Jayapura sangat indah. Danau Sentani yang membujur dan diapit kiri-kanan bukit hijau begitu menenangkan. “Jangan berharap melihat penduduk memakai koteka di Jayapura sini, ya, Mbak,” seloroh Mbak Henny, keturunan Jawa tapi lahir dan besar di Papua. Kota Jayapura memang sudah modern. Tak sulit menemukan restoran fastfood dan makanan seperti KFC dan Dunkin Donuts. Kalau mau melihat penduduk berkoteka maka kita harus ke daerah pedalaman seperti Asmat misalnya.


Menyelinap di MacArthur
Teluk Youtefa dan Situs Tugu MacArthur bisa dibilang sebagai dua tempat yang wajib dikunjungi di Jayapura Terletak di Ifar Gunung, kurang lebih 40 menit perjalanan dari kota Jayapura, Tugu MacArthur adalah lokasi di mana pasukan sekutu Amerika di bawah pimpinan Jenderal MacArthur mendarat pertama kali di bumi Cendrawasih. Alkisah, pada 7 Desember 1941 Jepang memulai Perang Pasifik dengan menyerang Pearl Harbour di Hawaii. Pasukan Amerika melakukan perlawanan meski di bawah tekanan Jepang. Pada Maret 1942 Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan MacArthur dan keluarganya menuju Australia. Untuk memutuskan jalur laut Australia, Jepang berusaha mengurung Irian, tapi gagal dan dapat dihentikan  pasukan Australia. Pasukan sekutu kemudian mengambil alih pertahanan dan memulai operasi militer yang panjang untuk mengusir Jepang dari Irian. Pada Februari 1943 Sekutu menang kendali atas Irian bagian tenggara. Mereka kemudian bergerak di sepanjang pantai utara Irian dan akhirnya membuat pertahanan di Jayapura.
Saat kami tiba di situs Tugu MacArthur, gerbang tugu belum dibuka. Ketika mencoba mengecek, tidak ada satu pun penjaga. Wah, padahal saya penasaran dengan tugu ini. Salah satu rekan mencoba mencari tahu, tapi dia malah menemukan celah di antara gerbang yang bisa dilalui, meski harus memepet ke dinding. Nakal sih, tapi masak kami harus balik tanpa sempat masuk ke situs? Jadilah satu persatu kami masuk dengan mengempiskan perut, hehe, karena celah tersebut benar-benar hanya cukup untuk satu orang berdiri miring. Dan… berhasil!
Pemandangan danau Sentani dengan bukit-bukit hijau benar-benar memikat dilihat dari Tugu MacArthur. Letak tugu yang cukup tinggi membuat mata saya benar-benar dimanjakan. Hamparan langit biru berpadu dengan awan putih. Sesekali terlihat pesawat take off dari Bandar Udara Sentani yang posisinya memang terlihat jelas dari tugu. Hmm, pantas MasArthur memilih tempat tersebut sebagai markas, karena dia dengan mudah dapat mendeteksi pergerakan musuh (baca: pasukan Jepang). Saat ini pun wilayah tersebut menjadi kompleks militer.
Dari Tugu MacArthur saya dan teman-teman bergerak menuju daerah Megapura Skyline. Dari lokasi ini kita dapat melihat Teluk Youtefa yang merupakan salah satu wilayah konservasi yang ada di kota Jayapura. Seperti halnya situs MacArthur, melihat Teluk Youtefa dari atas sangat memikat. Rasanya tak lepas mata memandang teluk dengan dua pulau kecil di sekitarnya, yakni pulau Tobati dan Engros.

Teluk, Bukit, Pantai, Sama Cantiknya
Dari Teluk Youtefa kami langsung meluncur ke kota Jayapura. Namun sebelum sampai di kota Jayapura, kami singgah di Polimak.Bukit yang dipenuhi pemancar berbagai stasiun televisi ini adalah tempat yang sangat strategis untuk memoto Jayapura dari atas. Kota Jayapura dengan Teluk Humbold terlihat begitu ganteng (bosan ah cantik melulu :D). Atap-atap rumah yang terbuat dari seng sesekali menyilaukan mata. Di bagian pinggir bukit ada rangka-rangka besi, yang ternyata merupakan plang besar bertuliskan “Jayapura”, yang hanya dapat kita lihat dari kota Jayapura. Teman-teman dengan berani menyusuri batang-batang besi. Saya? Haduh, masih harus pulang ke Jakarta dengan badan lengkap, hehe.
Setelah puas berfoto dan minum es kelapa, saya dan teman-teman beranjak menuju kota Jayapura. Tujuan utama adalah pantai, yang lebih dikenal dengan Pantai Dok 2. Setelah shalat di masjid yang cukup besar di markas tentara, kami menuju pantai. Sore menjelang dan cukup banyak pengunjung yang mandi atau sekadar duduk-duduk di tepi pantai yang cukup rapi dengan konblok. Airnya begitu bening. Sayangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan masih memprihatinkan. Sampah berserakan di sekitar pantai. Padahal tepat di seberang pantai terletak kantor gubernur. Wah, wah!
Tak jauh dari pantai terdapat pelabuhan kapal laut. Menjelang jam 4 sore para pengunjung pantai makin merapat ke tepi pantai, seakan menunggu sesuatu. Tak lama terdengar peluit kencang. Tampak sebuah kapal penumpang—kabarnya dari Surabaya atau Makassar—mendekat ke pelabuhan. Semakin dekat dan dekat, makin membesar, hingga akhirnya kapal merapat ke pelabuhan dan berhenti. Wah… “tontonan” yang menarik. Kapal tampak begitu dekat. Saya yang jarang menyaksikan kapal masuk ke pelabuhan yang dekat dengan pantai untuk publik, kelihatan noraknya :D.

Port Numbay atau Jayapura?
Tahun 2009 saat saya ke sana, kota Jayapura genap berusia 1 abad. Saat berjalan-jalan di sekitar kota, saya melihat beberapa baliho besar dengan tulisan “Port Numbay”. Beberapa waktu setelah itu saya mendengar kabar bahwa Jayapura akan berubah nama menjadi “Port Numbay”. Saat saya mengecek ke Mbak Henny, katanya nama tersebut belum resmi. Port Numbay sendiri memang bukan nama yang aneh bagi warga Jayapura. Sebab pada awal keberadaannya, nama kota ini adalah Numbai, yang kemudian berubah menjadi Hollandia pada tahun 1910. Selanjutnya berubah menjadi Kotabaru, dan berubah lagi menjadi Sukarnopura. Pada tahun 1968 kembali berubah menjadi Jayapura, yang berasal berarti kota kemenangan. Wah, apa nggak capek ya berubah-ubah? :D.
Apapun namanya, Jayapura atau Port Numbay, suatu hari nanti saya akan bertekad kembali lagi, untuk menyusuri keindahannya yang “memabukkan” :D. [Dee]


Related Posts

Jayapura, Kota Indah dan Unik yang "Memabukkan"
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.