Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 11 Maret 2012)
DARI atas tanggul, ia memandang lepas deras arus bengawan yang kelam dan bergelombang bagai rambut ibunya. Matanya memicing, memperhatikan luapan air yang perlahan surut. Seperti biasanya, bila luapan air mulai surut, tepian bengawan itu akan dipenuhi kerikil dan endapan-endapan pasir basah, yang bila mengering akan tampak menggunduk seperti bukit-bukit kecil di padang gurun.
Ia hapal betul, kapan air akan meluap dan kapan akan surut. Dari rumahnya ia dapat mendengar gemuruh air pasang. Sesekian waktu, bila suara gemuruh itu merendah, artinya air telah surut dan ia akan menaiki tanggul di tepian bengawan itu sambil membawa serok dan ciduk pasir yang dibuatnya sendiri dari bekas kaleng kotak biskuit.
Selain karena paling getol, rumahnya juga paling dekat dari bengawan. Jadi ia selalu dapat mengumpulkan pasir lebih banyak daripada teman-temanya.
Ia tinggal di tepian bengawan itu bersama ibu dan kedua adiknya. Bapaknya hilang ditelan bah besar lima tahun lalu, jasadnya juga tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah bambu itulah satu-satunya warisan nenek moyangnya yang turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Bengawan dan rumah rapuh itu hanya terpisah oleh sebuah tanggul tinggi yang tampak kokoh, yang mungkin telah ada sebelum kakek buyutnya lahir. Tanggul itulah yang saban hari akrab ia naik-turuni. Dari seberang tanggul itulah ia membantu ibunya yang pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya.
Orang-orang memanggilnya Thekhel. Badanya kecil tapi tegap dan berisi. Kulitnya hitam kusam oleh sengatan matahari dan debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah dan kering. Usianya belum genap enam belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tidak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk terjun berjibaku dengan pasir dan kerikil, meneruskan pekerjaan warisan nenek moyangnya.
Satu adiknya, Menik, berumur sepuluh tahun, dan satunya lagi, Yanti, baru masuk SD. Dengan kakinya yang pincang sebelah, ibunya hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan kadang-kadang sebagai tukang ikat bawang di rumah juragan ladang. Bila tak ada pekerjaan, sementara dua adiknya masih sekolah, ibunya selalu menyusulnya turun ke bengawan untuk sekadar membawakan air putih atau makanan kecil yang bisa ia santap saat beristirahat dari galian pasirnya.
Berapa pun hasil yang ia dapat dari menggali pasir, selalu ia serahkan pada ibunya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara, kecuali mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya, sesama penggali pasir, hanya ia yang tidak berani macam-macam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan rokok atau minuman berbotol yang baunya menyengat itu. Namun, setiap kali teman-temanya mengajaknya pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yang tepat untuk menolak.
Lamat-lamat ia masih bisa mengingat kata-kata bapaknya lima tahun lalu. Kini ia baru bisa mencerna kata-kata itu betul-betul, “Fakir itu dekat sekali dengan kafir, Le, hanya ada dua pilihan bagi orang miskin seperti kita, syukur atau kufur. Kalau kita bersyukur maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersyukur. Tapi kalau kita kufur, derajat kita akan lebih rendah daripada orang kaya yang kufur.”
***
Di usianya yang masih hijau ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman biru. Hidup serba sederhana sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dari minggu ke bulan dan tahun. Hari-harinya tak ada yang baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia sudah bangun. Usai ke surau ia akan cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan dengan kaos oblong panjang yang warnanya sudah tak jelas.
Pagi-pagi ia akan menaiki tanggul dan turun ke tepian bengawan untuk menepuk-nepuk endapan pasir dengan kakinya. Ia bisa mengira-ngira, mana pasir yang bagus dan mana pasir yang kurang bagus. Bila terdengar suara ‘bug’ maka bisa ia pastikan, pasir itu bagus dan tidak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ.
Para tengkulak dan juragan truk pasir selalu tepat waktu mengangkut pasir-pasirnya. Bila pasir yang ia kumpulkan bagus, maka satu baknya bisa dihargai 75 sampai 80 ribu. Namun bila pasir yang ia dapat bercampur lumpur dan kerikil, biasanya para tengkulak hanya akan menghargainya 40 ribu atau terkadang 50 ribu.
Selepas musim penghujan, menjelang kemarau. Ia akan mengumpulkan banyak uang. Sebab, setelah air bengawan susut, sepanjang tepian bengawan itu akan dipenuhi endapan pasir. Para penduduk akan berbondong-bondong menuruni tanggul, seperti menyambut musim panen. Mereka akan berlomba dan berebut menandai galian. Sebab bila telah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di tempat yang sama.
Bila musim hujan kembali, ia akan banyak menganggur. Sebab luapan bengawan yang deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bila musim hujan tiba, ia akan banyak menghabiskan waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, ketika ibunya pergi ke desa seberang untuk mengambil atau mengantar cucian.
***
Menganggur sering membuatnya tidak betah. Meski hujan masih mericis, acap kali ia menaiki tanggul dengan gelisah. Matanya memicing, memperhatikan arus bah bengawan yang bergulung-gulung bercampur lumpur dan sampah. Ia selalu berharap supaya air bah tidak terlalu besar. Sehingga dua atau tiga hari ke depan ia sudah bisa memulai galian. Namun, di musim hujan begitu, sebulan sekali saja ia bisa menandai galian, ia sudah beruntung.
Musim hujan, baginya tak ubahnya sebuah cobaan. Seperti kemarau panjang bagi para petani. Pada musim penghujan, ia harus banyak bersabar dan berdoa. Ketika bengawan surut pun, ia akan mengalami sedikit kesulitan dalam pekerjaanya. Karena biasanya pasir di tepian bengawan masih dipenuhi air. Sehingga ia harus bekerja ekstra.
Terkadang ia berpikir, barangkali musim penghujan memang sengaja diturunkan untuk para penggali pasir, supaya mereka rehat barang sejenak. Seperti ketika Tuhan menciptakan malam untuk istirahat dan siang untuk bekerja. Toh, selepas musim penghujan, mereka akan memanen pasir lebih banyak dari biasanya. Pasir-pasir itu memang seperti diciptakan untuk mereka. Meski bertahun-tahun dikeruk, tapi tak pernah habis, selalu datang yang baru. Terkadang ia berpikir, entah dari mana datangnya pasir-pasir itu. Barangkali dari langit yang turun bersama hujan.
***
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, musim penghujan tidaklah sekejam itu. Tapi, yang ia keluhkan, musim penghujan kali ini memang sedikit lebih panjang. Buruknya lagi, musim penghujan kali ini datang tepat bersamaan dengan tahun ajaran baru. Ketika kedua adiknya butuh biaya lebih untuk bayar ujian, daftar ulang, buku baru, dan tetek bengeknya. Sekilas ia menangkap raut cemas pada wajah ibunya. Uang hasil buruh cuci saja tentu tidak cukup, toh setiap hari mereka juga butuh makan.
Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan bagimana melunasi biaya-biaya sekolah adiknya yang melambung seperti hantu itu. Matanya masih nyalang, menelanjangi langit-langit rumahnya yang begitu kelam seperti ceruk gua. Sayup-sayup telinganya masih menyimak kemrosak air bah dari balik tanggul, kemerosak yang sedari pagi tak henti-henti. Di antara kemericik hujan yang seperti tak kenal lelah, suara-suara itu bagai mencibirnya.
Ia menoleh, di sebelahnya ibunya sudah terlelap memeluk adiknya yang paling kecil. Tampak terkembang layar kepayahan pada wajah-wajah itu. Adiknya yang satu lagi sudah mendengkur memeluk bantal dengan liur berleleran di pipi. Ia tersenyum simpul. Namun, jauh sekali di dalam hatinya, ada yang menyala-nyala. Sulutan antara kecemasan, kasihan, marah, tak terima, semua melebur dan berkobar dalam dadanya. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia ingin rehat sejenak, tanpa memikirkan apa pun. Ia ingin segera tidur.
***
Seperti biasa, pagi-pagi kencur ia sudah terbangun. Sisa hujan semalam membuat udara sangat lembab. Tanah-tanah masih becek dan berkubang air. Ibunya pun sudah mulai membakar karet sandal untuk menyalakan tungku. Ia duduk di depan tungku, di sebelah ibunya yang sibuk meniupi api. Asap berhamburan. Ibunya terbatuk-batuk.
“Sini, Mak!” ia mengambil alih, dengan segenap tenaga ia menyemburkan tiupan, api pun berkobar membakar kayu dan kertas-kertas bekas. Ia dan ibunya sama-sama diam, wajah mereka tampak terang dan berkilat-kilat oleh pantulan api yang berkobar dari tungku.
“Terakhir kapan, Mak?” sambil merapikan kayu di perapian bibirnya berkeciap lirih, seperti menggumam.
“Yang terakhir kapan, apanya?”
“Bayar uang sekolahnya Menik sama Yanti.”
“Di suratnya sih Sabtu depan, karena Senin sudah ujian.” Jawab ibunya datar, tanpa ekspresi. Ia terdiam, matanya terpaku pada ranting-ranting yang kemeletak terbakar api dalam tungku.
“Sepertinya, saya harus memulai galian hari ini,” bisiknya lagi.
“Hush! Setelah bapakmu, sudah lama bengawan itu tidak menelan korban. Apa kamu tidak dengar, suara kemerosak begitu. Air bengawan masih meluap-luap. Tunggu dulu, setidaknya sampai minggu depan.”
“Tapi, kan, uang sekolahnya Menik terakhir Sabtu, Mak.”
“Halah, itu Mak bisa cari utangan nanti.”
“Cari utangan ke mana lagi, Mak?” ia menekankan suaranya, tak terima. Namun ibunya malah memelototinya. Akhirnya ia memilih diam.
***
Matahari megapung naik. Sesekali meredup terhalang mendung yang masih menggumpal di rongga langit. Ibunya sudah berangkat ke desa sebelah. Kedua adiknya juga sudah lesat ke sekolah. Tinggal ia seorang diri. Beberapa kali ia menaiki tanggul, untuk memastikan luapan air sudah mulai surut atau belum.
Semakin siang, suara gemuruh dari balik tanggul kian lirih, kian reda. Untuk ke sekian kali ia menaiki tanggul. Ia tersenyum menang. Air mulai surut. Ia memicingkan mata ke sepanjang tepian bengawan. Tampak gundukan pasir basah yang masih bercampur endapan lumpur, berkilat-kilat oleh kedipan matahari. Arakkan mendung pun tampak memudar. Ia yakin sekali, langit sudah mulai lelah menangis. Air akan semakin surut. Ia tersenyum yakin. Sudah terbayang ancang-ancang cerlang dalam kepalanya.
Ia bergegas. Kembali ke rumah untuk ganti kaus, mengambil serok dan ciduk pasir. Ia akan segera memulai galian. Saat itu juga. Ia akan menandai dua atau tiga galian sekaligus. Ia orang pertama yang menuruni tanggul. Artinya, ia bebas memilih perut pasir yang paling bagus untuk ia tandai.
Bergelimanglah alamat-alamat baik dalam kepalanya. Ia akan mengumpulkan pasir-pasir terbaik. Para juragan pasir akan membayarnya lebih. Biaya sekolah Menik dan Yanti akan lunas. Ibunya akan tersenyum lepas. Benar-benar sangkaan yang cerlang. Namun, adakah Pemilik Hujan megiyakan? Tentu ia tidak tahu, bahwa nun jauh di sana, di hulu bengawan, bah besar mulai melata. Di sana, hujan turun deras sekali, sudah berhari-hari. Seharusnya ia camkan kata-kata ibunya, bahwa setelah bapaknya, sudah lama sekali bengawan itu tidak menelan korban. (*)
.
.
Madiun 2009- 2011
Penggali Pasir
4/
5
Oleh
galerikaryaflp