Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 23 Maret 2014)
PEREMPUAN itu telah membesarkan seorang putri sedari ia mengandungnya. Ia senantiasa memberikan ragam nasihat seolah janinnya sudah gadis benar, seolah anak gadisnya ada di hadapan. Ya, bila kalian pernah membaca atau mendengar kisah seseorang yang rela digandeng Izrail demi mempersilakan oroknya mencium bumi, maka ialah ibu yang purnamulia itu1. Dan bila kalian juga pernah membaca atau mendengar kisah tukang cerita yang kerap turun ke lereng Bukit Barisan, itulah anak gadisnya. Konon, tukang cerita itu akan bercerita sampai malam memekat. Ceritanya sarat wasiat kebaikan. Tentu, buah jatuh tak jauh dari akar pohonnya; perangai ibu akan lesap ke dalam jiwa anaknya. Ketika itulah, tanpa orang-orang sadari, si tukang cerita tiba-tiba raib; bagai angslup ditelan bumi, bagai memuai dilarut angin, bagai melesat dihisap langit2.Itulah ihwal pembuatan patung itu. Selain itu mengenang seorang ibu berhati bening, juga untuk memancing kedatangan putrinya yang piawai bercerita. Segenap penghuni negeri memang ingin tahu seperti apa nian si tukang cerita; wajahnya, kerudung kain pelepainya, tongkat batang kopinya, baju kacapiringnya, suara paraunya yang mencekam, dan tentu saja cerita hikmahnya yang (kata orang-orang tua) menusuk ke jiwa-hati-tabiat.
Aku menghendaki ruh kasih sayang sang ibu senantiasa hidup. Dan adakah yang beriringan dengan falsafah itu selain membuat patung dari benda yang juga hidup; pohon yang tinggi, besar, dan kuat?! Tersenyum jemawalah sang raja.
Para penggawa terkagum-kagum. Betapa perasaan turut-bangga tiba-tiba menjalari aliran darah. Namun, salah seorang dari mereka, entah tertikam keberanian dari mana, mencuatkan beberapa pertanyaan: Pohon apakah yang akan dijadikan patung itu? Di mana ia tumbuh? Kapan ia akan ditebang? Ke mana ia akan diangkut? Di mana patung itu akan didirikan?
***
RAJA memilih pohon onlen berumur ratusan tahun yang tumbuh dengan tiyuh, tubir jalan yang membelah sungai dan pemukiman penduduk. Pohon itu tidak perlu ditebang apalagi dicerabut dari tempat tumbuhnya. Raja telah memerintahkan tukang tebas pilihan untuk membersihkan ranting-ranting yang tidak perlu. Hanya kanopi bagian pucuk yang dibiarkan sedikit menyumpil; sebagai penanda rambut si patung.
Dua puluh dua tukang pahat termasyhur dikerahkan. Mereaka adalah yang memahat geladak kapal Sekeghumong, raja keempat kerajaan Sekala Bgha. Mereka yang memahat patung siger, tugu berbentuk mahkota pengantin wanita yang banyak terdapat di penjuru negeri. Tentu saja, mereka pula yang mengukir nuwo balakh, kediaman raja yang berarsitektur lamban pesagi, rumah panggung yang atapnya terbuat dari ijuk.
Raja memesan kain-kain tapis kepada perempuan penenun di Krui. Tiga belas helai, kain tapis itu mestilah mencolok warnanya, elok coraknya, dan tentu saja, ditenun dari benang katun dan benang emas pilihan. Kain tapis itu juga harus dalam ukuran yang lebih panjang dan lebih lebar dari biasanya. Kain tapis-tapis itu disambung dengan benang wol, sebelum dikenakan pada patung seolah-olah pakaian bawahannya.
Raja juga meminta kaum ibu di lereng Gunung Pesagi menjahitkan baju kurung dalam ukuran yang sangat besar. Baju kurung itu, sebagaimana kain tapis, juga harus dibuat dari bahan pilihan dengan ketelitian yang tinggi, baju kurung raksasa itu disarungkan ke tubuh patung dengan melibatkan tujuh belas tukang panjat andal.
O ya, tangan patung adalah sepenggalah kayu damar batu yang ditancapkan di kedua sisi pohon. Matanya ditandai sepasang mutiara oval dalam jarak setengah lengan orang dewasa; bulatan hitamnya adalah batu rubi berwarna hijau katu. Hidungnya adalah belalai gajah yang dipahat. Alisnya disusun dari duri-duri landak yang masih bayi. Bulu matanya adalah bilah-bilah bulu burung murai yang dicuatkan. Tak khatam di situ, raja juga memesan batu-batu satam dari Belitung untuk disambung-rangkai dengan tali perak sepanjang tiga meter. Bertambah cantiklah patung itu dengan leher dan pergelangan tangan yang dililit perhiasan.
Pohon Ibu. Demikianlah patung itu akhirnya dikenal khalayak.
***
POHON Ibu adalah pohon kasih sayang. Tentu saja, sangat-sangat tak layak bila sesiapa dibatasi atau bahkan dilarang untuk menikmati kemegahan dan keindahannya, maklumat sang raja.
Maka, saban akhir pekan, banyak orang tua mengajak anak-anak bermain di sekitar Pohon Ibu. Saban petang, kaum ibu sengajanyeruit, menyantap ikan tenggiri atau ikan baung dengan sambal rampai yang dicampur terasi di bawah Pohon Ibu. Bahkan, para gadis bagai dihimpun, menyulam tepi kain tapis dengan koin-koin emas di dudukan kayu, yang banyak terdapat di sekitar Pohon Ibu. Raja pun membuat taman yang mengitari Pohon Ibu. Para penduduk, terlebih anak-anak, sangat senang. Taman Pohon Ibu. Demikianlah tempat itu akhirnya berubah sebutan.
Taman Pohon Ibu makin ramai. Orang-orang dari negeri tetangga menjadikannya tujuan berpelesir. Pada pedagang berdatangan. Pelbagai pertunjukan dan permainan dihelat saban petang hingga jam ronda berdentang.
Untuk menjaga keindahan, kebersihan, dan keamanan taman, raja mengerahkan para prajurit. Ada yang menjaga gerbang. Ada yang mengawasi para pengunjung agar tak menginjak hamparan rumput dan memetik bunga-bunga. Ada yang rajin mengimbau agar pengunjung tak membuang sampah sembarangan. Ada yang memastikan bahwa pertunjukan dan permainan terbuka tidak memancing keributan. Ada yang menjaga ketertiban para pedagang agar tak berebutan pembeli. Ada yang mengawasi keselamatan anak-anak bermain ayunan, papan luncur, egrang, petak lele… Tentu saja, ada yang amanahnya menjaga Pohon Ibu saja, pusara keindahan taman.
Akhir-akhir ini, beberapa pengunjung dari negeri tetangga mendatangi juru catat kependudukan. Mereka ingin menetap di negeri ini. Bahkan, agar permintaan dipenuhi, ada yang menawarkan batangan emas dalam jumlah yang menggairahkan.
Negeri ini adalah majelis terbuka. Selama ada itikad baik, tentulah suatu kebodohan bila kami tak menerima keluarga baru. Demikian raja menanggapi.
Penduduk bertambah banyak. Taman Pohon Ibu makin sesak. Musyawarah para purwatin, tetua adat, menyepakati dibukanya taman-taman baru. Taman-taman yang baru tak memiliki Pohon Ibu karena pohon onlen atau pohon jati atau pohon merbau atau pohon yang batangnya sangat baik untuk dipahat, tak tumbuh di titik keramaian sebagaimana Pohon Ibu. Walaupun begitu, penduduk tetap gembira. Mereka kerap menghabiskan waktu di taman-taman itu.
***
MUNGKIN karena kelelahan mengawal perkembangan taman di beberapa tempat, raja jatuh sakit. Berbulan-bulan. Namun begitu, ia tak mempersilakan juru maklumat bekerja. Ia tak ingin kegembiraan penduduk disalip kabar tak penting tentang dirinya. Semua urusan raja dilimpahkan kepada sang ajudan.
Syukurlah, menginjak setengah tahun terkulai di pembaringan, raja pulih. Begitu kembali ke singgasana, serta merta ia memanggil ajudannya. Tak sabar ia mendengarkan perkara-perkara yang dilewatkan.
Ajudan berdehem dua kali. Sebuah pembukaan yang tak mengenakkan. Raja paham benar tabiat orang kepercayaannya itu. Maka, ia desak ajudannya agar tak berlama-lama dengan mukadimah. Raja tak ingin diombang-ambing penasaran dan kekhawatiran.
Ampun…Yang Mulia, sebagian penduduk mulai resah. Taman bukan lagi tempat melepas penat setelah seharian berdikari. Taman bukan lagi tempat yang menarik bagi anak-anak. Taman bukan lagi tempatnyeruit bagi ibu-ibu. Gadis-gadis tak lagi menyulam kain tapis di sana. Taman bukan lagi arena pertunjukan dan permainan rakyat digelar untuk khalayak. Taman bukan lagi tempat rumput-rumput dan bunga-bunga menemukan rumah yang damai.
Raja tatap ajudannya lamat-lamat. Lirih ia berbisik; seperti apa nian taman-taman itu kini?
Diberitakanlah, taman-taman makin ramai; seiya-sekata dengan kemudaratan yang makin permai. Permainan dan pertunjukan digelar demi judi. Keributan saban hari. Muli-mekhanai, muda-mudi, tak lagi sungkan bercumbu di sudut-sudut taman. Rumput-rumput banyak yang meranggas, dan bunga-bunga bagai tak mau tumbuh dan mekar. Para pedagang menggelar barang-barang di sembarangan sudut. Taman menjadi sangat semrawut, sangat kotor, sangat tak aman, dan tentu saja sangat tak bersahabat bagi anak-anak.
Sang ajudan menghentikan uraiannya. Kepalanya tertunduk. Keadaan memang tak berkarib untuk membuka lipatan berita buruk yang bersitumpuk. Dapat ia bayangkan, betapa suramnya perasaan raja.
Apakah semua purwatin tengah terlelap? Apakah para punggawa dan prajurit tak bekerja? Atau… selama ini mereka hanya tampak amanah ketika aku sigap saja? Atau mereka menjadi bagian orang-orang yang menyebabkan malapetaka di negeri ini?
Hampir saja raja lesatkan tombak-tombak yang berjejer di dekatnya ke orang-orang kepercayaannya itu, bila ingatannya tidak berlabuh pada anak-anak. Ya, karena merekalah ia membuka taman-taman baru di beberapa penjuru negeri. Ia bertanya kepada ajudannya yang tiba-tiba tercekat (karena takut disalahkan atas semua laporan): Ke mana anak-anak kini bermain?
***
APA? Ke lereng Bukit Barisan!
Bagai dicambuk api raja mendapati jawaban itu. Belum reda murkanya pada kemalangan yang menyertai taman-taman, belum redup nyala kekesalannya pada kelalaian para penggawa, kini ia dapati lagi kabar yang ganjil.
Bahu raja turun-naik. Betapa muntabnya ia. Apalagi ketika mendapati pembelaan yang tak masuk akal; Anak-anak itu telah susah payah dicari, namun tak pernah ditemukan!
O o, bukankah menyambangi lereng Bukit Barisan adalah tabiat perempuan yang ditunggu-tunggu itu?
Tukang cerita itu sudah datang!!!
Tak menunggu lama, raja perintahkan para prajurit mengembalikan taman-taman ke faedahnya. Tutup saja yang sudah tak mungkin ditertibkan! Suaranya meletup-letup.
Kerajaan dikosongkan! Semua menyebar ke bukit-bukit. Raja tak lelah memperingatkan: tak ada kekerasan! Raja takkan menyalahkan si tukang cerita atas raibnya anak-anak, apalagi hendak menangkap lalu menghukumnya. Sejatinya, ia (bersama para penghuni kerajaan dan penduduknya) juga ingin tahu seperti apa nian putri seorang perempuan yang menjadi lambang kasih sayang negeri tiu; wajahnya, kerudung kain pelepainya, tongkat batang kopinya, baju kacapiringnya, suara paraunya yang mencekam, dan tentu saja cerita hikmahnya yang (kata orang-orang tua) menusuk ke jiwa-hati-tabiat.
***
TAMAN Pohon Ibu raib!
Ada yang bilang taman itu angslup ditelan bumi. Ada yang bilagn taman itu memuai dilarut angin. Ada juga yang bilang taman itu melesat dihisap langit! Perkara yang lebih kelam menyertainya: perjudian, pelacuran, pergaulan tak beradab, keributan, bahkan pembunuhan, terjadi saban waktu. Taman-taman tak bisa ditertibkan lagi, apalagi ditutup.
Para istri menangis sepanang hari. Suami mereka sudah jadi penjudi. Mereka selalu haus perempuan. Beberapa dari istri itu menjadi gila karena tak pernah mendapati anak-anak kembali setelah mereka berpamitan di suatu senja.
Kami memanggilnya Nenek. Walaupun seperti raksasa, kami tak pernah takut. Selain kerudungnya yang indah, dan kain tapis berkilau yang dikenakannya, mata Nenek yang berwarna biru sangat teduh. Nenek sangat suka bercerita. Malam ini, katanya kami akan diajak bermain ke taman yang paling indah. Namanya Taman Pohon Ibu.
Anak-anak itu mengutarakannya seolah-olah sudah beberapa kali bersua dengan perempuan itu. Entah bagaimana, ibu mereka bagai alpa bahwa tukang cerita (atau ibu si tukang cerita) sudah bertandang!
Maka, para istri memilih bungkam. Mereka tak ingin disalahkan karena dianggap tak becus mengurus anak. Mereka tak ingin dikerangkeng karena dianggap mengabaikan keselamatan penerus puak. Pun mereka masih matikata ketika kerajaan menyiarkan kegeraman. Raja mengerahkan para prajurit dan mewajibkan setiap laki-laki mencari pohon onlen, jati, dan merbau; menebangnya; mengangkutnya ke pusat negeri. Raja juga membayar tukang pahat, penenun kain tapis, dan pemanjat ulung; memesan kalung perak, batu-batu satam, mutiara, dan permata rubi, dari negeri seberang. Lagi, raja akan membuat Pohon Ibu. Puluhan Pohon Ibu. Puluhan Taman Pohon Ibu.
Di berbagai penjuru. (*)
Ulaksurung, 07 s.d. 15 Juni 2010
Catatan
1 Cerita yang utuh terdapat dalam cerpen Anak Ibu (Koran Tempo,2010), Anak Ibu II (Jawa Pos, 2011), dan Anak Ibu III (Jawa Pos,2012)
2 Cerita yang utuh terdapat dalam cerpen Tukang Cerita (Republika, 2010)
Taman Pohon Ibu
4/
5
Oleh
galerikaryaflp