Oleh Mashdar
Zainal (Radar Surabaya, Oktober 2013)
Entah sejak kapan anak itu suka berdiri berlama-lama di
depan cermin. Menyisir rambutnya pelan-pelan. Seperti ada sesuatu yang ia cari.
Sesuatu yang terselip di antara rambutnya yang tipis dan kemerahan. Jelas
sekali, ia tak sedang berdandan. Ia anak laki-laki, dan masih kelas tiga SD.
Lagi pula, ia bukan tipe anak yang peduli dengan penampilan. Maka terasa ganjil
melihatnya berlama-lama di depan cermin.
Pada awalnya aku tidak peduli, namun, setelah
memerhatikan cara ia bercermin, aku jadi khawatir. Begini cara ia bercermin: ia
menatap wajahnya dalam cermin dengan tatapan panik. Wajahnya nyaris menempel di
wajah cermin, bersela beberapa centi saja. Matanya terpicing ke atas, melirik
rambut di kepalanya. Sementara jari-jarinya terus menyisir setiap helai rambut
yang menempel di kepalanya. Menyisir dan menyisir. Memilah dan memilah. Jika
tak ada sesuatu yang ditemukannya, ia akan mengulang kembali gerakan jemarinya.
Terus menyisir dan menyisir, memilah dan memilah. Hingga ia terdiam lama,
mengusap-usap rambutnya, menatap tak percaya pada rambutnya sendiri.
“Jadi, ada apa dengan rambutmu?” tanyaku serta-merta. Ia
terhenyak. Tak sadar mamanya tengah memerhatikannya.
“Ada uban di
rambutku, Ma,” balasnya sendu.
“Benarkah?” Aku
meraih kepalanya. Menyisir rambutnya dengan jariku sendiri. Dan benar, aku
menemukan beberapa helai rambut berwarna keperakan di kepalanya, di antara
rambutnya yang hitam kemerah-merahan.
“Iya, kan? Ada
uban di rambutku, kan?” ia memastikan, nada bicaranya, panik.
“Ini bukan uban,
ini hanya rambut yang rusak. Lagi pula, memangnya kenapa kalau ini benar-benar
uban?” Dalam hati, aku bertanya-tanya, bagaimana bisa rambut tua ini bercokol
di rambutnya. Memang sedikit kurang lumrah, anak usia delapan tahun sudah
memiliki uban.
“Aku takut, Ma,” balasnya
lagi, matanya mendung.
“Takut kenapa?”
“Takut mati,”
tuturnya spontan dan polos.
“Memang, apa
hubungannya uban dan kematian?”
“Pak ustadz, guru ngaji di sekolahku pernah bercerita
tentang itu.”
“Cerita apa?”
“Cerita tentang uban.”
“Cerita tentang uban?”
“Iya, kata ustadz, suatu ketika, malaikat pencabut nyawa mendatangi Nabi Yakub untuk mencabut
nyawanya, tapi Nabi Yakub mengelak, ia memohon agar Tuhan mengiriminya utusan
terlebih dahulu sebelum mencabut nyawanya. Kemudian malaikat pencabut nyawa
mengatakan, bahwa Tuhan telah banyak mengirimkan utusan, yaitu berupa sakit,
uban, pendengaran yang buruk dan penglihatan yang buram.”
Aku terdiam. Tak tahu harus membalas apa. Aku
hanya mengelus kepalanya dan mengatakan, bahwa kematian adalah rahasia Tuhan.
Aku kembali ke kamar dengan kekhawatiran yang
baru. Sampai di kamar, tiba-tiba aku beringsut mendekati cermin
rias. Kuperhatikan wajahku dalam-dalam, tampak kerutan lembut mulai tergurit di
dahi dan sudut mata. Kuperhatikan juntai rambutku, saksama. Kilatan
keperak-perakan berkelebat sekilas dan hilang. Berkelebat lagi dan hilang lagi.
Aku yakin, itu uban. Aku terus memburunya, menyisir rambutku dengan jari
seperti yang dilakukan anakku, helai demi helai. Dan ketika rambut berkilat itu
kutemukan, aku merasa lega sekali. Kucabut rambut itu hati-hati, pelan-pelan,
seperti mencabut kesialan yang licin.
“Ngapain, Ma?” suara suamiku yang baru pulang kerja
membuatku terhenyak.
“Eh, Papa. Pa, bisa minta tolong, nggak?” spontanku.
“Minta tolong apa?”
“Cabutin uban yang ada di rambut Mama.”
“Ngapain uban dicabutin, uban itu tanda, tanda buat
berkaca bahwa kita sudah tidak muda lagi. Apa Mama tidak terima menjadi tua?”
Aku terdiam. Perlahan kulirik rambut suamiku yang rupanya
sudah lebih rata ditumpahi uban.
“Lihat rambut papa. Penuh uban. Tapi Papa biarkan saja.
Uban itu utusan, Ma. Utusan dari Tuhan supaya kita mengingat mati. Supaya kita
tidak lupa, bahwa semua yang hidup itu akan menjadi tua dan mati. Semuanya…,”
suamiku mengulang ceramahnya. Aku khusyuk mendengarkan. Tiba-tiba aku teringat
uban yang bercokol di rambut anak kami.
“Jadi, uban itu hanya tumbuh di rambut orang yang sudah
tua saja, ya?”
“Mestinya begitu?”
“Berarti, beberapa orang yang mati muda atau bahkan masih
bayi, mereka tidak mendapatkan utusan? Bayi kan nggak mungkin punya uban?”
“Entahlah, wallahu a’lam. Tapi, uban memang sebuah
tanda, bahwa seseorang itu menjadi tua, dan apa lagi yang lebih dekat dengan
orang tua selain tanah?”
“Berarti anak kita…,” ucapku terbata.
“Kenapa anak kita?”
“Dia sudah beruban.”
Suamiku terdiam. Melongo. Kami saling tatap.
***
Petang merembang. Matahari hampir tenggelam. Kami
bercengkerama di beranda, balkon lantai dua. Menikmati matahari tenggelam.
“Ini namanya sunset atau sunrise, Ma?”
“Itu sunset, Sayang, kalau sunrise itu
matahari terbit,” jawabku.
“Sunset memang indah, ya, Ma?” wajah anak itu
berkilaun oleh tumpahan cahaya senja.
“Eh, kata Mama kamu punya uban, ya?” ungkap suamiku
tiba-tiba, “sini Papa lihat!”
Anak itu mendekat ke papanya. Dicengkramnya leher kecil
itu oleh lengan kekar papanya. Dengan jemarinya yang besar ia menyisir rambut
anak itu perlahan. Beberapa sisiran ia berhenti, menyisir lagi dan berhenti lagi.
“Bagaimana bisa ada uban di rambutmu?” suamiku bertanya
seperti menggumam.
Anak itu menggeleng. Tak tahu.
“Bagaimana mulanya kamu bisa tahu ada uban di rambutmu?”
“Dikasih tahu teman,” mata anak itu mulai sendu.
“Oh, tidak apa-apa. Itu hanya uban. Mungkin saja
shamponya tidak cocok.”
“Tapi, aku malu, Pa.”
“Malu? Malu kenapa?”
“Sampai sekarang, kalau di sekolah, teman-teman suka
mengejekku dengan panggilan ‘kakek’,” ungkap anak itu murung. Aku dan suamiku
saling tatap. Ada halimun yang tiba-tiba membuat dada kami sesak.
“Tidak apa-apa. Uban bukanlah sesuatu yang buruk,” kata
suamiku, menghibur, “Kau tahu, orang-orang bule yang rambutnya pirang itu,
rambut mereka uban semua. Bahkan orang albino, alis sampai bulu kakinya juga
beruban,” imbuhnya dengan tawa yang kering. Kami turut tertawa. Anak kami malah
terbahak-bahak. Barangkali ia membayangkan betapa lucunya orang-orang albino
yang berambut pirang itu.
“Kasihan mereka, ya, Pa. Masih bayi tapi sudah tua,
haha,” ia terbahak lagi.
“Makanya, kalau ada teman yang mengejek, tak usah
dibalas. Uban itu juga pemberian Tuhan, ciptaan Tuhan. Di dunia ini tidak ada
orang yang bisa menciptakan uban. Jadi, kalau mereka mengejekmu, artinya mereka
mengejek ciptaan Tuhan. Justru mereka yang kasihan, ya, kan?”
“Iya. Tapi kalau mereka masih mengejek bagaimana?”
“Ya kamu doakan saja, semoga mereka tidak mengejek lagi,
dan semoga Tuhan mengampuni mereka.”
Anak itu menatap papanya dan mengangguk dalam-dalam.
Mereka tersenyum lalu berpelukan. Seketika keharuan menyeruak di ubun-ubunku.
***
Terpaksa tidak terpaksa, mau tidak mau, perihal uban di
rambut anak kami itu telah menjadi bahan pikiran baru. Suamiku jauh lebih
santai menanggapi perkara itu. Tapi aku tidak, aku tidak bisa. Aku tak sanggup
membayangkan, bagaimana anak delapan tahun menahan malu lantaran dipanggil
‘kakek’ oleh teman-temanya. Hingga suatu kali, aku mengajukan sebuah usul pada
suamiku.
“Pa, menurutmu
bagaimana kalau kita beli cat rambut saja?”
“Cat rambut? Buat apa?”
“Ya buat ngecat rambut.”
“Ah, tak usah. Tak perlu itu.”
“Kok tak usah, kasihan...”
“Tidak apa-apa. Justru yang harus kita lakukan adalah
memberi ia pengajaran, bahwa di dunia ini ada beberapa hal yang tidak perlu
disembunyikan. Uban bukanlah aib yang harus ditutupi. Kalau kita membelikannya
cat rambut, sama artinya kita mengajarinya menyembunyikan masalah, dan bukan
menyelesaikannya.”
“Tapi, dia masih delapan tahun, Pa?”
“Justru itu, sudah selayaknya hal-hal semacam itu kita
tanamkan sedari kecil. Supaya kelak, ketika ia tumbuh menjadi remaja, menjadi
dewasa, ia tidak perlu lagi berususan dengan masalah minder.”
Aku mengangguk, menyepakati pendapatnya, meskipun jauh,
di dalam hati masih belum terima.
***
Setelah percakapan kami perihal uban itu tunai, aku
benar-benar lepas dari kekhawatiran. Fatwa-fatwa yan keluar dari lisan suamiku,
semuanya benar belaka. Tak perlu dan tak mungkin kutentang. Apa yang salah
dengan uban? Mengapa hidup mesti terbebani dan menjadi tidak tenang gara-gara
sehelai uban? Benar-benar tidak penting.
Seiring waktu, ejekan-ejekan tentang ‘kakek’ terhadap
anakku mulai mereda. Rupanya ia benar-benar mempraktikkan teori dari papanya.
Semua hal memang butuh waktu untuk menjadi terbiasa. Dan ketika semua menjadi
terbiasa, sesuatu yang baru akan menggantikannya. Atas apa yang menimpa anak
itu, aku menyebutnya begitu.
Setelah perkara uban di rambutnya menjadi perkara lama,
perkara baru datang. Suatu siang, sepulang sekolah, anak itu mengeluhkan
kepalanya yang pusing. Sakit sekali, katanya. Aku memintanya istirahat. Hari
berikutnya, kening dan lehernya menghangat. Ia terus-terusan meludah. Ia
bilang, mulutnya pahit sekali, tenggorokkanya juga sakit, seperti tersedak
ranting, hingga susah sekali memasukkan makanan ke lambungnya. Awalnya aku
berpikir, itu haya demam biasa. Mungkin ia terlalu capek di sekolah. Namun,
setelah hampir lima hari panasnya tidak turun, aku mulai cemas.
Suamiku mengambil izin singkat dari kerjanya agar bisa
mengantar kami ke dokter. Entah mengapa, sepanjang hari perasaanku menjadi
getir. Kata suamiku, perasaan seorang ibu memang selalu begitu ketika anaknya
sakit. Ketika dokter mulai memeriksanya, perasaanku seperti dijungkir balik.
Setelah anak itu diperiksa, dokter menemui kami dan menyarankan supaya anak itu
dirawat inap saja di rumah sakit.
“Ada sesuatu yang tumbuh di kepala anak Anda, tepatnya di
otaknya,” kata dokter itu perlahan. Tenang. Kata-kata selanjutnya seperti
nguing lebah yang tak perlu kusimak lagi. Aku sudah tersengat. Anehnya, detik
itu yang pertama kali muncul di kepalaku adalah perkara uban yang oleh anak itu
dipercaya sebagai utusan penjemput maut.
Aku tergugu menatap anak itu terbaring lemas dengan jarum
infuse menikam pergelangan tangannya. Ketika kuusap kepala itu perlahan-lahan,
aku seperti baru menyadari sesuatu, bahwa helai uban yang tumbuh di kepala anak
itu kian merata.***
Uban di Rambut Anakku
4/
5
Oleh
galerikaryaflp