Oleh Rahmadiyanti Rusdi (Republika, 23 Oktober 2012)
Beberapa
mobil polisi tampak di sekitar gerbang Masjid Agung Paris. Puluhan polisi
lengkap dengan rompi antipeluru terlihat berjaga-jaga dengan senjata di tangan.
“Tumben, kok banyak polisi ya…,” kata Rosita Sihombing, sahabat yang telah
tinggal di Paris lebih dari 10 tahun. Bersama suaminya, Patrick Monluis, hari
itu Mbak Ita menemani saya berkunjung ke masjid yang diresmikan pada 15 Juli
1926.
Jejeran
pohon cemara dengan kolam di bagian tengah dan beberapa pancuran air menyambut
saya saat memasuki masjid dari gerbang. Mengingatkan pada General Life alias
taman-taman di kompleks Alhambra, Granada, Spanyol. Ternyata, saat mulai
dibangun pada tahun 1922, pemerintah Prancis memang meminta bantuan seniman
asal Afrika Utara untuk mendesain masjid ini. Tak heran, arsitektur gaya Moor yang
juga tecermin di Alhambra, sangat terlihat juga di masjid ini.
Sebelum
melihat-lihat bagian dalam masjid, Mbak Ita mengajak saya turun melalui tangga ke
bagian bawah. Jajaran tempat berwudhu dan toilet terletak di area ini. Beberapa
bangku kayu diletakkan di hadapan keran air untuk berwudhu. Setelah itu kami
naik kembali dan menyusuri koridor dengan pintu-pintu kayu berukir. Di beberapa
sisi, dinding dilengkapi mozaik keramik. Lagi-lagi gaya Moor sangat terasa. Mozaik keramik seperti
itu dengan mudah dapat kita temui di Istana Nazaries, Alhambra .
Masuk
lebih dalam, terdapat patio (ruang
lapang terbuka). Sebuah kolam kecil berbentuk bulat terletak di bagian tengah.
Tenda yang dapat dibuka-tutup terlihat di bagian atas. “Dulu tenda ini belum
ada,” kata Patrick. “Jamaah yang makin banyak terutama saat shalat Jum’at atau
shalat Id (hari raya) membuat pengurus masjid menambah tenda tersebut yang dapat
dibuka dan menaungi jamaah yang shalat di bagian ini karena tak dapat shalat di
ruang dalam masjid.”
Dari
ruang lapang ini, di sisi kanan terlihat dinding putih berukir kaligrafi yang
menaungi sebuah pintu kayu berwarna cokelat juga dengan ukiran kaligrafi.
Inilah pintu masuk utama ke ruang shalat. Karpet berwarna hijau tua berseling
hijau muda menghampar. Pilar-pilar putih bergaya Maroko menopang langit-langit.
Sebuah tirai yang juga berwarna hijau menjadi batas antara ruang shalat pria
dan wanita. Seorang ibu duduk di pojokan. Saya tersenyum dan kemudian menyempatkan
shalat dhuha. Seekor burung merpati dan seekor burung gereja dengan santai
terbang di sekitar ruang dan kemudian mendarat di dekat saya. Suasana senyap
dan teduh.
Seusai
shalat, kami melanjutkan berkeliling masjid. Selain perpustakaan, di masjid ini
juga terdapat ruang-ruang pertemuan serta sebuah institut agama Islam. Keluar
dari pintu patio, mata saya kembali
dimanjakan dengan taman hijau. Di sini taman ini menara masjid setinggi 33
meter itu terlihat jelas. Di sebelah kanan menara masjid terlihat lambang bulan
dan bintang. Rasanya saya ingin berlama-lama di taman ini. Begitu teduh dan
hijau. Sebagian dinding ditutupi daun yang merambat. Lantai berwarna hijau
toska mengapit jejeran pohon dan kolam yang dialiri air.
Tiba-tiba
Ilhan, putra Mbak Ita dan Patrick berteriak, meminta kami datang ke sisi lain
taman. Menuruni tangga, saya melihat taman kecil dengan prasasti di bagian
dinding. Tulisan “Aux soldats musulmans
Morts pour la France 1914-1918” tertera di dinding berkeramik warna-warni
itu.
“Oh
ya, ini adalah prasasti untuk mengenang kaum muslimin yang membantu tentara
Prancis saat terjadi perang melawan Jerman antara tahun 1914 hingga 1918. Saat
itu banyak sekali tentara muslim yang tewas,” jelas Patrick. Berapa banyak?
saya bertanya. “Wah, banyak sekali! Lebih dari 100.000 muslim,” kata pria yang
sangat fasih berbahasa Indonesia
ini.
Patrick
pun berkisah bahwa tujuan utama dibangunnya Masjid Agung Paris memang untuk
mengenang kaum muslim yang membantu tentara Prancis. “Masjid ini merupakan
tanda terima kasih Prancis kepada komunitas Muslim,” kata Patrick. Seluruh
biaya pembangunan masjid ditanggung oleh pemerintah Prancis. Lahan bekas Rumah
Sakit Mercy seluas 1 hektar menjadi lokasi masjid. Presiden Prancis saat itu,
Gaston Doumergue, yang langsung meresmikan masjid ini.
Ada
kisah menarik lain dari keberadaan masjid ini. Saat terjadi pengejaran terhadap
kaum Yahudi oleh tentara nazi Jerman, kaum muslim ikut membantu menyembunyikan orang-orang
Yahudi di masjid ini. Banyak orang Yahudi selamat dari pembantaian atas
pertolongan kaum Muslim. Bahkan Imam Masjid saat itu tak segan membantu kaum
Yahudi untuk melarikan diri dengan cara menyusuri sungai Seine dan kemudian
menumpang kapal kargo.
“Jadi
masjid ini penuh dengan pesan toleransi dan harmonisasi antar pemeluk agama di
Prancis. Dahulu banyak kejadian yang mencerminkan saling tolong menolong dan
pengertian. Makanya saya heran dengan berbagai kejadian dan kebijakan
pemerintah Prancis tahun-tahun belakangan yang tak adil terhadap muslim (misalnya
pelarangan mengenakan burqa—jilbab menutup wajah, pen.). Prancis ternyata lebih
harmonis pada masa lalu,” jelas Patrick kepada saya sambil menuju pintu keluar.
Di
luar masjid makin banyak polisi berjaga-jaga. Pandangan mereka begitu tajam
melihat kami; seorang pria, anak kecil, plus
tiga muslimah berjilbab. Mobil-mobil besar dari berbagai stasiun televisi
dengan para jurnalisnya juga tampak di sekitar masjid “Ya ampun, saya baru ingat, sepertinya mau ada
demo nih,” kata Mbak Ita. Beberapa hari belakangan memang ramai berita tentang
pemuatan kartun Nabi Muhammad Saw di salah satu majalah Prancis. Demonstrasi memrotes
hal tersebut dilakukan di banyak negara, termasuk di Indonesia.
“Saya
yakin demonstrasi ini tak besar. Mungkin hanya sekian puluh orang saja,” kata
Patrick. Namun pemerintah Prancis tentu tak mau menganggap enteng. Jalan-jalan
di sekitar masjid terkepung oleh mobil-mobil besar polisi. Patrick pun harus
memutar mobil berkali-kali karena jalan-jalan di sekitar masjid ditutup. Kami
mengembuskan napas lega ketika akhirnya Patrick menemukan satu akses jalan yang
masih dibuka.
NAIK
APA HABIS BERAPA
Masjid
Agung Paris terletak di distrik 5 Paris, tepatnya di 2 bis place
du Puits-de-l'Ermite. Dapat dicapai dengan metro line 7, turun di
stasiun Place Monge (Jardin des plantes) keluar ke arah
Censier-Daubenton. Bila menggunakan bus, cari bus nomor 47 atau 89. Untuk
menuju Paris ada banyak maskapai yang terbang dari Jakarta yang transit di
kota-kota tertentu, tergantung maskapai bersangkutan. Tiket pp Jakarta-Paris
berkisar antara 800-1500 dolar. Diperlukan visa schengen untuk masuk ke Prancis.
Pesan Harmonisasi di Distrik 5 Paris
4/
5
Oleh
galerikaryaflp