Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Minggu, 24 Juni 2012

Dari Masjid ke Masjid di Hongkong

Dari Masjid ke Masjid di Hongkong

Oleh Rahmadiyanti Rusdi (Majalah Ummi, Juni 2012)


Koleksi Rahmadiyanti Rusdi



Belanja dan bermain di Disneyland mungkin jadi agenda utama wisatawan Indonesia yang berkunjung di Hong Kong. Namun bagi saya, masjid-masjid di Hong Kong lebih menarik untuk dijejaki.

Dari sebuah kartu lebaran
Berawal dari sebuah kartu lebaran yang dikirim oleh seorang sahabat pegiat FLP (Forum Lingkar Pena) Hong Kong bertahun lalu.  Sederhana saja gambar yang ada di kartu tersebut; sebuah masjid dengan kubah besar. Tapi karena masjid tersebut terletak di Hong Kong, negeri minoritas muslim, maka jadi begitu istimewa bagi saya—yang tak menyangka ada masjid sebesar itu di sana. Saya pun ber-azzam, bila suatu hari mendapat kesempatan berkunjung ke Hong Kong, saya akan datang ke masjid yang gambarnya tertera di kartu tersebut.
Kesempatan itu pun datang. Tabungan cukup, saya pun membeli tiket Jakarta-Macau-Hong Kong-Jakarta. Awalnya saya hanya berniat ke Masjid Kowloon, masjid yang ada di kartu lebaran tersebut. Namun siapa sangka, Hong Kong memiliki 5 masjid besar. Alhamdulillah, seharian saya bisa mengunjungi 4 dari 5 masjid tersebut, sambil mengunjungi objek-objek wisata terkenal di Hong Kong.

Masjid Ammar & Osman Ramju Sadick Islamic Centre
Pagi-pagi sekali, saya janjian dengan Chalim di depan Konsulat Jenderal RI di Wan Chai, Causeway Bay. Chalim adalah pekerja migran yang telah 8 tahun bekerja di Hong Kong. Saat itu Chalim cukup punya waktu luang karena sedang menunggu kontrak kerja baru.  Dengan Chalim lah saya menapaki satu demi satu masjid di Hong Kong.
Tujuan pertama kami adalah Masjid Ammar & Osman Ramju Sadick Islamic Centre. Dari jalan dekat Konjen RI kami naik trem menuju Oi Kwan Road, Wan Chai, lokasi masjid ini. Trem adalah angkutan publik yang paling saya suka selama di Hong Kong. Murah dan seperti tertarik ke masa lalu. Jauh dekat hanya 2,3 dolar (sekitar Rp2500).  Untuk anak-anak 1,2 dolar dan kalau Anda lansia cukup bayar 1 dolar saja. Kita dapat membayar dengan uang pas atau menggunakan octopus card.
Lima belas menit perjalanan, kami sampai. Seorang pria berkopiah putih dan berjanggut lebat menyambut kami dengan ramah. Saya minta izin untuk melihat-lihat. Sebuah poster besar dengan foto-foto masjid dari seluruh dunia menyapa saya tak jauh dari pintu masuk. Masjid Ammar & Osman Ramju Sadick Islamic Centre dibuka sejak tahun 1981. Daya tampungnya cukup besar, sekitar 700 jamaah. Karena masih pagi, suasana terasa sepi. Saya dan Chalim naik ke lantai dua, tempat shalat wanita. Bersih…. Lantai berkarpet hijau lumut membuat kaki saya terasa hangat. Rak-rak buku pendek terletak di sudut masjid. Juga meja-meja kecil untuk anak-anak mengaji. Suasana sunyi membuat saya tepekur sejenak, berucap hamdalah dan tasbih.
Setelah tiga puluh menit, saya dan Chalim beranjak. Kembali dengan trem, kami menuju kawasan Central. Di kawasan inilah terletak Jamiah Masjid, atau dikenal juga dengan Masjid Shelley Street. Namun sebelumnya kami ke Victoria Peak terlebih dahulu. Victoria Peak atau The Peak adalah objek wisata terkenal di Hong Kong. Bisa dibilang, tidak ada wisatawan yang tidak ke The Peak  saat berada di Hong Kong. Untuk mencapai The Peak, kita dapat naik bus atau trem khusus. Tentu, saya memilih naik trem. Tiket pp trem khusus ke The Peak sebesar 40 dolar. Dari The Peak, kita dapat melihat Hong Kong dari atas. Sangat menawan. Saya tak jemu memandang gedung-gedung jangkung Hong Kong di bawah sana dengan latar belakang bukit dan gunung.

Jamiah Masjid (Masjid Shelley Street)
Dari The Peak kami turun kembali ke kawasan Central. Di The Peak Tram, stasiun untuk naik trem ke The Peak, antrean orang sudah mengular. Bersyukur juga kami ke The Peak pagi-pagi, karena tak perlu antre. Saya dan Chalim bergegas menuju Jamiah Masjid, tujuan masjid kedua. Kali ini perjalanan tambah menarik, sebab untuk menuju masjid tertua di Hong Kong tersebut, kami melewati Mid Levels alias eskalator (tangga jalan) terpanjang di Hong Kong—menurut beberapa sumber bahkan merupakan eskalator terpanjang di dunia. Diapit gedung dan bangunan, panjang eskalator tersebut sekitar 800 meter. Bila kita naik eskalator ini dari titik awal hingga ujung, maka waktu yang diperlukan sekitar 25 menit.
Jamiah Masjid terletak di Shelley Street, tak jauh dari Mid Levels. Dibangun tahun 1849, masjid ini termasuk dalam daftar bangunan bersejarah di Hong Kong yang harus dilestarikan. Dengan cat berwarna hijau dan pohon-pohon besar di sekitarnya, saya langsung “nyeeesss” saat memasuki masjid ini. Adem. Beberapa pria berwajah Timur Tengah tersenyum. “Do you want to pray, Sis?” tanya salah satu dari mereka ramah. Saya mengangguk. Sudah masuk waktu zuhur. Pria tersebut kemudian menunjukkan tempat shalat untuk muslimah dan menyalakan kipas angin.
Cukup lama saya menikmati suasana sejuk di masjid ini selepas zuhur, sambil meringankan kaki. Saya mengamati sekitar masjid. Agak sulit mengambil gambar masjid ini secara keseluruhan, karena letaknya yang diapit gedung dan bangunan. Desain masjid ini memang terlihat “old”. Sebuah menara tak terlalu tinggi dengan kubah bulat, khas masjid Timur Tengah. Setelah jepret sana-sini, kami kembali beranjak. Tujuan berikutnya adalah Masjid Stanley, yang terletak agak di luar kota.

Masjid Stanley
Kami naik bus berukuran sedang dengan tarif 9 dolar. Waktu tempuh perjalanan dari kawasan Central ke Stanley di bagian tenggara hampir satu jam. Stanley adalah kawasan pantai di Pulau Hong Kong. Masjid ini terletak tak jauh dari Penjara Stanley. Memasuki jalan kecil Tung Tau Wan sekitar 30 meter, langsung terlihat bangunan berwarna kuning tua. Jalan yang menurun membuat masjid terlihat jelas dari atas. Di sekitarnya terdapat beberapa apartemen.
Dengan antusias saya setengah berlari menuju masjid. Masjid yang cantik dan unik. Saya dan Chalim kemudian duduk di pagar pendek dekat masjid. Bekal makan siang kami belum tersentuh sejak dari Jamiah Masjid. Masjid tampak sepi, mungkin karena telah lewat waktu shalat. Beberapa pria berkopiah dan wanita berhijab tampak di sekitar apartemen. Seorang pria berwajah Arab menunjuk pantai tak jauh dari masjid. “That’s a beach, Sis. It’s quite beautiful. Go there…” katanya.  Setelah merapikan bekas makan siang, kami pun beranjak ke pantai yang ditunjukkan oleh bapak tersebut. Betul, pantai tersebut cukup indah. Bersih dengan air laut yang bening.
Sekitar satu setengah jam berkeliling masjid dan menikmati suasana pantai, kami bergegas menuju halte bus. Hari semakin sore, dan masih ada satu masjid tujuan saya. Masjid yang ada di kartu pos kiriman teman saya. Masjid Kowloon….

Masjid dan Islamic Centre Kowloon
 Masjid Kowloon adalah satu-satunya masjid yang terletak di Semenanjung Kowloon. Tepatnya di Nathan Road. Ya, nama jalan ini juga sangat terkenal. Salah satu pusat keramaian—sangat ramai—di Hong Kong. Sekitar 300 meter berjalan dari stasiun MTR Tsim Tsa Shui, melewati pertokoan-pertokoan mewah, sampailah saya di masjid yang saya impikan untuk saya jejaki sejak bertahun lalu. Di sekitar masjid banyak pria berwajah Timur Tengah menawarkan kami untuk makan malam . “Halal, Sister, halal.” Saya hanya tersenyum. Untuk mencari makanan halal di sekitar Masjid Kowloon memang sangat mudah.
Senja makin turun, beberapa orang—seperti kami—juga bergegas ke masjid yang dibangun tahun 1896 itu. Magrib menjelang. Anak-anak kecil tampak bermain di tangga masjid. Tak lama azan bergema. Saya langsung menuju ruang shalat muslimah. Saya cukup kaget dengan ruang shalat muslimah yang kecil untuk ukuran masjid terbesar di Hong Kong dengan kapasitas 2.000 jamaah. Tapi, syukur tentu lebih harus panjatkan.
Selesai shalat magrib berjamaah, saya mencari angle untuk memotret masjid ini. Tapi… cukup sulit mencari angle yang pas. Dari beberapa foto di internet, untuk mengambil gambar masjid terlihat secara keseluruhan sepertinya memang harus dari atas. Mungkin dari gedung tinggi di sekitarnya atau dari sudut lain. Karena menjelang malam, saya hanya dapat mengambil gambar dari seberang jalan. Beberapa jepretan mengakhiri perjalanan saya menjejak masjid-masjid di Hong Kong. Sebenarnya ada satu lagi masjid yang cukup besar, yakni Masjid Chai Wan yang terletak di Cape Collision, Chai Wan. Sayang, waktu tak memungkinkan saya berkunjung ke masjid yang juga satu lokasi dengan pekuburan muslim tersebut. Mungkin suatu hari nanti, insya Allah…. 

Alamat masjid-masjid di Hong Kong:
  • Masjid Ammar & Osman Ramju Sadick Islamic Centre: 40 Oi Kwan Road, Wan Chai, Hong Kong.
  •  Jamiah Masjid (Shelley Street Mosque): 30 Shelley Street, Central, Hong Kong.
  • Kowloon Mosque and Islamic Centre: 105 Nathan Road, TST (Tsim Sha Tsui), Kowloon.
  • Masjid Stanley:  Tung Tau Wan Road, Stanley Prison, Stanley, Hong Kong



Rabu, 20 Juni 2012

Sangkaan Salah Buku Sekolah

Sangkaan Salah Buku Sekolah

Oleh Agus M Irkham (Koran Tempo, 20 Juni 2012)

flp-aceh.net
"Kampanye" anti-membaca buku kembali berulang. Sementara dulu menyasar buku-buku wacana kiri jauh (sosialisme-komunisme) dan kanan jauh (radikalisme agama), kini giliran buku-buku pengayaan di perpustakaan. Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Syahid Samurai, dan Festival Syahadah adalah empat judul novel yang diprasangkai sebagai novel porno. Keempat novel tersebut terselip di antara ribuan buku perpustakaan sekolah dasar, baik di Jawa Tengah (Kabupaten Kebumen) maupun di Jawa Barat (Kabupaten Bandung).

Di Jawa Tengah berujung pada penarikan. Pun di sebagian SD di Jawa Barat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat merasa perlu--atas desakan sebagian kecil masyarakat--turut meneliti pula apakah keempat novel tersebut porno atau tidak. Termasuk rencana bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam teknis penarikannya di seluruh perpustakaan SD se-Jawa Barat jika memang, berdasarkan hasil penelitian MUI, keempat novel tersebut tergolong lucah (cabul).

Isu terus menggelinding. DPR pun berencana meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kejelasan dan penjelasan (klarifikasi) keempat novel itu. Sebab, keempatnya dinyatakan lolos berdasarkan penilaian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Artinya, buku tersebut layak dibaca oleh siswa.

Di tengah keriuhan yang kian meninggi tentang isi buku sekolah yang disangkakan salah (lucah) itu, ada tiga temuan menarik--untuk tidak mengatakan penuh misteri--yang saya dapat.

Pertama, keempat novel itu ditemukan di perpustakaan SD, padahal isinya bukan untuk pembaca yang duduk di bangku SD. Bahkan, buku Ada Duka di Wibeng, di sampul depan dan belakangnya jelas-jelas ditulis untuk remaja (teenager). Setting atau latar cerita juga sekolah menengah atas, termasuk tokoh-tokoh yang ada, lengkap dengan tema yang diangkat dan perbincangan tokoh-tokohnya yang khas anak SMA.

Dari sini muncul pertanyaan kunci, bagaimana ceritanya buku yang jelas-jelas untuk anak SMA tersebut bisa tersesat di perpustakaan SD. Dugaan sementara, ini akibat sistem distribusi yang acak adut, dengan mengabaikan kualifikasi isi dan karakteristik sasaran penerima (pembaca). Kebetulan keempat novel itu didistribusikan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus pemerintah pusat ke daerah.

Kedua, entah kebetulan entah tidak, keempat novel yang disyakwasangkai lucah itu adalah karya para penulis yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP). Tentu publik luas memahami betul bahwa forum yang diprakarsai oleh Helvy Tiana Rosa ini berfokus pada upaya menjadikan buku (sastra) sebagai sarana atau alat untuk berdakwah. Sastra Islam, demikian frasa yang mereka kenalkan sejak 15 tahun lampau hingga kini. Buat para pembaca awam, termasuk kami yang bergiat di Taman Bacaan Masyarakat (TBM), temuan kedua ini sangat paradoksal. Rasa-rasanya mustahil jika FLP yang mengusung karya sastra Islam justru menulis hal-ihwal yang menjurus ke pornografi.

Atas dasar itu, ikhtisar kuat saya, sangkaan porno itu salah. Saya tidak sampai hati dan gegabah menduga-duga bahwa isu pornografi ini menjadi modus "kelompok tertentu" untuk menjaili FLP. Asnad yang bisa saya kemukakan paling akibat cara pembacaan yang sepenggal-sepenggal, tidak memahami konteks keseluruhan cerita, tidak mampu menemukan unsur pembangun cerita yang bersifat simbolis (intrinsik), dan terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Bisa jadi--mohon maaf, dengan berat hati harus saya katakan--ini cermin masih rendahnya tingkat mamah kertas (memahami bacaan) masyarakat, terutama para pemilik kuasa birokrasi pendidikan di daerah, termasuk para guru.

Ketiga, saya mendapatkan temuan yang lagi-lagi "kebetulan". Keempat novel tersebut diterbitkan oleh penerbit yang sama, yaitu PT Era Adi Citra Intermedia Solo. Tilikan itu di kalangan para pegiat literasi memunculkan rupa-rupa dugaan. Salah satunya, isu buku porno adalah akibat persaingan bisnis antar-"kartel" (konsorsium) penerbit buku proyek belaka. Sebab, keempatnya memang dipasarkan melalui DAK. Benar-tidaknya dugaan itu, saya kira perlu ada investigasi tersendiri. Yang jelas, sudah menjadi jamak diketahui bahwa "kue buku" melalui DAK ini besar sekali.

Tentang kabar pustaka ini, menurut saya, kita harus berhati-hati. Jangan serba tergopoh-gopoh mengambil kesimpulan. Lebih-lebih langsung digulirkan ke masyarakat melalui media. Jangan sampai justru menjadi serangan balik (kampanye negatif) bagi upaya gerakan budaya membaca secara luas. Kekhawatiran kami, para pegiat literasi dan pengelola TBM, berita-berita negatif tentang buku, khususnya isu porno, akan membuat para orang tua semakin menjauhkan anak-anaknya dari TBM dan perpustakaan tempat buku dihimpun dan dilayangkan, dengan dalih khawatir bakal membaca buku porno.

Tuduhan buku porno adalah sangkaan serius. Dan itu bisa membunuh karakter penulis dan penerbitnya yang dalam konteks budaya baca berarti terkait dengan produktivitas buku dan jaminan ketersediaan bacaan, baik ragam (kualitas) maupun jumlah (kuantitas).

Agus M Irkham, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

Jumat, 15 Juni 2012

Salah Distribusi, Penulis Terfitnah!

Salah Distribusi, Penulis Terfitnah!

Esai Yeni Mulati (Solo Pos, 15 Juni 2012)

Dunia perbukuan kembali dibuat hiruk-pikuk. Jika beberapa waktu yang lalu diramaikan kasus lembar kerja siswa (LKS) dengan muatan yang tak layak untuk anak-anak, sekarang diramaikan dengan aneka buku ”porno” yang didistribusikan ke perpustakaan SD. Tujuh buku dituding sebagai buku sarat muatan seksual yang tak cocok untuk siswa SD. Tujuh buku ”porno” itu ternyata diterbitkan PT Era Adicitra Intermedia Solo.

Dari tujuh buku tersebut, empat di antaranya ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena, yakni Tidak Hilang Sebuah Nama (Galang Lutifyanto), Ada Duka di Wibeng (Jazimah Al Muhyi), Syahid Samurai (Afifah Afra, nama pena saya sendiri) danFestival Syahadah (Izzatul Jannah). FLP adalah organisasi pengaderan penulis dengan karya-karya mencerahkan.
Koran Pikiran Rakyat, Bandung, misalnya, dalam terbitan edisi Selasa (12/6) menuliskan: Menurut Guru kelas VI SD Cempaka Arum, Basin, pada bab 9 (Buku Ada Duka di Wibengpen) berjudul Asal Mau Sama Mau ada pemaparan cerita yang sangat vulgar. Misalnya, disebutkan bagaimana berhubungan badan tetapi tidak sampai hamil dan terkena penyakit. Hal itu sangat tidak pantas dibaca anak usia SD karena mereka dapat menyalahartikan.

Lebih seram lagi adalah berita di koran Republika  edisi Selasa (12/6) yang ditulis oleh Arie Lukihardianti. Silakan disimak: Novel Ada Duka di Wibeng sarat muatan seksual yang tak layak dibaca murid SD, pada beberapa bagian, tertulis dalam novel tersebut, anjuran untuk melakukan hubungan seksual yang aman alias tidak hamil, dan membenarkan hubungan seksual siswa SMP dengan asas suka sama suka.

Sedangkan novel Syahid Samurai, novel tersebut dianggap penghancur moral anak-anak dengan menyajikan cerita berbau seksual dengan wanita kedua. Sedangkan novel Festival Syahadah dan Sabuk Kiaki menggambarkan kekerasan perang di Palestina dan menyajikan gambar berbau kekerasan.

Penafsiran Keliru
Ada beberapa hal yang ingin saya cermati dari realitas tersebut. Saya melihat ada semacam penafsiran yang keliru, khususnya pada empat novel yang telah saya baca, dan bahkan novel Syahid Samurai itu saya tulis sendiri. NovelDuka di Wibeng menceritakan seorang tokoh bernama Akta yang bersekolah di SMA Widya Bangsa dan dipelesetkan menjadi Wibeng.

Akta adalah seorang remaja yang hidup di antara para remaja SMA dengan segala pergaulannya yang kacau balau. Di Bab IX yang menghebohkan itu diceritakan bagaimana bobroknya anak-anak SMA Wibeng yang sudah dilanda demam free sex. Judul bab itu adalah Asal Mau Asal Mau? Tanda tanya di akhir judul sebenarnya menunjukkan sebuah tanda tanya penulisnya akan problematika free sex di antara remaja.
Agar jelas, inilah petikan bab itu.

“Pokoknya, asal mau sama mau, gak masalah, kok.”
Akta menegakkan telinga.
“Eh, tapi harus tahu trik-trik jitunya. Jangan sampai hamil, juga kena penyakit kelamin. Gawat kan kalau sampai kena gituan.”
“Eh, ini nih… ada cara praktis yang manjur. Udah banyak yang ngebuktiin!”
“Mana … mana?”
“Eh, katanya sperma itu…”
“Nah, di majalah ini dikatakan, sel telur itu kalau ketemu ama sperma….”
“Eh, ada yang asyik punya, nih. Petunjuk dengan pakai KB kalender!”
Akta berlalu dengan cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan. Suara-suara perempuan. Akta merasa sangat risi. Kok bisa sih, mereka tidak malu membicarakan masalah semacam itu?

Mari kita cermati tulisan tersebut! Di petikan itu terlihat jelas bahwa Akta tidak setuju dengan apa yang disampaikan para perempuan yang ia sebut ”tidak malu” itu. Di dalam fiksi kita mengenal tokoh antagonis. Hanya orang bodoh yang justru menuruti pesan-pesan yang dibawa oleh tokoh antagonis. Sebagaimana dalam kisah Bawang Merah dan Bawang Putih. Tentunya, para pembaca tak akan menganggap pesan yang dibawa si tokoh antagonis Bawang Merah sebagai pesan moral yang harus diikuti.

Demikian pula dalam buku Ada Duka di Wibeng. Dari petikan tersebut, tampak jelas bahwa kata-kata itu muncul dari tokoh antagonis yang ditentang Akta, sebagai tokoh pembawa pesan penulis. Dan, apakah novel ini sarat muatan seksual? Ketika saya membaca buku ini dengan seksama, ternyata saya hanya menemukan adegan ”vulgar” itu pada petikan saya saya cantumkan di atas!

Dan, apakah adegan tersebut adalah sebuah penggambaran dari hubungan badan sebagaimana yang terdapat pada buku-buku porno yang banyak beredar di toko-toko buku dan bisa dengan mudah dibeli anak-anak? Silakan Anda menjawab sendiri! Novel Syahid Samurai (SS) yang saya tulis dengan nama pena Afifah Afra juga dituduh sebagai perusak moral bangsa karena ada hubungan seksual dengan wanita kedua.

Baiklah, saya terangkan isi novel tersebut. Novel SS adalah sekuel dari novel Bulan Mati di Javasche Oranje(BMDJO) yang mendapatkan penghargaan sebagai runner up novel terbaik FLP Award 2002. Tokoh utama novel tersebut adalah Mahmud dan Johana. Pada novel BMDJO, diceritakan bahwa Mahmud dan Johana, yang telah menjadi suami istri, terpisah karena perang.

Mereka berpisah hingga puluhan tahun. Lantas, di novel SS, saya kisahkan Mahmud telah mendirikan sebuah pesantren. Ia senantiasa menduda, sementara istrinya menghilang entah ke mana. Mahmud menerima usulan seorang kiai dari pesantren lain untuk dinikahkan dengan putri koai tersebut. Kemudian, karena suatu hal, Mahmud dan Johana kembali bertemu.
Melihat Johana dalam keadaan sangat memprihatinkan, terlunta-lunta dan miskin, istri kedua Mahmud menyarankan agar Mahmud kembali menikahi Johana. Ia menerima dengan ikhlas. Apakah penggambaran semacam itu disebut sebagai merusak moral bangsa? Apalagi, di novel ini, sama sekali tak ada satu pun kata yang menjurus pada adegan seksual secara vulgar. Demikian juga di novel Festival Syadahah dan Tidak Hilang Sebuah Nama. Saya tak menemukan sedikit pun unsur yang mengarah kepada pornografi.

Salah Distribusi?
Namun demikian, tentu kami tak menampik, bahwa novel-novel tersebut memang bukan untuk anak-anak. Dan itu kami sadari betul. Ketika saya menulis Syahid Samurai, misalnya, saya juga tak membayangkan novel tersebut akan dibaca oleh anak-anak. Segmennya jelas: novel dewasa. Akan tetapi, meskipun novel tersebut bersegmen dewasa, kami juga tetap memiliki etika untuk membuat novel yang santun, tidak lucah (porno).

Akan tetapi, jika novel tersebut ditemukan di perpustakan SD, saya benar-benar kaget. Ini jelas-jelas tindakan yang menurut kami salah. Salah kaprah kian berlanjut setelah media massa kemudian mengangkat hal ini dengan tajukBuku Porno Masuk SD. Celakanya, saya sebagai salah satu penulis ”buku porno” itu tak dimintai konfirmasi sekali pun, dari siapa pun. Dan, ketika saya membaca berita-berita yang berseliweran, kesan yang ditangkap dengan kuat adalah, buku-buku itu sungguh akan merusak moral anak-anak dengan kepornoannya yang sangat vulgar.

Sebagai penulis, saya merasa sangat dizalimi. Saya sudah berusaha untuk membikin buku sesantun mungkin dengan segmen yang tepat. Lantas buku itu ”salah kamar” dan tanpa konfirmasi buku saya dituduh porno. Buku yang merusak mental bangsa dengan adegan seksual dengan wanita kedua! Sebuah tuduhan yang sangat berbeda dengan konteks cerita.

Agar peristiwa ini tak terulang, saya memohon pihak-pihak yang terkait segera melakukan beberapa hal. Pertama, pihak yang berwenang mendistribusikan buku-buku ini harus membenahi sistem distribusi. Buku sebagus apa pun jika ditujukan pada segmen yang tidak tepat, tentu akan sangat berbahaya. Dan, tampaknya jika karut-marut distribusi tak segera dibenahi, hampir semua penulis akan mengalami nasib seperti saya dan teman-teman.

Kedua, kepada para wartawan, budayakan konfirmasi! Bukankah salah satu dari etika jurnalistik adalah cover both sides? Mengapa sebagai pihak yang dirugikan atas berita ini, saya tak pernah sekali pun dimintai konfirmasi? Jangan menghakimi buku A buruk, buku B jorok, tanpa membaca isi buku tersebut. Dilihat dari berita yang berseliweran, tampak jelas para pewarta tak memahami konteks cerita dari buku-buku yang mereka wartakan.

Ketiga, kepada masyarakat luas, pahami konteks pornografi dengan baik. Jangan sekadar mengatakan itu porno, padahal buku itu sebenarnya tidak porno. Upaya perbaikan di sebuah bidang jangan sampai menimbulkan kerusakan di bidang yang lain.

Novel Islami Dibilang Novel Porno?

Novel Islami Dibilang Novel Porno?

Esai Intan Savitri (Republika, 15 Juni 2012)

Media massa sedang me rayakan sebuah 'pes ta' atas temuan buku-buku remaja yang berada di rakrak perpustakaan se kolah dasar (SD) melalui proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010. Label buku porno melalui judul beritanya dialamat kan pada sejumlah judul buku, bertebaran di mana-mana. 

'Pesta' dimulai dari harian Suara Mer deka, yang menyatakan bahwa buku Ada Duka di Wibeng karya Jazimah AlMuhyi dan Tidak Hilang Sebuah Nama karya Galang ufityanto serta Tambelo karya Redhita dari penerbit Era Intermedia yang ditemukan di Perpustakaan SD di Kebumen, adalah novel porno. 

'Pesta' tetap dirayakan hingga terakhir pada Selasa (12/6), Republika Jabar menulis judul berita "Novel 'Porno' di SD Bertambah", serta Pikiran Rakyat menulis "Lagi, Ditemukan Novel tak Senonoh" isi beritanya memberikan label porno pula pada novel perjuangan seperti Syahid Samurai karya Afifah Afra, Festival Syahadah karya Izzatul Jannah, dan Sabuk Kiai karya Dandang A Dahlan, yang kesemuanya dari penerbit Era Intermedia. 

Judul-judul berita tendensius itu mem bingkai cara berpikir pembaca tentang isi buku, pertanyaannya sudahkah media yang menulis ini melihat persoal an ini dengan lebih adil? Sudahkah mem baca bukunya dan mengonfirmasi pada penulis serta penerbitnya? Sudah kah mengonfirmasi pada pakar tentang definisi teknis pornografi? Sudahkah melihat dari sisi bagaimana buku-buku itu bisa masuk ke perpustakaan SD? Bagaimanapun buku itu masuk ke perpustakaan SD melalui anggaran DAK yang notabene melalui proses tidak sederhana serta melibatkan institusi pemerintah bernama Pusat Kurikulum Per bukuan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memberikan Surat Keputusan (SK) bahwa buku-buku ini layak dibaca untuk ma syarakat. 

Baiklah, saya akan mencoba menulis kan nya untuk Anda, mudah-mudahan ini menjadi sebuah akhir manis untuk sebuah `pesta'. 

Pornografi Dalam UU Anti Pornografi No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bab I, Ketentuan Umum disebutkan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 

Apakah arti kecabulan, eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat? Cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). 

Mari kita lihat. Novel Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al-Muhyi bercerita tentang remaja ABG yang tidak lepas dari persoalan cinta. Cerita mengalir dari fenomena-fenomena pergaulan di kalangan anak remaja. Di antaranya adalah fenomena pacaran dan pada bab-bab akhir disimpulkan bahwa pacaran tidak dianjurkan dalam Islam. 

Media kemudian menulis bahwa ada kalimat "asal mau sama mau gak masalah kok" atau "pakai kondom agar tidak hamil" kemudian memberi judul berita dengan subjek novel porno. Jika demikian, mari kita lihat kalimat seterusnya yang merupakan komentar tokoh utama yang berperan protagonis dalam bab ini. "Seks, kalau berkaitan dengan diskusi tentang kesehatan reproduksi sih bagus, malah mendalamkan ilmu biologi." 

Seks yang diobrolin hanya berorientasi pada `how to make a baby'. Kalimat ini diucapkan oleh Akta, tokoh utama dalam novel ini. Lalu kalimat lain dalam novel ini yang berbeda secara diametral dengan kalimat yang dituduh bermakna lucah atau cabul atau porno, yaitu kalimat, "Semua aturan Allah untuk kebaikan manusia. Allah tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Bagi-Nya, taat atau ingkarnya makhluk tidak mengurangi sedikit pun kebesaran dan kemuliaan-Nya." (Halaman 28). 

Apakah logis label porno diberikan pada sebuah novel yang menuliskan kalimat-kalimat ini? Membaca secara keseluruhan novel ini, dan tidak sepotong-sepotong, maka akan membawa kita sampai pada kesimpulan bahwa hubungan antarlawan jenis pada masamasa remaja perlu kehati-hatian agar tidak ter jebak pada pergaulan bebas. 

Lalu dalam novel Tidak Hilang Sebuah Nama karya Galang Lufityanto, persoalan yang ditulis di media adalah pada halaman 56. Saya tak menemukan kalimat-kalimat yang dituduhkan, bahwa isinya bermuatan pornografi karena berisi tentang necrophilia dan paedo philia. Dialog tentang necrophilia dan paedophilia ada di halaman 58. 

Saya katakan dialog, karena di halaman tersebut tidak ada kalimat yang menuliskan tentang bagaimana melaku kan persetubuhan dengan mayat, yang sering disebut sebagai necrophilia. Terlebih lagi, dalam dialog antara Nielsen dan Olive dalam buku Tidak Hilang Sebuah Nama, disebutkan bahwa Olive me rasa jijik dengan perilaku necrophilia yang sedang didefinisikan oleh Nielsen. 

"Olive terpekik. Ia buru-buru menutup mulutnya, beristighfar berulang kali, apakah ini mungkin terjadi?" Lalu di sam but dengan reaksinya yang lain, "Tapi ini menjijikkan!" Apakah jika kita membahas tentang definisi necrophilia (seperti yang seka rang sedang saya lakukan juga dalam tulisan ini) lantas isi buku itu disebut porno? Bukankah kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa sang penulis memiliki posisi yang jelas tentang penyimpangan seksual bernama necrophilia? Ia tidak mendukung perilaku menyimpang ini. Jika muncul argumentasi bahwa novel ini tidak cocok 

untuk tingkat sekolah dasar (SD), apakah lantas novel ini dengan mudah dikategorikan sebagai novel porno? Jika demikian, apakah pantas sebuah kesimpulan tergesa, tergopoh-gopoh, dan asal tuduh ini terus-menerus dilekat kan? Mungkin kita perlu melihatnya secara utuh dan menempatkan persoalan ini pada tempatnya. Jika tidak ingin ter jebak pada fitnah dan pembunuhan karakter. Mari berbenah menuju dunia literasi yang lebih baik. 

Rabu, 13 Juni 2012

Hasrat Seks Politikus

Hasrat Seks Politikus

Esai Imam MJ (Pikiran Rakyat edisi Cirebon, 13 Juni 2012)

Tahun 2010 yang silam, beratus – ratus hari dan berjuta – juta jam yang telah lalu. Di Pekarangan Kijang Mas, Para pemikir atau para pencinta keindahan menulis sebuah kitab Carita Cekak yang di dalamnya mengandung Surealisme masyarakatnya. Kitab itu di namai “ Matahari Retak diatas Cimanuk “ adalah symbol dari kecintaanya dan keseriusanya pada dunia Kesusastraan sebagai Miftahul Jannahatau kunci suwarga dunya bagi para raja – raja yang sentimentil pada penderitaan rakyatnya yang secara tidak langsung diakibatkan dari lakukampahe ing raja – raja itu sendiri.

Di dalam kitab itu terdapat sebuah carita yang benar – benar mencekik lehar para calon birokrat yang akan disandangnya. Anu Aneh. Adalah kisah yang tertuang lekat dalam kitab itu. Dikisahkan seorangabdi dalem di jajaran birokrasi bungkuk udang yang mengalami keanehan di anunya saat menatap gambar dari para penguasa di negeri ini dari Presiden, Gubernur, Walikota, Camat, Kuwu, RW hingga RT yang terpampang di ruang tamunya. Hal ini di karenakan hasrat atau nafsu birahi yang besar kepada para pejabat yang bertengget, seraya ingin menikmatinya penuh dengan ereksitas.

Keanehan itu merepotkan dirinya, karena setiap menatap potret seorang pemimpin di manapun potret itu di alun – alun, di pinggir jalan, atau di atas tempat sampah pun ia secara reflek seraya menunduk dan menyilangkan tangany di depan selangkanganya dan ereksi itu mulai menggelinjing. Pembesaran abnormal. Apalagi pas ketika berada di kantor saat mempersiapkan untuk rapat banyak para pejabat yang lalu lalang ia akan selalu menunduk dan telunjuknya mengacung. Ketika itu ada yang basah di celanya. Sementara pada istrinya anunya tidak berkutik sedikitpun hanya menunduk.

Ini adalah bagian dari kodrati manusia yang memiliki Syahwat besar pada sesuatu yang besar pula. Nafsu birahi adalah salah satu dari beberapa nafsu – nafsu yang lainya yang melekat di tubuh dan otak manusia. Birahi biasanya ini ada pada laki – laki ketika melihat perempuan denok demplon, maka getaran – getaran itu menyelubungi seluruh selangkangan dan bermuara pada anu. Tapi yang di rasakan oleh abdi dale mini adalah bukan suatu kelainan tapi birahi memang sudah menjalar ke saraf otak dan memutuskan saraf yang wajar menyambungkan pada ego dan impian akan kekuaasan.

Sebenarnya birahi yang dialami oleh abdi dalem dalam kisah itu, telah dirasakan dan diderita oleh beberapa calon birokrasi di negeri ini yang nafsunya memuncak ketika menghadapi para petinggi negeri ini. Ada hasrat untuk bercinta. Berharap agar suatu saat nanti setelah bercinta ada sperma petinggi yang membuahi janin cita – cita dan akan menjadi embrio dan terlahir dari rahimnya.
Kisah Anu Aneh adalah salah satu dari sekian judul yang ada di kitab itu adalah penulisnya adalah Raden Mas Tandy Escober atau sering di sebut oleh kalangan elit budayawan dan seniman dengan nama Tandi Skober. Beliau sangat di kenal sebagai pemuka budaya, yang benar – benar tidak menyukai melihat air mata yang di keluarkan oleh masyarakatnya yang berada di pekarangan itu. Setiap kali ia melihat warganya yang meneteskan air mata yang pedih, ia selalu mencoba mengorek kebenaran yang telah terjadi. Seperti dalam beberapa kitabnya yaitu Seribu Sujud Seribu Masjid danPelacur, Politik dan Hehe.

Tandi Skober adalah putra mahkota yang lahir dari Dermayu. Ia adalah titisan dari Pangeran Sutajaya Mas, beliau adalah salah seorang yang terpenting dalam sejarah babad dermayu dari pekandangan di Pekarangan Kijang Mas dan sekarang disebut Indramayu.
Tandi Skober sepintas namanya tidak terlalu mirip dengan P. Sutajaya Mas, tapi mari kita kaji bersama – sama. Tandi adalah nama asli beliau, skober adalah nama pena perubahan dari Escober. Sementara P. Sutajaya Mas adalah pemilik keris pusaka Setan Kober hadiah dari ayahnya yaitu Ki Jebug Angrum, beliau adalah orang yang pertama kali yang mukim dan membabad hutan di daerah pekandangan Indramayu.

Nama skober bisa di ambil dari nama keris milik P. Sutajaya Mas. Keris itu di pake oleh pangeran ketika beliau hendak melaksanakan tugas dari raja Cirebon untuk menjaga gudang pusaka Cidenok. Sementara nama Skober di pake oleh Bang Tandi untuk melaksanakan tugas – tugasnya menulis berita ketika menjadi wartawan di mimbar umum medan dan menulis esai – esai budaya yang mampu meraupi para pembaca dengan kesagaran khas sungai cimanuk dan terlihat jelas kekuatan Skober mampu memberi warna khas pad setiap kalimat yang ia tulis.
FLP: 'Novel Porno' itu Sama Sekali tak Porno

FLP: 'Novel Porno' itu Sama Sekali tak Porno



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Empat novel Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Syahid Samurai, dan Festival Syahadah yang diberitakan sebagai novel porno yang ditemukan di beberapa SD di Jawa Barat dikonfirmasi bukan novel porno.
Empat novel tersebut adalah tulisan anggota Forum Lingkar Pena (FLP). Menurut ketua FLP, Setiawati Intan Savitri ada distorsi dan penyesatan dalam pelabelan novel porno tersebut.
"Distorsi pertama adalah bukan pada isi tapi distribusi. Buku tersebut lolos penilaian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Jadi secara konten tidak masalah, yang perlu diteliti adalah distribusi sehingga tiba di sekolah dasar," jelas Intan dalam siaran pers yang diterima ROL.
Selain itu, Intan juga mengkritik pemberitaan yang tak berimbang dan cenderung tendensius. "Hampir semua media tak melakukan check dan balance. Jurnalis menelan mentah-mentah narsumb yang kami sinyalir belum membaca buku tersebut secara menyeluruh," imbuhnya.
FLP menurutnya terdepan mengajak masyarakat dalam memerangi pornografi lewat karya-karyanya. "Jangan sampai ada fitnah dan pembunuhan karakter penulis. Banyak tontonan mengandung pornografi namun karya FLP yang mengajak pada kebaikan malah dituduh porno," ungkapnya.
Intan juga meminta masyarakat membaca secara keseluruhan novel yang dimaksud sebelum memutuskan dan menuduh sesuai pemberitaan yang tak berimbang. Selain itu dia mengharap pemerintah memperbaiki proses distribusi buku dari DAK.
Helvy Tiana: Pelabelan 'Novel Porno' itu Fitnah

Helvy Tiana: Pelabelan 'Novel Porno' itu Fitnah



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh sastrawan islam, Helvy Tiana Rosa menyayangkan pelabelan 'novel porno' yang ditujukan kepada buku-buku hasil anggota Forum Lingkar Pena (FLP). Helvy secara pribadi mengenal penulis-penulisnya dan yakin bahwa  tulisan dalam buku tersebut tidak mengandung konten pornografi.

"Saya sudah baca buku itu sejak masih di majalah Annida (1991-2001). Buku-buku tersebut cocok untuk bacaan remaja, jadi tidak ada konten pornografinya," tulis Helvy dalam laman Facebook pribadinya.

Helvy mencermati ada beberapa hal yang salah kaprah sehingga kasus ini menjadi booming di masyarakat. 

"Yang salah kaprah itu tim seleksi buku pengayaan yang ditunjuk pemda sehingga merekomendasikan buku itu cocok untuk anak SD, selanjutnya beberapa guru SD tidak membaca betul namun langsung menyatakan buku itu mengandung pornografi dan terakhir media yang tak melakukan konfirmasi." imbuhnya.

Helvy juga mencermati, buku yang mengandung kontek porno yang sebenarnya malah dibiarkan distribusinya sedangkan buku yang bukan sama sekali salah penulis dan penerbit tapi tim seleksi di klaim sebagai buku porno. 

"Aneh buku yang salah tim seleksinya karena salah peruntukan dicekal tapi buku porno betulan malah didiamkan. ck..ck.." pungkasnya.


Redaktur: Hafidz Muftisany



Sabtu, 09 Juni 2012

Salah Kamar Berbuah Penarikan

Salah Kamar Berbuah Penarikan

Oleh Agus M Irkham (Suara Merdeka, 9 Juni 2012)


zenma.wordpress.com


"Meskipun tema buku yang ia tulis beragam, semuanya memiliki semangat untuk perbaikan (dakwah)"


KABAR pustaka kembali menampakkan sisi antagonis. Setelah beberapa waktu lalu ada temuan frasa ’’istri simpanan’’ pada buku lembar kerja siswa (LKS) kelas 2 sekolah dasar di Jakarta, kini mengemuka temuan buku bacaan pengayaan di perpustakaan SD di Kabupaten Kebumen yang isinya disyakwasangkakan menjurus porno. Buku itu yakni Ada Duka di Wibeng, Tambelo Kembalinya Si Burung Camar, dan Tidak Hilang Sebuah Nama.


Dari tiga judul itu, pertama disangkakan paling menjurus ke pornografi. Indikasinya ada dialog tentang trik berhubungan seks yang aman agar tidak hamil dan menceritakan cara KB kalender. Adalah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dinpora) Kabupaten Kebumen yang kemudian memutuskan menarik tiga buku terbitan PT Era Adi Citra Intermedia Solo itu dari perpustakaan 136 SD di kabupaten itu. (SM, 01-02/06/12).


Kebetulan saya sudah membaca Ada Duka di Wibeng (ADdW). Termasuk membaca ulang bab ’’Asal Mau Sama Mau?’’ di halaman 104, bukan 93 seperti diberitakan, yang disebut bermuatan pornografi. Artikel ini tidak saya maksudkan sebagai pledoi atau sebaliknya upaya memperkuat dakwaan bahwa buku karya Jazimah Al Muhyi ini memang tergolong buku lucah.


Pembacaan jernih atas sengkarut persoalan buku itu saya dekati dengan dua analisis. Pertama; analisis isi, dan kedua; analisis bingkai. Pertama; soal isi. Buku setebal 180 halaman (bukan 168 halaman seperti sering dikutip media) berisi tentang kehidupan remaja SMA. Wibeng adalah ’’singkatan’’ dari Widya Bangsa, nama SMA. ADdW adalah buku ketiga setelah Kelelawar Wibeng, dan Gendut Oke, Hitam...’’ Ketiganya dilabeli satu nama: Serial Akta. Akta adalah nama tokoh utama di serial novelet tersebut.


Karena menceritakan remaja SMA, tentu persoalan yang diangkat bertalian dengan kehidupan mereka. Mulai tawuran pelajar, geng, virus merah jambu (cinta) yang didasarkan pada keterpesonaan fisik, hingga pemahaman dan pengetahuan remaja soal seks. Melalui Serial Akta ini, tampak sekali niatan penulisnya untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi terhadap konstruksi awal pada tema-tema itu.


Semangat Dakwah


Betul, ada dialog memakai frasa ’’KB kalender’’. Tapi sejauh amatan saya, yang lebih dari 10  kali membaca ulang, tidak ada satu pun kata tentang cara ber-KB kalender. Saat frasa itu terucap, oleh penulisnya dibangun suasana ketidaksetujuan (negasi), protes, dan marah yang muncul dari si tokoh utama: Akta, dengan deskripsi,’’ Akta berlalu cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan.’’ (hlm 105).


Ketiadaan pemahaman tentang konteks suasana saat frasa ’’KB kalender’’ terucap akan membawa pada simpulan bahwa frasa itu bermakna lucah (cabul). Tentu saja, tentang konteks atau suasana (faktor intrinsik) saat dialog berlangsung ini tidak bisa dipahami oleh anak-anak SD. Memang, sejak awal, sesuai dengan keterangan pada kover depan dan belakang, serta isi dalamnya, novelet ini untuk pembaca (minimal) usia SMA.


Kedua; analisis bingkai. Pendekatan kedua ini memuat latar belakang suasana sosial batin penulisnya. Jazimah Al Muhyi, menulis dan menelurkan buku sejak 2001. Tak kurang dari 40 buku ia semai ke pasar, baik buku utuh, kumpulan cerpen, antalogi cerpen bersama penulis lain, novelet, dan kumpulan esai. Meskipun tema buku yang ia tulis beragam, ada satu garis lurus yang bisa saya tarik: semua memiliki semangat untuk perbaikan (dakwah).


Tanda yang paling tampak adalah sebagian besar bukunya berkover wanita berjilbab. Termasuk buku ADdW. Barangkali ini ada kaitan dengan komunitas yang ia libati saat awal menulis, yaitu Forum Lingkar Pena (FLP).  Publik luas mengenal forum itu sebagai komunitas kepenulisan yang berjuang mengangkat sastra Islam ke pentas nasional dan mondial.


Tentu akan menjadi sangkaan yang absurd dan mencederai akal sehat publik jika Jazimah Al Muhyi dikatakan menulis buku yang isinya mengarah pada pornografi. Terlalu besar biaya sosial dan moral yang harus ditanggung. (10)




— Agus M Irkham, alumnus Undip, pegiat literasi, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

Minggu, 03 Juni 2012

Israel Daniel

Israel Daniel

Cerpen Irna Syahrial (Republika, 3 Juni 2012)

POPOR senapanku terangkat. Mataku beradu dengan mata wajah polos di hadapanku. Rasa benci tiba-tiba menjalari hatiku membalas tatapan kebencian bocah delapan tahunan, yang mengacungkan batu sekepalan tangan ditujukan kepadaku.

“Dia musuh masa depanmu, merampas tanah yang seharusnya hanya milikmu.” Suara Rabbi Shahak seolah-olah berdesis di telingaku. “Antisemit dan primitif,” lanjutnya berulang-ulang, hampir setiap hari sambil memperagakan gerakan mencium Tembok Ratapan. Mungkin saat itu aku baru lima tahunan.

Suara-suara mengejekku dari belakang seolah-olah aku tidak berani menghadapi bocah Palestina ingusan ini, semakin memicu amarahku. Kukumpulkan rasa marah itu di ujung pelatuk pistolku. Senapanku menyalak sebelum batu di tangannya bersarang di mata kiriku. Aku masih sempat melihat peluruku begitu jitu menembus dada kirinya. Darah segar muncrat membasahi seragam sekolahnya.

Anak itu meneriakkan sepenggal kalimat bahasa Arab yang sering dikumandangkan di masjid-masjid. Tak ada rasa takut sedikit pun dari suaranya. Seakan dia bangga menjemput maut setelah menghadang tank kami di jalanan hanya dengan batu di tangan. Sendirian! Kepalaku terasa berputar. Batu dari tangan bocah itu seperti membuat bola mataku pecah. Rasa kebencian yang terpancar dari sorot mata bocah Palestina itu ternyata mampu menghasilkan energi yang luar biasa dahsyat. Bocah itu telah lebih dahulu rebah sebelum akhirnya aku juga terjerembap, bersimpuh memegang mata kiriku.

Sebelum benar-benar gelap, sesosok bayangan wanita seperti melintasi pandanganku. Tangannya berusaha menggapaiku. Namun, akhirnya dia jatuh tertelungkup menimpa tumpukan tubuh di hadapannya. Kelebatan itu terlihat seperti nyata. Aku menangis sekuat tenaga ditarik seseorang dengan keras menjauhi tumpukan tubuh bermandikan darah. Sketsa mengerikan itu mengantarku ke dalam lengang.

Sesaat kesadaranku hilang. Hanya terdengar suara gaduh, ingar-bingar yang jauh, lalu diam. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku tersadar kembali saat mendengar suara tembakan beruntun beberapa kali. Aku berusaha membuka mata walau kepalaku terasa berat. Aku bergidik! Tubuh bocah kecil itu ternyata sedang ditembaki beramai-ramai oleh rekan-rekanku. Tubuh bersimbah darah itu berkedut beberapa kali setiap timah panas menembus tubuhnya, sampai akhirnya dia mengejang. Sepertinya semua rekan-rekanku tak ingin kehilangan momen berharga mengakhiri riwayat bocah kecil penggenggam batu yang berani-beraninya melawan tentara Israel hanya dengan batu di tangan. Mungkin masih terlalu dini baginya untuk tahu sepak terjang Stern, Irgun, dan Haganah dulu menghancurkan De’ir Yasin [1].

Aku tercekat dengan pemandangan mengerikan di hadapanku. Aku ingin berpaling, tapi entah mengapa tangan Rabbi Shahak terasa seolah-olah mengelusku, memberi kekuatan dan memberkati hari pertamaku bertugas dalam wajib militer.

Anggota patroli yang belum semuanya kukenal baik kembali berlompatan menaiki tank-tank dengan wajah terlihat puas sambil melempar joke penuh cemoohan kepada bocah Palestina yang baru saja kami habisi. Perjalanan dilanjutkan untuk mengontrol pelaksanaan jam malam yang sebentar lagi akan diberlakukan.

Aku lebih banyak diam saat mata dikompres. Ada sedikit rasa shockdi hatiku dengan pemandangan yang baru aku alami dan aku terlibat langsung di dalamnya. Selama ini aku hanya mendengar cerita dari teman-temanku yang ikut wajib militer.

“Jangan terlalu dipikirkan, Daniel,” Mitchel Fisk, teman sefakultasku yang telah lebih dahulu memasuki wajib militer menepuk bahuku.

“Saat pertama kali ikut patroli aku juga mengalami shock yang sama sepertimu. Nanti juga kau akan terbiasa,” Fisk menawarkan permen karet di tangannya. “Lumayan, untuk mengurangi stres,” ujarnya. Aku terdiam sembari mengunyah permen karet. “Apa mungkin aku nanti akan bisa terbiasa dengan kondisi ini?”

Tank-tank kami melewati pinggiran kota, menyusuri tembok pembatas yang membelah Yerusalem. Tembok sepanjang seratus tiga puluh kilometer dengan tinggi sepuluh meter yang dulu dibangun atas inisiatif Perdana Menteri Ariel Sharon ini terlihat begitu angkuh dengan sistem monitor canggih yang di pasang di atasnya.

Di ujung jalan yang tidak bertembok pembatas, banyak warga Palestina sedang antre untuk melewatinya. Para tentara Israel bersiaga di sana. Semua warga diperiksa, mulai dari cek kartu identitas, digeledah, bahkan sampai ke pakaian dalam.

Aku melirik jam tanganku. Tinggal lima menit lagi menjelang jam lima saat akan diberlakukannya jam malam. Tapi, sepertinya masih banyak warga Palestina yang belum menyadari percepatan jam malam kali ini. Karena, memang perubahan ini diambil tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas oleh pimpinan IDF [2] wilayah Tepi Barat.

Ini bukanlah kali pertama adanya perubahan jam malam tanpa sosialisasi. Walaupun aku seorang Israel, tapi ini suatu yang kurang masuk akal dilakukan organisasi sekaliber IDF. Tapi, aku tak punya waktu untuk berpikir lebih lanjut.

Di ujung jalan, di persimpangan ke arah perumahan Ramat Shlomo, seorang laki-laki berkafiyeh berjalan dengan arah menjauhi pemukiman.

Wah, ini jatah kita nih!” seru Tom Shlaim, perwira menengah yang duduk di bagian depan tank tergelak senang.

Lewat satu menit dari jam lima! Ini adalah kartu mati bagi warga Palestina yang masih berada di luar rumah. Kami berlompatan ke depan pria berjanggut yang terlihat kaget dengan kedatangan kami.

“Anda melanggar jam malam,” komandan patroli kami Mayor Ehud Oron menodongkan senapannya hanya berjarak sepuluh senti di depan kening lelaki itu. “Keluarkan kartu identitas!”

“Geledah!” suara mayor yang pernah ikut membuldoser orang-orang Palestina di lokasi penampungan pengungsi sipil dalam Operasi Jenin pada 2002 itu menggelegar.

Serdadu-serdadu berlompatan dari atas tank-tank seperti serigala lapar melihat rusa yang terkepung, menyeringai siap menerkam. Mereka berlomba mendekati lelaki separuh baya itu yang dengan tenang melirik jam tangannya. Sepertinya dia menyadari telah ada perubahan jam malam yang dipercepat secara sepihak oleh Israel.

Laki-laki itu tersenyum samar seperti paham dengan jebakan Israel kali ini. Senyumnya ternyata justru membuat kemarahan serdadu Israel menggelegak. Bertubi-tubi pukulan dan tendangan keroyokan mendarat di perut dan pelipis laki-laki itu. Laki-laki itu terbungkuk menahan sakit. Tubuhnya sempoyongan. Darah segar menghambur dari mulutnya.

Melihat lawan makin tak berdaya, gerombolan pasukan Israel makin beringas menghajar laki-laki itu tanpa ampun. Sungguh sebuah aksi tanding yang sangat tak berimbang.

“Ayo Daniel!” teriak Mitchell dengan isyarat tangannya agar aku ambil bagian dalam aksi ini membuatku tergagap.

“Adalah tugas mulia kita, menyediakan ‘tanah tanpa manusia untuk manusia tanpa tanah [3]’,” teriak Mitchell lagi. Kalimat itu telah kudengar hampir setiap hari saat aku melewati hari-hariku di Kibbutz [4]. “Yoshua datang dan memusnahkan penduduk Jericho [5] adalah misi Tuhan! Tidak boleh ada satu orang pun dari mereka yang tersisa!” jawaban seperti itu selalu diberikan Rabbi Shahak sambil membuka Perjanjian Lama saat aku bertanya mengapa Israel harus terus-menerus menghabisi Palestina.

Aku masih terpaku saat tubuh laki-laki Palestina itu oleng. Aku tercekat ketika sebuah hantaman keras senjata laras panjang seorang serdadu Israel menghajar tengkuk lelaki itu yang membuatnya tersungkur di tanah.

Rasa kagetku belum hilang saat Letnan Moshe Ildad melompat ke atas tank. Berteriak menyuruh pasukan Israel menghindar dari tubuh lelaki Palestina itu dan bersiap menjalankan tank. Aku menahan napas di tengah sorak riang pasukan Israel menyemangati Ildad. Tank bergerak seperti sebuah tarian maut yang gemulai, menikmati setiap putaran rodanya menuju tubuh yang tergolek tak berdaya di jalanan beraspal dan siap menggilasnya.

Aku menutup mataku tak hendak melihatnya. Namun, pemandangan yang tak kalah mengerikan hadir menggantikan. Di depan mataku, siluet tumpukan tubuh laki-laki dan perempuan tumpang tindih. Dan, perempuan terakhir yang mencoba menggapaiku tersungkur, berteriak keras melihat buldoser mendekat ke arahnya. Pemandangan berikutnya tak dapat kusaksikan kecuali teriakan histeris perempuan itu serta suara-suara jerit kesakitan yang menyayat, mungkin dari tumpukan tubuh manusia itu. Aku tidak dapat menyaksikannya lagi, karena tubuhku ditarik seseorang dengan keras dan dipalingkannya.

Aku refleks membuka mata mendengar raungan keras keluar dari mulut laki-laki yang setengah jam lalu masih berdiri gagah di hadapan kami, saat roda-roda tank mulai menyentuh tubuhnya. Aku menahan napas melihat cairan putih berloncatan keluar dari kepala laki-laki itu. Tubuh itu kini tak berbentuk. Serpihan daging dan genangan darah membanjirinya. Aku menelan ludah pahit. Serdadu-serdadu Israel bersorak dan bertepuk tangan menyalami Ildad, seolah mayor itu telah berhasil melaksanakan sebuah misi penting. Setelah itu mereka kembali berlompatan ke atas tank bersiap mengakhiri patroli hari ini.

***

Aku mengempaskan tubuh di tempat tidur masih mengenakan seragam wajib militer. Rasa pusing dan mual menyesaki perutku. Sungguh sebuah hari yang melelahkan pada hari pertamaku menjalani wajib militer ini.

Aku berusaha menutup mata. Namun, bayangan kejadian hari ini memenuhi pikiranku. Anak kecil pelempar batu, tubuh laki-laki Palestina yang hancur, serta sebuah bayangan perempuan yang berulang kali muncul, entah dari mana asalnya, berusaha menggapaiku di tengah tumpukan manusia tumpang tindih dalam genangan darah. Bayangan terakhir awalnya masih samar, namun makin lama terlihat semakin jelas. Aku mengumpulkan segenap ingatanku untuk memahami bayangan itu. Sebuah tanya bolak-balik menghantuiku. Siapa perempuan di tengah tumpukan manusia itu? Entah mengapa perlahan-lahan ada perasaan dekat yang kurasakan saat aku kembali membayangkan wajah perempuan itu. Lalu, mengapa pula aku ada di tengah tumpukan manusia itu?

Aku bangkit menuju ruang kerja Rabbi Shahak. Hari ini ada pertemuan penting di Sinagog Khabaar dan Rabbi Shahak akan mengikutinya mungkin sampai pagi. Tumpukan buku-buku terlihat memenuhi ruangan dan meja.

Seingatku, selama aku diasuh Rabbi Shahak semenjak usiaku sekitar empat tahunan, baru beberapa kali aku memasuki ruang kerja Rabbi Shahak ini. Walaupun Rabbi Shahak terlihat sangat sayang padaku, namun sikapnya sangat tertutup. Banyak hal yang sepertinya ingin disembunyikannya dariku, termasuk keberadaanku di rumahnya sampai saat ini. Dia akan diam seribu bahasa kalau aku bertanya tentang masa kecil dan asal-usul keluargaku. Rabbi Shahak hanya mengatakan bahwa aku adalah “malaikat” yang dikirim Tuhan kepadanya untuk menjadi “pahlawan” bangsa Israel membebaskan “Tanah Terjanji”.

Mataku menyapu seluruh ruangan. Sebuah diary lama dengan sampul penuh debu yang tergeletak di ujung lemari menarik perhatianku. Tak ada yang istimewa yang tertulis di buku itu. Hanya seputar kegiatan harian Rabbi Shahak mengajar dan memberikan ceramah di beberapa sinagog dan pertemuan. Aku membolak-balik buku itu tanpa minat. Beberapa halaman yang ditulis dengan tinta merah walaupun buram menarik perhatianku.

15 November 1989
Akhirnya pagi ini dia menikahi wanita Palestina itu dan menjadi Muslim. Dia memilih tanggal ini katanya untuk hadiah ulang tahun kemerdekaan pertama Palestina bagi istrinya.

“Sekaligus hari kemerdekaan bagiku,” ujarnya .

Dia telah menjadi Yahudi yang mengkhianati dirinya sendiri.

“Paham Zionisme berlawanan dengan nurani kemanusiaanku,” begitu alasannya.

“Walaupun aku adalah Israel tulen”, lanjutnya lagi .

“Tidak! Dia mengkhianati Israel, Tanah terjanji. Tak kan kubiarkan!!!”

Aku menahan napas. Mencari-cari tulisan bertinta sama.

15 Agustus 1990
Katanya anaknya sudah lahir. Aku tak tahu kapan. Sebagai teman akrabnya dulu, aku ditanyai teman-temanku dan juga teman-teman lamanya di sinagog. Tapi, aku malah tidak tahu informasi itu. Apa yang bisa kulakukan?

Aku mengernyitkan dahi. Teman akrab, siapa teman akrab Rabbi Shahak itu? Aku melanjutkan membaca beberapa buku yang lain. Kondisinya hampir sama, berdebu dan buram. Sebuah tulisan bertinta merah kembali menarik perhatianku.

23 Maret 1994
Aku ikut pasukan patroli. Mereka menyisir dan “membersihkan” lokasi sekitar Al Quds. Itu tempat tinggalnya beserta istrinya. Pasukan yang luar biasa. Mereka mampu “mengosongkan” penduduk wilayah itu walaupun sebagian harus dengan buldoser.

Yang kucari akhirnya kudapatkan. Wajah bocah itu sangat mirip dengan wajah ayahnya. Anak itu berhasil kupisahkan dari ibunya. Kudekap dia agar tak melihat ayah ibunya dibuldoser.

Sekarang dia anakku. Tidak ada lagi Al Hamid Ibrahimi. Kau sekarang adalah Israel Daniel! Akan kujadikan kau Yahudi sejati pengganti ayahmu yang pengkhianat.

Israel Daniel! Refleks aku melihat banner nama di dadaku. Israel Daniel!

Aku terduduk lesu. Beribu tanda tanya memenuhi kepalaku. Bagaimana mungkin Israel Daniel itu adalah Al Hamid Ibrahimi? Dan, itu adalah aku!

Bayangan tumpukan manusia itu kembali hadir di mataku. Sekarang dapat kulihat dengan jelas wajah kelebatan wanita itu. Wajahnya begitu panik menyadari aku terlepas dari tangannya dan berusaha merebutku kembali dari tentara Israel yang telah merenggutku dengan paksa dari sisinya. Dan, ternyata wanita itu adalah ibuku!

Kepalaku terasa pusing. Bagaimana mungkin Rabbi Shahak yang selama ini aku hormati ternyata memiliki andil yang sangat besar menghancurkan keluargaku, membuldoser ibu bapakku? Begitu rapinya Rabbi Shahak menyimpan rahasiaku demi menjadikanku seorang Israrel. Aku bingung dan tidak mampu memahami perasaanku saat ini. Rasa mual dan benci menyesaki dadaku.

Aku meraba gagang pistol di pinggangku. Aku mencabut bannernama di dadaku. Dalam lengang aku melihat bocah delapan tahunan penggenggam batu dengan tubuh bersimbah darah itu menjelma dalam diriku. (*)
 .
.
Bogor, 20 Juni 2010

 .
Keterangan:
[1] Pembantaian sangat keji di Desa De’ir Yasin oleh Israel pada 9 April 1948. Aksi keji ini menewaskan lebih dari 360 orang dari total penduduk 600 jiwa.
[2] Tentara Nasional Israel.
[3] Semboyan kaum Zionis Israel untuk menjadikan tanah Palestina kosong sama sekali sehingga dapat disediakan bagi bangsa Israel yang mereka anggap tidak punya tanah.
[4] Tempat-tempat pemukiman kolektif di Israel dengan sistem kepemilikan bersama.
[5] Salah satu kisah dalam Kitab Perjanjian Lama yang disitir secara salah dan disalahgunakan Zionis sebagai pembenaran tindakannya membantai penduduk Palestina.


DOWNLOAD