Dewi karya Yus R. Ismail Komidi Putar karya Gegge S. Mappangewa Pertarungan karya Benny Arnas Kacamata karya Noor H. Dee Debu-Debu Tuhan

Minggu, 09 Februari 2014

Realitas Dua Dunia dalam Cerpen ‘Klikkk’

Oleh Fardelyn Hacky (Serambi Indonesia, 9 Februari 2014)

(scvincent.wordpress.com)

Dunia hari ini adalah dunia yang tak lepas dari segala tingkah polah dan aktifitas klik pada komputermu, telepon pintar, atau apapun gadget canggih yang kau miliki, setelah kau menyambungkannya dengan internet. Klik, lalu blaaaa… sebuah dunia lain akan terbentang luas di hadapanmu. Tak perlu kau beranjak jauh atau menghabiskan puluhan juta untuk bisa sampai ke Amerika. Cukup klik ini klik itu… blaaaaaaa! Kau sampai ke Amerika. Luar biasa.

Kira-kira, begitulah pesan moral yang ingin disampaikan oleh Musmarwan Abdullah dalam cerpennya yang berjudul ‘Klikkk’, dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu (26/1/2014). Dunia hari ini adalah dunia yang membingungkan. Dunia nyata yang menjadi maya dan dunia maya yang menjadi nyata. Apa kau pernah menghadiri sebuah ‘kopi darat’ dengan orang-orang di dunia maya di dunia nyata? Lihat apa yang mereka lakukan? Tubuh mereka bersentuhan, namun isi kepala mereka dan perbincangan hanya dilakukan melalui sebuah media berbentuk petak. Realita di dunia nyata tergantikan dengan ‘autisme’ dunia maya. Bisa kau bayangkan jika keadaan begini terus terjadi hingga lima ratus kemudian? Generasi saya, Anda dan kita semua, tak hanya menjadi generasi menunduk. Akan tiba masa di mana partikel-partikel yang berada di dunia maya akan menarik lebih kuat dan menyerap sel-sel tubuh manusia untuk bertransformasi dan hidup di dunia yang berbeda. Blaaaaaaa! Selamat datang di dunia baru. Dunia yang hanya bisa dimasuki dengan malakukan sekali klik saja di layar sebuah gadget canggih. Ya, cukup ‘Klikkk’ saja.

***

Di antara puluhan cerpen yang telah tayang di Serambi Indonesia setiap minggunya, saya tertarik dengan cerpen Musmarwan. Cerpen ini bercerita tentang seseorang –yang sampai akhir cerita tak diketahui namanya– yang hidup di masa kini dan terlempar ke masa lima ratus tahun ke depan setelah melalui tidur panjang. Di masa lima ratus tahun ke depan, sang tokoh mendapati kenyataan bahwa dunia ini sudah kosong melompong. Tak ada sesosokpun manusia saat itu. Yang ada hanya hutan belantara dengan bangunan-bangunan yang sudah menua. Kondisi ini tentu saja bertentangan dengan logika perkembangan teknologi yang seharusnya terjadi di lima ratus tahun ke depan, di mana kemungkinan-kemungkinan seperti; hutan yang dibabat habis karena keperluan bahan baku kayu yang kian terdesak, gunung yang menjadi rata karena adanya pengerukan terus-menerus tanah gunung untuk keperluan membangun rumah atau meninggikan jalan atau perluasan lahan karena penduduk bumi yang kian padat; dan kemungkinan nyaris seluruh permukaan bumi akan berdiri gedung-gedung bertingkat dan bukannya bangunan-bangunan tua tak berpenghuni. Tapi tentu saja kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi lima ratus tahun kemudian. Bisa saja kondisinya seperti kemungkinan-kemungkinan yang saya sebut di atas, atau justru sebaliknya, kondisi dunia kembali seperti jaman purba kala.

Musmarwan Abdullah menggambarkan dunia di lima ratus ke depan dengan pilihan kondisi yang kedua. Ini sah-sah saja dalam sebuah fiksi selama tidak menggadaikan logika yang akan bertabrakan dengan unsur-unsur penceritaan yang menyertainya. Dan Musmarwan dengan cerdas menangkap fenomena dua dunia –maya dan nyata– lalu melemparkannya jauh ke depan sana. Kita mungkin pernah membaca buku atau menonton film tentang perjalanan seseorang menembus batas waktu. Apakah kembali ke masa lalu atau melangkah ke masa depan? Namun cerpen ini menjadi berbeda karena Musmarwan mengangkatnya atas dasar realita dan problematika kekinian ke dalam cerpennya, yaitu dunia dengan orang-orang yang riuh di media sosial. Gagasan tertidur selama ratusan tahun dan menemukan fakta kehidupan baru yang berbeda sama sekali dari kehidupan di masa sebelumnya, bukanlah gagasan baru. Agaknya Musmarwan Abdullah benar-benar terilhami oleh kisah tujuh pemuda –Ashabul Kahfi– yang tertidur selama lebih dari tiga ratus tahun, serta memasukkan ide dari kisah tersebut sebagai salah satu cara untuk mempertahanan logika dan keutuhan cerita.

Cerpen ini adalah refleksi atas sebuah pemikiran, renungan, kelebatan pertanyaan, tentang kira-kira bagaimanakah keadaan lima ratus tahun yang akan datang jika dihubungkan dengan kecanggihan teknologi terutama media sosial? Mengingat bahwa sekarang, mungkin nyaris sepersepuluh penduduk dunia memiliki akun di media sosial dan mungkin saja sepersepuluh dari jumlah tersebut adalah mereka yang terlalu menikmati kehidupan sosial ala media sosial di dunia maya dibanding bersosialisasi di dunia nyata. Maka bisa saja di lima ratus tahun yang akan datang, semua penduduk di muka bumi akan memiliki akun di media sosial dan semua kegiatan seperti komunikasi dan sosialisasi hanya akan berlangsung di dunia maya. Saat itu, berbagai jenis media sosial di dunia maya akan lebih ramai dan lebih nyata dibanding dunia nyata itu sendiri. Maka, terciptalah dunia maya yang nyata.

‘Klikkk’ adalah cerpen yang berangkat dari ide yang unik, sedikit liar, dan menyentil manusia-manusia ‘autis’ masa kini. Namun pesan moral tersebut tidak terasa menggurui karena penggunaan sudut pandang orang kedua. Agaknya Musmawan paham betul bahwa jika cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama atau orang ketiga, maka cerpen ini akan gagal total. Sebuah cerita yang berangkat dari sebuah ide yang menarik namun jika tanpa adanya teknik bercerita yang memikat, maka cerpen ini akan menjadi biasa-biasa saja. Dalam sudut pandang kedua, hanya ada narator dan pembaca. Dengan menjadikan ‘kamu’, ‘kau’, ‘engkau’, dan kata-kata sejenisnya sebagai penggunaan kata yang lazim pada sudut pandang orang kedua, narator seolah sedang berbicara dengan ‘kamu’ sebagai pembaca. Karenanya pembaca merasa ikut dilibatkan dalam sebuah cerita. Dengan cara seperti ini, Musmarwan seolah ingin menyampaikan sebuah pesan moral dengan cara meleburkan jarak antara narator dan pembaca.

Namun ada bagian yang terasa janggal dalam cerpen ini, yaitu saat dialog si tokoh meminta password pada arwah Mark Zuckerberg. Penulis sepertinya kehabisan ide untuk mengembangkan cerita di dua paragraf yang memuat bahasa daerah, bahasa yang mungkin saja akan punah tak sampai di lima ratus tahun ke depan, jika tanpa kesadaran penuh dari generasi sekarang untuk melestarikannya. Akan lebih menarik jika dialog-dialog tersebut menggunakan bahasa Indonesia, selain kenyataan bahwa kalimat-kalimat berbahasa Aceh tersebut lebih terkesan ulok alias candaan ala anak-anak kampung di Aceh, namun sama sekali tidak lucu. Tentang kehadiran tokoh arwah si Mark, juga meninggalkan banyak tanda tanya besar. Kenapa arwah Mark di masa lima ratus ke depan bisa berbahasa Aceh? Apakah bahasa Aceh adalah bahasa dunia maya di lima ratus ke depan? Apakah sebelum meninggal si Mark sempat tinggal di Aceh dan mempelajari bahasa di daerah ini? Berbagai tanya tanpa jawaban tersebut mampu menggulingkan logika cerita yang sudah terbangun dengan baik sejak awal.

Pada paragraf ketiga, entah penulis silap atau lupa. Tertulis; Sekarang genap lima ratus tahun sudah berlalu. Dan keesokan paginya, pada hari kelima ratus satu, kau pun terjaga. Di awal disebut lima ratus tahun sudah berlalu, lalu kenapa kemudian menyebut hari kelima ratus satu yang berarti lima ratusan hari dan bukannya lima ratusan tahun?

Di dua paragraf menjelang akhir (ending), Musmarwan mulai bisa berpijak dengan tegak, tak lagi gamang seperti di dua paragraf sebelum dua paragraf menuju akhir. Musmarwan dengan cerdik memilih cara mengeksekusi cerita seperti ini:

“Oh, Tuhan, bagaimana caranya ini? Oh-oh-oh! Ya-ya-ya!” kau ingat. Kau masih punya baterai serap yang sering kaugunakan dulu dalam perjalanan. “Semoga dia masih ada di dalam laci meja ini.” Dan laci meja segera kaubuka. Wah! Kau menemukan baterai itu. Segera kaupasangkan pada laptop. “Semoga ia masih menyimpan arus barang sedikit.” Nah, sekarang power laptop kautekan. Blaaaaaaa! Laptop menyala. Kau mengakses internet. Membuka akun Facebook. Lalu keluar tulisan, “Mau meneruskan? Klik di sini!” Dan kau mengklik di situ. Klikkk!

Kalau saya boleh menyarankan, mungkin kalimat terakhir untuk cerpen ini cukup pada kalimat “Mau meneruskan? Klik di sini!” saja. Kalimat sesudah kalimat tersebut adalah sebuan pemaksaan pikiran penulisnya. Alih-alih ingin melibatkan imajinasi pembaca, penulis secara tersirat justru mengajak pembaca untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Seharusnya biarkan saja pembaca mereka-reka sendiri. Apakah sang tokoh akan meng-klik di situ atau tidak?
                                                                       
                                    

Related Posts

Realitas Dua Dunia dalam Cerpen ‘Klikkk’
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.