Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Minggu, 06 Oktober 2013

Uban di Rambut Anakku

Oleh Mashdar Zainal (Radar Surabaya, Oktober 2013)

Entah sejak kapan anak itu suka berdiri berlama-lama di depan cermin. Menyisir rambutnya pelan-pelan. Seperti ada sesuatu yang ia cari. Sesuatu yang terselip di antara rambutnya yang tipis dan kemerahan. Jelas sekali, ia tak sedang berdandan. Ia anak laki-laki, dan masih kelas tiga SD. Lagi pula, ia bukan tipe anak yang peduli dengan penampilan. Maka terasa ganjil melihatnya berlama-lama di depan cermin.
Pada awalnya aku tidak peduli, namun, setelah memerhatikan cara ia bercermin, aku jadi khawatir. Begini cara ia bercermin: ia menatap wajahnya dalam cermin dengan tatapan panik. Wajahnya nyaris menempel di wajah cermin, bersela beberapa centi saja. Matanya terpicing ke atas, melirik rambut di kepalanya. Sementara jari-jarinya terus menyisir setiap helai rambut yang menempel di kepalanya. Menyisir dan menyisir. Memilah dan memilah. Jika tak ada sesuatu yang ditemukannya, ia akan mengulang kembali gerakan jemarinya. Terus menyisir dan menyisir, memilah dan memilah. Hingga ia terdiam lama, mengusap-usap rambutnya, menatap tak percaya pada rambutnya sendiri.
“Jadi, ada apa dengan rambutmu?” tanyaku serta-merta. Ia terhenyak. Tak sadar mamanya tengah memerhatikannya.
   “Ada uban di rambutku, Ma,” balasnya sendu.
   “Benarkah?” Aku meraih kepalanya. Menyisir rambutnya dengan jariku sendiri. Dan benar, aku menemukan beberapa helai rambut berwarna keperakan di kepalanya, di antara rambutnya yang hitam kemerah-merahan.
   “Iya, kan? Ada uban di rambutku, kan?” ia memastikan, nada bicaranya, panik.
   “Ini bukan uban, ini hanya rambut yang rusak. Lagi pula, memangnya kenapa kalau ini benar-benar uban?” Dalam hati, aku bertanya-tanya, bagaimana bisa rambut tua ini bercokol di rambutnya. Memang sedikit kurang lumrah, anak usia delapan tahun sudah memiliki uban.
   “Aku takut, Ma,” balasnya lagi, matanya mendung.
   “Takut kenapa?”
   “Takut mati,” tuturnya spontan dan polos.
   “Memang, apa hubungannya uban dan kematian?”
“Pak ustadz, guru ngaji di sekolahku pernah bercerita tentang itu.”
“Cerita apa?”
“Cerita tentang uban.”
“Cerita tentang uban?”
“Iya, kata ustadz, suatu ketika, malaikat pencabut nyawa mendatangi Nabi Yakub untuk mencabut nyawanya, tapi Nabi Yakub mengelak, ia memohon agar Tuhan mengiriminya utusan terlebih dahulu sebelum mencabut nyawanya. Kemudian malaikat pencabut nyawa mengatakan, bahwa Tuhan telah banyak mengirimkan utusan, yaitu berupa sakit, uban, pendengaran yang buruk dan penglihatan yang buram.”
Aku terdiam. Tak tahu harus membalas apa. Aku hanya mengelus kepalanya dan mengatakan, bahwa kematian adalah rahasia Tuhan.
Aku kembali ke kamar dengan kekhawatiran yang baru. Sampai di kamar, tiba-tiba aku beringsut mendekati cermin rias. Kuperhatikan wajahku dalam-dalam, tampak kerutan lembut mulai tergurit di dahi dan sudut mata. Kuperhatikan juntai rambutku, saksama. Kilatan keperak-perakan berkelebat sekilas dan hilang. Berkelebat lagi dan hilang lagi. Aku yakin, itu uban. Aku terus memburunya, menyisir rambutku dengan jari seperti yang dilakukan anakku, helai demi helai. Dan ketika rambut berkilat itu kutemukan, aku merasa lega sekali. Kucabut rambut itu hati-hati, pelan-pelan, seperti mencabut kesialan yang licin.
“Ngapain, Ma?” suara suamiku yang baru pulang kerja membuatku terhenyak.
“Eh, Papa. Pa, bisa minta tolong, nggak?” spontanku.
“Minta tolong apa?”
“Cabutin uban yang ada di rambut Mama.”
“Ngapain uban dicabutin, uban itu tanda, tanda buat berkaca bahwa kita sudah tidak muda lagi. Apa Mama tidak terima menjadi tua?”
Aku terdiam. Perlahan kulirik rambut suamiku yang rupanya sudah lebih rata ditumpahi uban.
“Lihat rambut papa. Penuh uban. Tapi Papa biarkan saja. Uban itu utusan, Ma. Utusan dari Tuhan supaya kita mengingat mati. Supaya kita tidak lupa, bahwa semua yang hidup itu akan menjadi tua dan mati. Semuanya…,” suamiku mengulang ceramahnya. Aku khusyuk mendengarkan. Tiba-tiba aku teringat uban yang bercokol di rambut anak kami.
“Jadi, uban itu hanya tumbuh di rambut orang yang sudah tua saja, ya?”
“Mestinya begitu?”
“Berarti, beberapa orang yang mati muda atau bahkan masih bayi, mereka tidak mendapatkan utusan? Bayi kan nggak mungkin punya uban?”
“Entahlah, wallahu a’lam. Tapi, uban memang sebuah tanda, bahwa seseorang itu menjadi tua, dan apa lagi yang lebih dekat dengan orang tua selain tanah?”
“Berarti anak kita…,” ucapku terbata.
“Kenapa anak kita?”
“Dia sudah beruban.”
Suamiku terdiam. Melongo. Kami saling tatap.
***
Petang merembang. Matahari hampir tenggelam. Kami bercengkerama di beranda, balkon lantai dua. Menikmati matahari tenggelam.
“Ini namanya sunset atau sunrise, Ma?”
“Itu sunset, Sayang, kalau sunrise itu matahari terbit,” jawabku.
Sunset memang indah, ya, Ma?” wajah anak itu berkilaun oleh tumpahan cahaya senja.
“Eh, kata Mama kamu punya uban, ya?” ungkap suamiku tiba-tiba, “sini Papa lihat!” 
Anak itu mendekat ke papanya. Dicengkramnya leher kecil itu oleh lengan kekar papanya. Dengan jemarinya yang besar ia menyisir rambut anak itu perlahan. Beberapa sisiran ia berhenti, menyisir lagi dan berhenti lagi.
“Bagaimana bisa ada uban di rambutmu?” suamiku bertanya seperti menggumam.
Anak itu menggeleng. Tak tahu.
“Bagaimana mulanya kamu bisa tahu ada uban di rambutmu?”
“Dikasih tahu teman,” mata anak itu mulai sendu.
“Oh, tidak apa-apa. Itu hanya uban. Mungkin saja shamponya tidak cocok.”
“Tapi, aku malu, Pa.”
“Malu? Malu kenapa?”
“Sampai sekarang, kalau di sekolah, teman-teman suka mengejekku dengan panggilan ‘kakek’,” ungkap anak itu murung. Aku dan suamiku saling tatap. Ada halimun yang tiba-tiba membuat dada kami sesak.
“Tidak apa-apa. Uban bukanlah sesuatu yang buruk,” kata suamiku, menghibur, “Kau tahu, orang-orang bule yang rambutnya pirang itu, rambut mereka uban semua. Bahkan orang albino, alis sampai bulu kakinya juga beruban,” imbuhnya dengan tawa yang kering. Kami turut tertawa. Anak kami malah terbahak-bahak. Barangkali ia membayangkan betapa lucunya orang-orang albino yang berambut pirang itu.
“Kasihan mereka, ya, Pa. Masih bayi tapi sudah tua, haha,” ia terbahak lagi.
“Makanya, kalau ada teman yang mengejek, tak usah dibalas. Uban itu juga pemberian Tuhan, ciptaan Tuhan. Di dunia ini tidak ada orang yang bisa menciptakan uban. Jadi, kalau mereka mengejekmu, artinya mereka mengejek ciptaan Tuhan. Justru mereka yang kasihan, ya, kan?”
“Iya. Tapi kalau mereka masih mengejek bagaimana?”
“Ya kamu doakan saja, semoga mereka tidak mengejek lagi, dan semoga Tuhan mengampuni mereka.”
Anak itu menatap papanya dan mengangguk dalam-dalam. Mereka tersenyum lalu berpelukan. Seketika keharuan menyeruak di ubun-ubunku.
***
Terpaksa tidak terpaksa, mau tidak mau, perihal uban di rambut anak kami itu telah menjadi bahan pikiran baru. Suamiku jauh lebih santai menanggapi perkara itu. Tapi aku tidak, aku tidak bisa. Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana anak delapan tahun menahan malu lantaran dipanggil ‘kakek’ oleh teman-temanya. Hingga suatu kali, aku mengajukan sebuah usul pada suamiku.
 “Pa, menurutmu bagaimana kalau kita beli cat rambut saja?”
“Cat rambut? Buat apa?”
“Ya buat ngecat rambut.”
“Ah, tak usah. Tak perlu itu.”
“Kok tak usah, kasihan...”
“Tidak apa-apa. Justru yang harus kita lakukan adalah memberi ia pengajaran, bahwa di dunia ini ada beberapa hal yang tidak perlu disembunyikan. Uban bukanlah aib yang harus ditutupi. Kalau kita membelikannya cat rambut, sama artinya kita mengajarinya menyembunyikan masalah, dan bukan menyelesaikannya.”
“Tapi, dia masih delapan tahun, Pa?”
“Justru itu, sudah selayaknya hal-hal semacam itu kita tanamkan sedari kecil. Supaya kelak, ketika ia tumbuh menjadi remaja, menjadi dewasa, ia tidak perlu lagi berususan dengan masalah minder.”
Aku mengangguk, menyepakati pendapatnya, meskipun jauh, di dalam hati masih belum terima.
***
Setelah percakapan kami perihal uban itu tunai, aku benar-benar lepas dari kekhawatiran. Fatwa-fatwa yan keluar dari lisan suamiku, semuanya benar belaka. Tak perlu dan tak mungkin kutentang. Apa yang salah dengan uban? Mengapa hidup mesti terbebani dan menjadi tidak tenang gara-gara sehelai uban? Benar-benar tidak penting.
Seiring waktu, ejekan-ejekan tentang ‘kakek’ terhadap anakku mulai mereda. Rupanya ia benar-benar mempraktikkan teori dari papanya. Semua hal memang butuh waktu untuk menjadi terbiasa. Dan ketika semua menjadi terbiasa, sesuatu yang baru akan menggantikannya. Atas apa yang menimpa anak itu, aku menyebutnya begitu.
Setelah perkara uban di rambutnya menjadi perkara lama, perkara baru datang. Suatu siang, sepulang sekolah, anak itu mengeluhkan kepalanya yang pusing. Sakit sekali, katanya. Aku memintanya istirahat. Hari berikutnya, kening dan lehernya menghangat. Ia terus-terusan meludah. Ia bilang, mulutnya pahit sekali, tenggorokkanya juga sakit, seperti tersedak ranting, hingga susah sekali memasukkan makanan ke lambungnya. Awalnya aku berpikir, itu haya demam biasa. Mungkin ia terlalu capek di sekolah. Namun, setelah hampir lima hari panasnya tidak turun, aku mulai cemas.
Suamiku mengambil izin singkat dari kerjanya agar bisa mengantar kami ke dokter. Entah mengapa, sepanjang hari perasaanku menjadi getir. Kata suamiku, perasaan seorang ibu memang selalu begitu ketika anaknya sakit. Ketika dokter mulai memeriksanya, perasaanku seperti dijungkir balik. Setelah anak itu diperiksa, dokter menemui kami dan menyarankan supaya anak itu dirawat inap saja di rumah sakit.
“Ada sesuatu yang tumbuh di kepala anak Anda, tepatnya di otaknya,” kata dokter itu perlahan. Tenang. Kata-kata selanjutnya seperti nguing lebah yang tak perlu kusimak lagi. Aku sudah tersengat. Anehnya, detik itu yang pertama kali muncul di kepalaku adalah perkara uban yang oleh anak itu dipercaya sebagai utusan penjemput maut.
Aku tergugu menatap anak itu terbaring lemas dengan jarum infuse menikam pergelangan tangannya. Ketika kuusap kepala itu perlahan-lahan, aku seperti baru menyadari sesuatu, bahwa helai uban yang tumbuh di kepala anak itu kian merata.***

Malang,  2012

Related Posts

Uban di Rambut Anakku
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.